TintaSiyasi.id -- Badai pemutusan hubungan kerja (PHK) dan penutupan pabrik tengah mengguncang Indonesia. Tak hanya raksasa tekstil, Sritex Group yang berada di pusaran kebangkrutan, puluhan pabrik lain menutup operasional dan mengorbankan puluhan ribu buruh. Data dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sebanyak 44.069 buruh yang ter-PHK pada Januari-Februari 2025 dari 37 perusahaan.
Adapun, 37 perusahaan tersebut ada yang menutup pabriknya, pailit, dalam PKPU, efisiensi, dan relokasi. Beberapa informasi perusahaan besar yang tutup misalnya, Sritex Group dengan total karyawan ter-PHK sebanyak 11.025 buruh, PT Yamaha Music Piano 1.110 buruh PHK, PT Sanken Indonesia 900 butuh PHK, hingga PT Victory Ching Luh 2.000 PHK. Kabar terbaru datang dari pabrik pengolahan kelapa menjadi krim santan dan kelapa parut kering, PT Pulau Sambu atau Sambu Group yang berlokasi di Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil) yang disebut melakukan PHK 1.800 pekerja (bisnis.com, 16/3/2025).
Seiring badai PHK, sejumlah warganet menagih janji Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang akan menciptakan 19 juta lapangan kerja. 5 juta di antaranya merupakan pekerjaan ramah lingkungan (green jobs). Dia menyampaikan janji tersebut dalam pemaparan visi dan misinya di debat calon wakil presiden (cawapres) Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI (tempo.co, 6/3/2025).
Bak panggang jauh dari api. Antara janji dengan realitas tak ada bukti. Yang ada, ribuan orang kehilangan pekerjaan, berkurangnya pendapatan keluarga, hingga tidak mampu memenuhi kebutuhannya dengan cukup dan berkualitas akibat menurunnya daya beli. Diakui atau tidak, gelombang PHK menjadi potret karut-marut perekonomian negara berbasis kapitalisme. Ketidaktepatan kebijakan negara dalam mengelola sistem ekonomi menjadikan kesejahteraan bak barang langka di tengah masyarakat saat ini.
Penyebab Banyak Perusahaan Mem-PHK Karyawan di Tengah Lambatnya Pertumbuhan Ekonomi
Ada beberapa penyebab terjadinya badai PHK yang kerap disorot publik yaitu pertama, kebijakan impor pemerintah yang tidak berpihak pada industri lokal. Awalnya, Permendag 36/2023 mengenai Kebijakan dan Pengaturan Impor mampu menekan arus masuknya produk luar. Sayang, usia aturan ini tidak lama. Kemendag kemudian menerbitkan revisi pertama aturan ini yaitu Permendag 3/2024 tentang perubahan atas Permendag 36/2023 pada April 2024. Selanjutnya terbit lagi Permendag 7/2024 hingga Permendag 8/2024.
Banyak pihak sepakat mengenai perlunya revisi terhadap Permendag 8/2024. Pasalnya, regulasi ini berdampak pada menurunnya daya saing industri lokal, sedangkan pada saat yang sama negara memfasilitasi masuknya bahan baku serta barang jadi ke pasar domestik. Akibatnya, banjir produk impor di pasar domestik membuat kinerja industri yang padat karya menjadi lesu dan berimbas pada meningkatnya tren PHK.
Kedua, kebijakan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5%. Hal ini membuat banyak perusahaan harus meminimalisir faktor produksi demi menyehatkan industri. Ketiga, kebijakan kenaikan PPN dari 11% ke 12% turut menimbulkan efek karambol pada meningkatnya biaya produksi. Kondisi ini praktis menjadi pertimbangan bagi perusahaan untuk menghemat biaya produksi. Walhasil, melakukan PHK pun menjadi pilihan.
