×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Farid Wadjdi Beberkan Kontroversi Hubungan Ayatullah Khomeini dengan Amerika (Dinamika Hubungan Iran-Israel – Bagian 3)

Minggu, 29 Juni 2025 | 11:43 WIB Last Updated 2025-06-29T04:43:54Z

Tintasiyasi.ID -- Menyikapi dinamika hubungan Iran-Israel, Direktur Forum on Islamic World Studies (FIWS) Farid Wadjdi membeberkan kontroversi hubungan Ayatullah Khoimeini dengan Amerika Serikat (AS).

 

“Ada tujuh kontroversi hubungan Ayatullah Khoimeini dengan Amerika Serikat (AS),” ujarnya kepada TintaSiyasi.ID., Jumat (27/06/2025).

 

Pertama, Khomeini diizinkan tinggal di Prancis (Neauphle-le-Château). “Faktanya, sebelum revolusi, Khomeini diasingkan dari Irak ke Prancis (Oktober 1978). Di sana, ia dapat dengan bebas menyampaikan pesan revolusioner melalui media global,” sebutnya.

 

Hal tersebut mengundang tanya, sebut Farid, mengapa negara seperti Prancis (anggota NATO) mengizinkan seorang revolusioner radikal memimpin gerakan antisekuler dari wilayahnya, dengan akses luas ke media internasional.

 

“Dugaannya, beberapa pihak menyatakan bahwa intelijen Barat membiarkannya tampil sebagai alternatif setelah kegagalan Shah membendung gelombang revolusi,” ulasnya.

 

Kedua, surat Khomeini kepada Presiden AS (Carter). “Faktanya, arsip CIA yang dideklasifikasi pada 2016 mengungkap bahwa utusan Khomeini mengirim surat kepada pemerintah AS (Desember 1978), meyakinkan bahwa ia bukan ancaman bagi kepentingan Amerika di Iran,” ungkapnya.

 

“Surat itu menjelaskan bahwa Islam tidak bertentangan dengan kepentingan Barat, dan Khomeini siap menjaga stabilitas serta tidak akan memusuhi Amerika jika berhasil berkuasa,” katanya,” ulasnya.

 

Ada juga sumber lain, lanjutnya, The New York Times (2016), dengan kutipan memo CIA.

 

Ketiga, kejatuhan Shah Dianggap “terlalu lancar”. “Faktanya, Amerika adalah pendukung utama Shah, bahkan memasangnya kembali lewat kudeta CIA tahun 1953. Namun dalam revolusi 1979, AS tidak bertindak tegas mempertahankannya,” katanya.

 

Kejadian itu, diduga Farid, sebagian menilai bahwa AS sudah mulai “lelah” dengan Shah yang tidak stabil, otoriter, dan represif, serta mulai mencari alternatif yang lebih "populis" untuk mengamankan kepentingan mereka—termasuk dengan membiarkan naiknya ulama yang dijanjikan akan moderat.

 

Keempat, penghancuran posisi sekuler-kiri oleh rezim Khomeini. “Faktanya, setelah revolusi, kelompok Marxis, sosialis, nasionalis, dan Islamis non-Khomeinis (seperti Mujahidin Khalq dan Tudeh) dihabisi.

 

Dugaannya, lanjutnya, ada yang menilai bahwa Khomeini menjadi alat efektif untuk membasmi semua kekuatan revolusioner selain Islamisme Syiahnya sendiri, dan ini sesuai dengan harapan negara-negara Barat, yaitu mencegah Iran menjadi sosialis atau komunis seperti Afganistan kala itu (1979–1980).

 

Kelima, peran Mehdi Bazargan dan jalur diplomatik ke AS. “Faktanya, Perdana Menteri pertama pascarevolusi (Bazargan) adalah sosok moderat yang menjalin komunikasi intensif dengan AS. Bahkan terjadi pertemuan rahasia antara para pejabat Iran dengan AS di Paris dan Aljazair,” ungkapnya.

 

“Ada juga kritikan yang ditujukan kepada Bazargan dan kubunya, yaitu dituduh berusaha menjaga hubungan strategis dengan AS, dan Khomeini awalnya tidak membatalkan kontak ini,” bebernya.

 

Keenam, konspirasi “October Surprise” (1980). “Ada dugaan, yaitu teori bahwa kubu Ronald Reagan (Republik) bersekongkol dengan elit Iran agar menunda pembebasan sandera AS sampai setelah Pilpres AS, untuk menjatuhkan citra Carter. Sandera akhirnya dibebaskan pada hari Reagan dilantik,” ulasnya.

 

Jika benar, Farid menyatakan hal itu menunjukkan ada kanal komunikasi rahasia antara Khomeini dan kampanye Reagan.

 

Ketujuh, seruan Khomeini "La Sharqiyah wa la Gharbiyah. “Slogan ini secara formal menolak pengaruh AS dan Uni Soviet. Namun kebijakan luar negeri Iran setelah revolusi lebih condong anti-Soviet, dan kemudian muncul pragmatisme—seperti skandal Iran-Contra (1986), di mana AS menjual senjata ke Iran secara rahasia,” jelasnya.

 

“Tidak ada bukti eksplisit bahwa CIA mendukung Khomeini secara langsung dalam revolusi, tetapi ada banyak indikasi bahwa AS tidak sepenuhnya menolak naiknya Khomeini, bahkan mungkin membiarkannya sebagai jalan mengendalikan transisi pasca-Shah,” tandasnya.

 

 

Bersambung ke: Kesepahaman Khomeini-AS? Begini Pernyataan Abolhassan Bani Sadr (Dinamika Hubungan Iran-Israel – Bagian 4)

Opini

×
Berita Terbaru Update