Janji-janji
indah sosialisme tampak begitu menggoda. Ia menjanjikan pemerataan kekayaan,
keadilan sosial, penghapusan eksploitasi. Janji-janji itu amat menarik,
terutama di tengah jurang kesenjangan yang melebar akibat kapitalisme.
Namun,
benarkah sosialisme adalah jalan keluar? Atau justru ia hanyalah ilusi baru.
Menawarkan janji-janji palsu yang berujung pada penderitaan yang sama. Bahkan
lebih parah?
Akar
Pemikiran Sosialisme
Sosialisme
lahir dari kritik terhadap kapitalisme. Kaum sosialis beranggapan bahwa akar
ketidakadilan sosial adalah kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi.
Menurut mereka, selama alat-alat produksi dikuasai individu atau kelompok
tertentu, maka eksploitasi atas manusia tidak akan pernah berakhir.
Untuk itu,
sosialisme menawarkan solusi: penghapusan kepemilikan pribadi atas alat-alat
produksi. Lalu menggantinya dengan kepemilikan kolektif atau kendali negara.
Negara diposisikan sebagai “wakil rakyat” yang bertugas mengelola sumber daya
demi keadilan bersama.
Namun, dalam
praktiknya, konsep ini justru melahirkan masalah baru. Negara yang terlalu kuat
dan menguasai seluruh aspek ekonomi, justru membuka jalan bagi tirani negara.
Bukannya membebaskan manusia dari penindasan, sosialisme malah mengubah bentuk
penindasan: dari tangan kapitalis menjadi tangan birokrat negara.
Sejarah
Kegagalan Sosialisme
Sejarah
membuktikan kegagalan sosialisme di berbagai belahan dunia. Uni Soviet, pionir
negara sosialis pertama di dunia, mengalami kemunduran ekonomi parah. Rakyat
dipaksa mengikuti rencana ekonomi negara. Mereka tidak bebas memilih pekerjaan,
tidak bebas berdagang. Juga tidak bebas berpikir.
Segala
aktivitas ekonomi dikontrol ketat oleh negara. Hasilnya adalah antrian panjang
roti, kelangkaan barang kebutuhan pokok. Dan, tentu saja, represi politik
terhadap siapa saja yang mengkritik sistem.
Akhirnya,
pada tahun 1991, Uni Soviet runtuh setelah puluhan tahun mengalami stagnasi
ekonomi dan ketidakpuasan rakyat.
Kuba, di
bawah Fidel Castro mengalami nasib serupa. Nasionalisasi besar-besaran terhadap
banyak perusahaan swasta awalnya disambut euforia rakyat. Namun seiring waktu,
ekonomi Kuba melemah. Kelangkaan bahan pangan menjadi hal biasa. Rakyat harus
bergantung pada jatah negara yang sangat terbatas. Bahkan hingga kini, Kuba
tetap menjadi negara miskin meski telah lebih dari 60 tahun menerapkan
sosialisme.
Venezuela
memberikan contoh lebih mutakhir. Hugo Chavez dan penerusnya menerapkan
sosialisme abad 21. Saat itu banyak perusahaan dinasionalisasi atas nama
rakyat. Namun kebijakan itu justru menghancurkan produktivitas, menciptakan
hiperinflasi, dan kelangkaan pangan. Akibatnya eksodus besar-besaran rakyat
keluar negeri tak terhindari.
Korea Utara,
contoh ekstrem sosialisme. Rakyat hidup dalam kemiskinan akut di bawah kontrol
negara total. Rakyat tidak memiliki hak milik sejati. Tidak bebas bergerak,
bahkan hak dasar manusia pun diinjak-injak.
Di Indonesia,
sosialisme juga sempat diterapkan. Pada masa Presiden Soekarno ada konsep
ekonomi terpimpin dan semangat Nasionalisme, Agama, Komunisme (Nasakom). Negara
mengambil alih sektor-sektor ekonomi strategis. Banyak perusahaan swasta
dinasionalisasi. Retorika pembelaan terhadap rakyat kecil dikampanyekan kuat.
Namun, praktiknya justru memperkuat dominasi negara atas ekonomi tanpa sistem
yang jelas dan efisien.
Akibatnya,
ekonomi nasional babak belur. Produktivitas melemah. Kelangkaan barang terjadi
di mana-mana. Lonjakan inflasi tak terkendali. Pada akhir era Soekarno, inflasi
bahkan tembus lebih dari 600 persen per tahun. Nilai rupiah jatuh, daya beli
rakyat anjlok. Kesejahteraan semakin jauh dari harapan. Sosialisme gaya
Soekarno terbukti tak menyelesaikan masalah. Justru memperparah krisis.
Semua itu
membuktikan bahwa sosialisme bukanlah pembela rakyat kecil. Ia cuma janji palsu
yang menghasilkan penindasan dalam bentuk baru.
Kontradiksi
Sosialisme terhadap Fitrah Manusia
Sosialisme
bertentangan dengan fitrah manusia. Fitrah manusia adalah cinta pada hasil
kerja kerasnya. Manusia ingin memiliki, mengelola, dan menikmati hasil usahanya
sendiri.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلاَ تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ
قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا
Dan janganlah
kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka)
yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berikanlah kepada mereka belanja
dan pakaian (darinya) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (QS
An-Nisa' [4]: 5).
Ayat ini
menunjukkan bahwa harta adalah pokok kehidupan. Harta diakui kepemilikannya
secara pribadi. Islam tidak menghapuskan kepemilikan individu, tetapi
mengaturnya agar tidak menjadi sarana kezaliman.
Dalam Islam,
kepemilikan dibagi menjadi tiga kategori:
1.
Kepemilikan individu: seperti rumah, pakaian, kendaraan, hasil usaha halal.
2.
Kepemilikan umum: seperti sumber daya alam (air, api, padang rumput) yang
dikelola untuk kepentingan bersama, tidak boleh dimonopoli.
3.
Kepemilikan negara: untuk pos-pos tertentu demi kepentingan administrasi negara
Islam.
Negara dalam
Islam berfungsi mengatur, bukan menguasai seluruh ekonomi. Negara melindungi
hak milik individu. Negara mengelola kekayaan umum untuk rakyat, dan mencegah
ketidakadilan.
Karena itu,
Islam tidak mendukung kapitalisme liar. Tapi Islam juga tidak mendukung
sosialisme represif. Islam membawa jalan tengah yang adil, sesuai fitrah
manusia. Dan yang lebih penting, bersumber dari wahyu Ilahi.
Hanya Islam
yang Memberikan Solusi Hakiki
Sosialisme
telah gagal. Kapitalisme juga terbukti gagal. Keduanya sama-sama berbasis pada
ideologi buatan manusia yang penuh keterbatasan. Hanya Islam yang mampu
memberikan keadilan sejati bagi seluruh umat manusia. Itu karena Islam sistem
hidup yang berasal dari Allah.
Islam
memadukan antara pengakuan terhadap hak milik pribadi, perlindungan terhadap
kepentingan umum, dan peran negara sebagai pengatur yang adil. Dengan syariat
Islam, tidak ada kerakusan kapitalis. Tidak ada tirani negara seperti dalam
sosialisme.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
> وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا
لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Dan siapakah
yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS
Al-Ma’idah [5]: 50)
Maka, tugas
kita hari ini adalah membangun kesadaran umat. Bahwa solusi sejati bukan di
kapitalisme. Bukan pula pada sosialisme. Cuma dengan menerapkan Islam secara
kaffah, maka tercipta solusi total dan global.
Jakarta, 5
Mei 2025
Oleh: Edy
Mulyadi
Wartawan
Senior