Di tengah badai PHK, pemerintah masih optimis dengan kondisi ekonomi. Hal ini karena negara berpijak pada laporan neraca keuangan yang tercatat surplus. Secara umum, surplus perdagangan kerap menjadi patokan sehatnya kondisi perdagangan satu negara. Dengan kata lain, barang-barang yang diproduksi oleh satu negara memiliki permintaan tinggi.
Seharusnya kondisi ini berdampak pada terbukanya banyak lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Kenyataan justru sebaliknya. Oleh karena itu, masalahnya bukan semata memastikan neraca perdagangan mengalami surplus melainkan langkah negara menghadapi ancaman PHK dengan kebijakan yang berpihak pada kepentingan rakyat.
Laporan surplus neraca perdagangan tidak otomatis mengindikasikan sehatnya ekonomi satu negara. Terlebih lagi, pemerintah yang fokus menghitung nilai neraca perdagangan kerap luput menghubungkannya dengan kondisi riil di lapangan.
PHK bukanlah perkara sederhana. Sebab hal ini akan berdampak pada tingginya tingkat pengangguran hingga rendahnya daya beli masyarakat. Tentu banyak dampak negatif atas hal ini seperti meningkatnya angka kemiskinan, banyaknya golongan menengah yang juga masuk dalam kategori masyarakat miskin, juga dampak ekonomi dan sosial lainnya.
Di sisi lain, salah satu penopang dalam sistem kapitalisme liberal yang diadopsi negeri ini adalah ekonomi nonriil seperti pasar saham, valas, maupun obligasi. Dalam sistem ini, pertumbuhan sektor nonriil ini menunjukkan perluasan fungsi uang yang sebelumnya hanya berfungsi sebagai alat tukar menjadi komoditas yang dapat diperdagangkan.
Negara-negara kapitalis mengembangkan sektor nonriil ini untuk berinvestasi secara tidak langsung, yaitu dengan membeli saham-saham di pasar modal. Meski pada dasarnya, nilai ekonomi nonriil, seperti transaksi di bursa saham, jauh lebih besar dibandingkan nilai transaksi barang dan jasa.
Walhasil, data-data statistik yang kerap dijadikan sebagai ukuran untuk memperkirakan pertumbuhan ekonomi nasional menjadi sesuatu yang klise. Realitas ekonomi masyarakat yang kerap dianggap membaik sejatinya justru memburuk. Hal ini diperparah dengan watak pemimpin sekuler yang populis otoriter. Para pemimpin dalam sistem ini hanya menjalankan perannya sebagai regulator untuk memenuhi kepentingan oligarki dan abai dalam menjamin tersedianya lapangan pekerjaan bagi rakyatnya.
Liberalisasi ekonomi yang hari ini berjalan dalam kerangka sistem kapitalisme menyebabkan lapangan pekerjaan dikontrol oleh industri. Negara seakan-akan lepas tangan dan cenderung mengambil peran minor dalam hal ini. Sedangkan dunia industri yang dikontrol swasta hampir dipastikan berorientasi pada profit dalam menjalankan bisnis. Ketika kondisi ekonomi tidak menguntungkan, dalih efisiensi berupa PHK dipandang sebagai langkah efektif untuk menghindari kerugian bisnis. Dalam kondisi inilah, ekonomi rakyat dipertaruhkan.
Dengan demikian, badai PHK sebagai problematik ketenagakerjaan tidak lepas dari konsepsi ekonomi yang bersifat sistemis yang diterapkan satu negara. Oleh karena itu, penting kiranya menghadirkan konsep ekonomi sebagai komparasi dari sistem ekonomi kapitalisme hari ini.
Realisasi Janji Kampanye Pra-Gib akan Menciptakan 19 Juta Lapangan Kerja
Janji kampanye Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka untuk menciptakan 19 juta lapangan kerja, termasuk 5 juta green jobs, kini mulai dipertanyakan publik seiring meningkatnya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor.
Hingga akhir 2024, data Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa lebih dari 52.000 pekerja mengalami PHK, dengan sektor manufaktur dan jasa paling terdampak. Di sisi lain, belum ada indikator konkret bahwa lapangan kerja baru dalam jumlah besar telah terbentuk, terutama dalam kategori green jobs yang dijanjikan.
