TintaSiyasi.id -- Tak kunjung tuntas. Polemik mengenai tuduhan ijazah palsu Presiden Indonesia ke-7 Joko Widodo terus bergulir meskipun telah disanggah oleh sejumlah pihak, mulai dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Pusat, Universitas Gadjah Mada (UGM), bahkan oleh Jokowi sendiri.
Terbaru, massa dari Tim Pembela Umat dan Aktivis (TPUA) menggeruduk rumah Jokowi di Solo, Jawa Tengah, untuk meminta penjelasan soal keaslian ijazahnya. Meski perwakilan TPUA diterima oleh Jokowi, tapi ia tetap tak mau menunjukkan ijazahnya. Tim kuasa hukum Jokowi bilang hanya akan memperlihatkan jika diminta secara hukum (bbc.com, 19/4/2025).
Meskipun menurut beberapa pihak, polemik ijazah Presiden Jokowi tidak lagi relevan untuk dipersoalkan, apalagi saat ini Jokowi sudah tak menjabat sebagai presiden, namun secara moral bila terbukti terjadi pemalsuan ijazah, sungguh ini adalah preseden buruk bagi kepemimpinan negeri ini. Jika seseorang rela melakukan kebohongan demi bisa menaiki tampuk kekuasaan, apakah ada jaminan dia akan jujur dan amanah saat memimpin? Bukankah satu kebohongan bisanya akan ditutupi atau dikuti oleh kebohongan lainnya?
Hukum Dusta dan Palsu Terkait Keabsahan Dokumen dalam Perspektif Hukum Nasional dan Hukum Islam
Untuk menyudahi kontroversial ijazah Jokowi, bisa melalui proses hukum di pengadilan. Yaitu Pengadilan Perdata terkait Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dengan asas universal actori incumbit probatio. Ini merupakan asas dalam hukum acara perdata yang secara harfiah berarti siapa yang menggugat dialah yang wajib membuktikan.
Asas ini secara eksplisit diatur dalam Pasal 163 HIR/283 RBg dan Pasal 1863 KUHPerdata. Yang diembani kewajiban untuk membuktikan adalah pihak yang mendalilkan bahwa ia mempunyai hak atau untuk mengukuhkan haknya sendiri atau membantah suatu hak orang lain yang menunjuk pada suatu peristiwa.
Secara bebas, prinsip “actori incumbit probatio” juga berarti penggugat dalam sengketa hukum bertanggung jawab untuk memberikan bukti guna mendukung tuntutannya. Tergugat tidak diharuskan membuktikan ketidakbersalahan mereka atau membantah tuntutan penggugat kecuali penggugat telah memenuhi beban pembuktian mereka.
Maka asas ini menekankan pentingnya bukti dalam sistem hukum dan memastikan bahwa sengketa hukum diselesaikan secara adil dan objektif.
Secara normatif, asas ini juga berkonsekuensi pada aktif pasifnya hakim. Hakim sebenarnya bersikap pasif bahkan tidak perlu terbebani dengan pembuktiannya. Beban pembuktian 100% persen ada pada pihak penggugat, bukan pada tergugat apalagi hakim.
Pertanyaannya adalah apakah asas itu berlaku mutlak untuk semua keadaan atau dalam keadaan tertentu dapat disimpangi? Misalnya terkait dengan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) atas dugaan adanya ijazah palsu. Fairkah ketika para penuduh sudah berusaha mati-matian mengajukan berbagai alat bukti, sementara tertuduh diam hanya sebatas membantah tanpa menunjukkan barang bukti (ijazah, surat) yang dipersoalkan?
Terkait tuduhan palsu atas surat, sertifikat atau ijazah yang tidak mungkin barangnya dalam penguasaan penuduh, alangkah baiknya hakim bersikap adil dengan cara membagi beban pembuktian kepada pihak penuduh dan tertuduh. Artinya, selain penuduh atau penggugat wajib mengajukan bukti-bukti yang menunjukkan indikasi kepalsuan dokumen, maka hakim juga dapat memerintahkan agar pihak tertuduh menghadirkan dokumen yang digugat keasliannya tersebut.
Jika asas fairness yang diutamakan, maka mekanisme pembuktian dokumen yang diragukan keasliannya, bukan hanya dengan melihat langsung, melainkan juga perlu dengan pendekatan saintifik-ilmiah yaitu melakukan uji laboratorium forensik untuk membuktikan kertas dokumen ijazah asli, tinta dokumen ijazah asli, fontasi ijazah asli hingga spesimen tanda tangan pejabat yang dibubuhkan asli. Hasil investigasi tersebut disempurnakan dengan keterangan ahli forensik untuk memberikan analisis dan kesimpulan mengenai keabsahan dokumen.
