TintaSiyasi.id -- Pemerhati Ekonomi, Ustaz Idra Fajar Alamsyah, Ph.D., menjelaskan perbedaan pengelolaan energi dalam sistem kapitalisme dan sistem Islam. "Pertama, harga energi lebih mahal dan tidak stabil, karena harga energi bergantung pada pasar global, rakyat sering mengalami lonjakan harga BBM, gas, dan listrik," ungkapnya di kanal YouTube Mercusuar Ummat, Kamis (20/3/2025). Bedah Khilafah - Kebijakan Khilafah dalam Bidang Energi.
Ia menjelaskan pengelolaan energi dalam Islam, pertama, harga energi stabil dan terjangkau, karena negara mengelola langsung harga BBM, gas, listrik tidak akan naik turun seperti dalam sistem kapitalisme yang menggunakan mekanisme pasar. "Mekanisme pasar artinya ini sangat fluktuatif dan tidak menjamin kestabilan perekonomian masyarakat, contoh pada masa kekhalifahan barang kebutuhan pokok dijaga agar tetap stabil dengan mekanisme pasar yang adil," terangnya.
Kedua, kesejahteraan rakyat terancam. Ketika harga energi naik, maka biaya transportasi dan produksi juga ikut naik, menyebabkan harga kebutuhan pokok masyarakat makin mahal.
Sedangkan dalam sistem Islam, rakyat mendapatkan akses energi dengan mudah. "Tidak akan dipersulit seperti pada masa hari ini, begitu sulit dengan berbagai berkas, dokumen, dan juga mungkin kecurangan yang didapati gitu, namun dalam Islam negara memastikan energi terdistribusi secara adil di seluruh wilayah tidak ada ketimpangan, semua daerah terpencil baik itu perkotaan, pedesaan itu dapat dijangkau dan dapat terdistribusi dengan adil," terangnya.
Ketiga, ketergantungan pada asing. "Indonesia harus mengimpor BBM dan gas dari luar negeri karena kilang dalam negeri tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional," ungkapnya.
Namun, ketika Islam diterapkan kemandirian dan energi tidak bergantung pada asing. "Sistem ekonomi Islam menjamin bahwa khilafah akan membangun industri energi sendiri sehingga tidak perlu melakukan impor ataupun pengelolaan sebagian bahan mentah di luar negeri, negara bisa menjamin itu semua sendiri dan akan memberikan dampak yang positif bagi masyarakat karena masyarakat akan mudah untuk mendapatkannya," jelasnya.
Keempat, pembangunan tidak merata. "Bisa kita lihat banyak daerah-daerah terpencil yang tidak mendapatkan akses listrik dan BBM karena kebijakan kapitalisme lebih berorientasi pada keuntungan bukan pelayanan rakyak. Contoh Papua dan beberapa daerah di Kalimantan ini masih tergolong rendah dalam pemanfaatan energi karena tadi dibandingkan Jawa yang lebih menguntungkan," urainya.
Sedangkan, ketika energi dikelola dalam sistem Islam, keuntungan dari energi digunakan untuk kesejahteraan rakyat.
"Jadi tidak ada negara berjualan dengan masyarakat dalam pengolahan energi ini, apalagi kepemilikan barang umum ini semuanya akan didistribusikan lagi dikembalikan lagi kepada kesejahteraan rakyat, hasil pengelolaan energi masuk ke dalam baitul mal dan akan digunakan untuk pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur untuk mendukung kehidupan masyarakat," urainya.
Ia mencontohkan pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz hasil tambang didistribusikan untuk membantu rakyat miskin dan membangun sarana umum, bagi yang belum pernah memiliki daerah-daerah terpencil itu akan terdistribusi secara adil.
Kelima, kerusakan lingkungan. "Disini juga kita bisa lihat kapitalisme mendorong eksploitasi yang tiada habisnya, selama ada profit sumber keuntungan akan dicari secara besar-besaran tanpa mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan, contoh misalkan kebakaran hutan akibat pembukaan lahan sawit dan pertambangan ilegal yang merusak ekosistem lingkungan," cecarnya.
Berbeda sekali ketika energi dikelola dengan sistem Islam. "Lingkungan tetap terjaga, hal ini berbeda dengan sistem kapitalis hari ini yang melihat aspek lingkungan ini sebagai beban, jadi bukan sebagai tanggung jawab ataupun bagian yang terintegrasi dalam aktivitas energi, jadi kalau dalam Islam negara memastikan eksploitasi energi berjalan dengan sistem kelanjutan dan ramah lingkungan tentu saja," pungkasnya.[] Alfia Purwanti