Meski Gibran dalam debat cawapres menekankan strategi seperti hilirisasi industri, ekonomi digital, dan transisi energi hijau sebagai sumber penciptaan lapangan kerja, implementasinya masih belum terlihat signifikan. Apalagi, kebijakan awal pemerintahan Prabowo-Gibran seperti penghapusan tenaga honorer dan pemangkasan belanja negara justru dinilai kontra-produktif terhadap penciptaan lapangan kerja.
Dengan kondisi tersebut, realisasi janji 19 juta lapangan kerja masih jauh dari harapan, dan publik kini menantikan langkah konkret pemerintah untuk membalikkan situasi.
Strategi Islam Menangani PHK Massal sehingga Rakyat tetap Memenuhi Kebutuhan Dasarnya
Dalam Islam, strategi PHK massal menitikberatkan pada keadilan sosial, perlindungan terhadap kaum lemah, serta penguatan solidaritas masyarakat. Berikutbeberapa pendekatan strategis dalam Islam agar rakyat tetap bisa memenuhi kebutuhan dasarnya meskipun terjadi PHK massal:
Pertama, zakat, infak, dan sedekah (ZIS) sebagai jaring pengaman sosial. Zakat adalah kewajiban yang dikenakan pada orang kaya untuk membantu fakir miskin. Dana zakat bisa digunakan untuk membantu mereka yang kehilangan pekerjaan (termasuk kategori fakir atau miskin). Negara (dalam sistem khilafah atau pemerintahan Islam) bertanggung jawab menyalurkan zakat secara adil dan tepat sasaran. Selain zakat, infak dan sedekah dianjurkan untuk menciptakan solidaritas sosial.
Kedua, peran negara dalam menjamin kebutuhan dasar. Islam mewajibkan negara menjamin kebutuhan pokok rakyat seperti sandang, pangan, dan papan, serta pendidikan dan kesehatan. Dalam kondisi darurat seperti PHK massal, negara wajib mengalokasikan dana dari baitul mal (kas negara) untuk menjamin kebutuhan dasar rakyat.
Ketiga, larangan penimbunan dan monopoli. Dalam situasi ekonomi sulit, Islam melarang praktik penimbunan (ihtikar) dan monopoli karena akan memperburuk kondisi rakyat. Pun negara harus memastikan distribusi barang kebutuhan pokok tetap merata dan harga stabil.
Keempat, penciptaan lapangan kerja baru. Negara mendorong proyek-proyek publik (seperti pembangunan infrastruktur) untuk menyerap tenaga kerja. Pun memudahkan rakyat untuk membuka usaha mandiri dengan menyediakan akses modal tanpa riba.
Kelima, pemanfaatan tanah dan sumber daya alam (SDA). Tanah yang tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya bisa diambil alih dan diberikan kepada orang yang bisa mengolahnya, sebagai upaya pemberdayaan ekonomi korban PHK. Selain itu, SDA tidak boleh dimonopoli oleh swasta, tapi dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat.
Keenam, sistem ekonomi tanpa riba.
Sistem Islam melarang riba, yang sering kali memperparah krisis ekonomi. Dengan sistem yang adil, masyarakat bisa terhindar dari beban utang berbunga yang menyulitkan saat kehilangan pekerjaan.
Demikianlah, strategi Islam menanggulangi PHK massal adalah dengan membangun sistem sosial dan ekonomi yang adil, menghilangkan ketimpangan, serta memastikan negara hadir aktif dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyat melalui mekanisme seperti zakat, subsidi, dan pengelolaan sumber daya. Mampukah keidealan ini terjalani dalam sistem kapitalistik sekuler hari ini?
Pustaka
Badai PHK Kembali Mengancam, Ekonomi Negara Butuh Koreksi Sistemis, muslimahnews.net, 3 Januari 2025
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)