"GSW (Giant Sea Wall)
bukan hanya sekadar tanggul laut, tetapi dibaliknya tersembunyi mega proyek
properti, apartemen elit, kawasan bisnis, pelabuhan, yang masuk uang asing,
yang ke luar ruang hidup rakyat kecil," tuturnya di akun Instagram
@agung.wisnuwardana, Jumat (10/01/2025).
Agung menerangkan, nelayan yang sejak
kecil dari generasi ke generasi menggantung hidup dari laut perlahan bisa
tergusur. "Pantai tempat mereka berlabuh berubah menjadi kawasan ekslusif,
akses laut pun bisa di tutup, suara mereka tidak pernah diminta apalagi
dihargai," sambungnya.
“Ini bukan penggusuran fisik, tetapi
penggusuran ekstensial. Nelayan dianggap tidak punya nilai dimata kalkulasi
investasi,” terangnya.
"Triliunan rupiah, utang baru,
konsesi asing, dan seperti biasa rakyat hanya kebagian dampaknya bukan
manfaatnya," mirisnya.
"Apakah ini infrastruktur
penyelamat bangsa, ataukah infrastruktur penjajahan kapital investor global?"
tanya IJM.
Ia katakan, yang hilang dari Internatioal
Conference of Infrastructure ini adalah visI bukan investor.
IJM tegaskan bahwa visi pembangunan
harus yang berdaulat, visi yang berkepentingan untuk rakyat bukan kepentingan
pasar.
"Kita memang butuh tanggul,
tetapi lebih butuh kaadilan ekologis. Kita perlu menyelamatkan Pulau Jawa, tetapi
bukan membangun tembok raksasa yang berpihak pada investor. Karena investor
yang dicari untung bukan gotong royong”, jelasnya.
Lanjut, IJM menuturkan bahwa salah
satu yang penting dari penjajahan proyek Giant Sea Wall ke investor
global, narasinya untuk menyelamatkan Pulau Jawa dari tenggelam, tetapi siapa
yang benar-benar di selamatkan.
“Bahwasanya infrastruktur adalah alat
tetapi tanpa arah dan keberpihakan, ia hanya menjadi mesin komersialisasi negara,”
pungkasnya.[] Riana