Lalu, adakah hakim yang berani melakukan terobosan hukum (rule breaking) untuk mengatasi segala kebuntuan hukum lantaran pihak tergugat berlindung di balik asas actori incumbit probatio? Mestinya ada, yakni para hakim yang mempunyai keberanian (braveness) dan pejuang (vigilante) atas kebenaran dan keadilan. Itulah hakim progresif.
Dalam penanganan kasus-kasus hukum di negeri yang serba plural seperti Indonesia ini, tampaknya tidak cukup bagi hakim bila hanya menggunakan hukum negara (state law) sebagai bahan dasar mengonstruksi penalaran hukum aparat penegak hukum. Dibutuhkan kerja keras untuk mengikutsertakan faset-faset hukum selain faset hukum perundang-undangan mengingat hukum itu bersifat multifaset, interdisipliner, dan komprehensif. Bila faset UU tidak cukup mendorong hakim bertindak progresif, maka faset moral, ethics dan juga religion-lah yang akan mampu mendongkrak adrenalin hakim untuk berpikir, bersikap, dan bertindak progresif dalam memeriksa hingga menyelesaikan perkara.
Hakim progresif adalah hakim yang visioner. Cara pembentukan dan bekerjanya visioner, dalam arti bukanlah seorang sekuler melainkan religius. Pemikiran, sikap, dan perbuatannya dalam menyelesaikan perkara hukum tidak hanya berorientasi pada kehidupan duniawi yang serba profan melainkan bervisi ukhrawi, akhirat, yang serba abadi.
Hakim progresif bukan hakim yang anti UU melainkan mampu menggunakan UU untuk mencapai keadilan sejati. Artinya, ketika penggunaan UU atau asas hukum tertentu justru mendatangkan ketidakadilan substantif maka wajib mengabaikan UU atau asas tertentu dalam memeriksa dan memutus perkar dengan membangun konstruksi hukum berdasarkan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 5 ayat 1 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Adapun dalam hukum Islam, terkait pembuktian benar tidaknya tuduhan, maka harus dipahami dulu makna pembuktian. Pembuktian menurut istilah bahasa Arab berasal dari kata "Al-bayinah" yang artinya "sesuatu yang menjelaskan." Ibn al-Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya At-Turuq al Hukmiyah mengertikan "bayyinah" sebagai segala sesuatu atau apa saja yang dapat mengungkapkan dan menjelaskan kebenaran sesuatu.
Menurut Prof. Dr. Supomo pembuktian mempunyai arti luas dan arti terbatas. Dalam arti luas, pembuktian berarti memperkuat keyakinan kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti sah. Dalam arti terbatas, pembuktian itu hanya diperlukan apabila yang dikemukakan oleh penggugat itu dibantah oleh tergugat.
Pembuktian diharapkan dapat memberikan keyakinan hakim pada tingkat yang meyakinkan. Nabi Muhammad SAW menganjurkan untuk meninggalkan perkara syubhat. Dalam salah satu hadits sahih, Nabi SAW menyebutkan:
"... sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya ada yang syubhat (perkara samar) yang kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang jatuh melakukan perkara samar itu, maka ia telah jatuh dalam perkara yg haram..." (HR. Bukhari Muslim).
Pembuktian memerlukan adanya dalil. Dalil dalam hukum Islam dimaksudkan untuk mendudukkan kebenaran pada kebenaran materil.
Dalil hukum pada pembuktian diarahkan pada kaedah-kaedah fikih antara lain: "... bukti-bukti itu dibebankan kepada penggugat, dan sumpah dibebankan kepada yang menolak gugatan."
Adapun alat-alat bukti yang digunakan antara lain; pembuktian dengan Surat (alat bukti tertulis), keterangan saksi, pengakuan, sumpah, pemeriksaan setempat (descente), dan
keterangan ahli.
Demikian perspektif hukum nasional dan hukum Islam terkait pembuktian keabsahan dokumen. Kesamaannya yaitu penggugatlah yang harus memberikan bukti atas apa yang dituduhkan pada tergugat.
Dampak Dusta dan Palsu dalam Keabsahan Dokumen terhadap Kehidupan Bernegara
Dusta dan pemalsuan dalam dokumen, terutama yang menyangkut keabsahan identitas, pendidikan, atau kualifikasi, memiliki dampak serius terhadap kehidupan bernegara. Dalam konteks seperti kasus ijazah palsu seorang presiden, berikut beberapa dampaknya:
Pertama, krisis kepercayaan publik. Rakyat akan kehilangan kepercayaan terhadap pemimpin dan institusi negara. Selain itu, pemerintah dipersepsikan tidak transparan atau bahkan korup.
Kedua, delegitimasi kepemimpinan. Presiden atau pejabat publik yang terbukti menggunakan dokumen palsu bisa dianggap tidak sah secara moral atau bahkan hukum. Selain itu, legitimasi kebijakan yang diambil bisa dipertanyakan.
Ketiga, preseden buruk bagi penegakan hukum. Jika kasus seperti ini dibiarkan, akan muncul anggapan bahwa hukum bisa ditawar. Masyarakat bisa terdorong untuk meniru tindakan tersebut karena merasa pelanggaran tidak ditindak tegas.
Keempat, kerusakan pada sistem pendidikan. Akan mencoreng kredibilitas lembaga pendidikan yang disebutkan dalam dokumen palsu. Berikutnya, bisa melemahkan sistem pendidikan nasional jika pemalsuan tidak ditindak.
Kelima, instabilitas politik dan sosial. Isu seperti ini dapat dimanfaatkan untuk polarisasi politik. Potensi unjuk rasa, tuntutan hukum, bahkan konflik horizontal meningkat.
Keenam, kerugian internasional. Bisa mencederai citra negara di mata dunia. Pun mitra internasional akan meragukan integritas pemimpin dan pemerintahan.
Kasus seperti ini bukan hanya soal legalitas, tapi juga etika, kepercayaan, dan stabilitas negara. Karena itu, sangat penting bagi aparat penegak hukum dan lembaga terkait untuk menangani isu ini secara transparan, adil, dan profesional.
Strategi Islam Menjaga Marwah Pemerintahan dari Dampak Buruk Kedustaan dan Kepalsuan
Dalam Islam, menjaga marwah (kehormatan dan wibawa) pemerintahan dari dampak buruk kedustaan dan pemalsuan dokumen adalah hal yang sangat penting, karena kepemimpinan adalah amanah besar yang harus dijalankan dengan jujur dan adil. Berikut beberapa strategi Islam untuk mengatasi hal ini:
Pertama, menanamkan nilai takwa dan amanah. Islam menekankan pentingnya takwa (takut kepada Allah) dan amanah (tanggung jawab). Seorang pemimpin yang memiliki keduanya akan menghindari kebohongan dan pemalsuan karena sadar bahwa Allah Maha Melihat segala perbuatannya.
Kedua, pemilihan pemimpin yang jujur dan kredibel. Rasulullah SAW mengajarkan agar jabatan hanya diberikan kepada orang yang cakap dan jujur, bukan karena kedekatan atau kepentingan pribadi. Hal ini mencegah orang yang tidak bertanggung jawab melakukan manipulasi.
Ketiga, penerapan syura (musyawarah) dan transparansi. Kepemimpinan dalam Islam didasarkan pada prinsip syura (musyawarah), sehingga keputusan tidak bersifat otoriter. Transparansi ini membantu mencegah dan mendeteksi kecurangan.
Keempat, penegakan hukum dan sanksi yang tegas. Islam memiliki sistem hukum (hudud, jinayat, ta'zir, mukhalafat) untuk memberikan efek jera terhadap pelaku pemalsuan atau kebohongan, terutama yang merugikan publik atau melemahkan kepercayaan terhadap pemerintahan.
Kelima, pengawasan oleh lembaga hisbah. Dalam sejarah Islam, lembaga hisbah bertugas mengawasi perilaku pejabat dan masyarakat agar tidak menyimpang dari ajaran Islam, termasuk dalam hal dokumen dan informasi.
Keenam, keterlibatan ulama dan tokoh moral. Para ulama berperan sebagai pengingat moral bagi para pemimpin. Dengan nasehat dan kritik konstruktif, mereka bisa mencegah penyimpangan dan mengoreksi yang salah.
Ketujuh, pendidikan dan sosialisasi etika kepemimpinan. Islam mendorong pendidikan akhlak dan etika sejak dini. Pemimpin yang tumbuh dalam lingkungan beretika tinggi akan cenderung menjauhi praktik dusta dan pemalsuan.
Demikian strategi Islam untuk menjaga marwah pemerintahan dari dampak buruk kedustaan dan kepalsuan. Dan idealisme ini hanya akan terwujud optimal dalam sistem pemerintahan Islam yang bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sehingga akan sulit sekali mewujud dalam sistem demokrasi yang bersumber dari pengaturan manusia sebagaimana penerapan saat ini. []
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. dan Puspita Satyawati