Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Sosialisme: Janji Palsu Pembela Kaum Tertindas (Seri Kegagalan Sistem-Sistem Global 3)

Selasa, 06 Mei 2025 | 22:37 WIB Last Updated 2025-05-07T15:58:13Z

Tintasiyasi.ID -- Sosialisme sering dipasarkan sebagai ideologi yang membela kaum tertindas. Ia diklaim sebagai solusi atas kerakusan kapitalisme. Sistem yang memperkaya segelintir elite di atas penderitaan mayoritas rakyat.

 

Janji-janji indah sosialisme tampak begitu menggoda. Ia menjanjikan pemerataan kekayaan, keadilan sosial, penghapusan eksploitasi. Janji-janji itu amat menarik, terutama di tengah jurang kesenjangan yang melebar akibat kapitalisme.

 

Namun, benarkah sosialisme adalah jalan keluar? Atau justru ia hanyalah ilusi baru. Menawarkan janji-janji palsu yang berujung pada penderitaan yang sama. Bahkan lebih parah?

 

Akar Pemikiran Sosialisme

 

Sosialisme lahir dari kritik terhadap kapitalisme. Kaum sosialis beranggapan bahwa akar ketidakadilan sosial adalah kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi. Menurut mereka, selama alat-alat produksi dikuasai individu atau kelompok tertentu, maka eksploitasi atas manusia tidak akan pernah berakhir.

 

Untuk itu, sosialisme menawarkan solusi: penghapusan kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi. Lalu menggantinya dengan kepemilikan kolektif atau kendali negara. Negara diposisikan sebagai “wakil rakyat” yang bertugas mengelola sumber daya demi keadilan bersama.

 

Namun, dalam praktiknya, konsep ini justru melahirkan masalah baru. Negara yang terlalu kuat dan menguasai seluruh aspek ekonomi, justru membuka jalan bagi tirani negara. Bukannya membebaskan manusia dari penindasan, sosialisme malah mengubah bentuk penindasan: dari tangan kapitalis menjadi tangan birokrat negara.

 

Sejarah Kegagalan Sosialisme

 

Sejarah membuktikan kegagalan sosialisme di berbagai belahan dunia. Uni Soviet, pionir negara sosialis pertama di dunia, mengalami kemunduran ekonomi parah. Rakyat dipaksa mengikuti rencana ekonomi negara. Mereka tidak bebas memilih pekerjaan, tidak bebas berdagang. Juga tidak bebas berpikir.

 

Segala aktivitas ekonomi dikontrol ketat oleh negara. Hasilnya adalah antrian panjang roti, kelangkaan barang kebutuhan pokok. Dan, tentu saja, represi politik terhadap siapa saja yang mengkritik sistem.

 

Akhirnya, pada tahun 1991, Uni Soviet runtuh setelah puluhan tahun mengalami stagnasi ekonomi dan ketidakpuasan rakyat.

 

Kuba, di bawah Fidel Castro mengalami nasib serupa. Nasionalisasi besar-besaran terhadap banyak perusahaan swasta awalnya disambut euforia rakyat. Namun seiring waktu, ekonomi Kuba melemah. Kelangkaan bahan pangan menjadi hal biasa. Rakyat harus bergantung pada jatah negara yang sangat terbatas. Bahkan hingga kini, Kuba tetap menjadi negara miskin meski telah lebih dari 60 tahun menerapkan sosialisme.

 

Venezuela memberikan contoh lebih mutakhir. Hugo Chavez dan penerusnya menerapkan sosialisme abad 21. Saat itu banyak perusahaan dinasionalisasi atas nama rakyat. Namun kebijakan itu justru menghancurkan produktivitas, menciptakan hiperinflasi, dan kelangkaan pangan. Akibatnya eksodus besar-besaran rakyat keluar negeri tak terhindari.

 

Korea Utara, contoh ekstrem sosialisme. Rakyat hidup dalam kemiskinan akut di bawah kontrol negara total. Rakyat tidak memiliki hak milik sejati. Tidak bebas bergerak, bahkan hak dasar manusia pun diinjak-injak.

 

Di Indonesia, sosialisme juga sempat diterapkan. Pada masa Presiden Soekarno ada konsep ekonomi terpimpin dan semangat Nasionalisme, Agama, Komunisme (Nasakom). Negara mengambil alih sektor-sektor ekonomi strategis. Banyak perusahaan swasta dinasionalisasi. Retorika pembelaan terhadap rakyat kecil dikampanyekan kuat. Namun, praktiknya justru memperkuat dominasi negara atas ekonomi tanpa sistem yang jelas dan efisien.

 

Akibatnya, ekonomi nasional babak belur. Produktivitas melemah. Kelangkaan barang terjadi di mana-mana. Lonjakan inflasi tak terkendali. Pada akhir era Soekarno, inflasi bahkan tembus lebih dari 600 persen per tahun. Nilai rupiah jatuh, daya beli rakyat anjlok. Kesejahteraan semakin jauh dari harapan. Sosialisme gaya Soekarno terbukti tak menyelesaikan masalah. Justru memperparah krisis.

 

Semua itu membuktikan bahwa sosialisme bukanlah pembela rakyat kecil. Ia cuma janji palsu yang menghasilkan penindasan dalam bentuk baru.

 

Kontradiksi Sosialisme terhadap Fitrah Manusia

 

Sosialisme bertentangan dengan fitrah manusia. Fitrah manusia adalah cinta pada hasil kerja kerasnya. Manusia ingin memiliki, mengelola, dan menikmati hasil usahanya sendiri.

 

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

 

وَلاَ تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا

 

Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berikanlah kepada mereka belanja dan pakaian (darinya) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (QS An-Nisa' [4]: 5).

 

Ayat ini menunjukkan bahwa harta adalah pokok kehidupan. Harta diakui kepemilikannya secara pribadi. Islam tidak menghapuskan kepemilikan individu, tetapi mengaturnya agar tidak menjadi sarana kezaliman.

 

Dalam Islam, kepemilikan dibagi menjadi tiga kategori:

1. Kepemilikan individu: seperti rumah, pakaian, kendaraan, hasil usaha halal.

2. Kepemilikan umum: seperti sumber daya alam (air, api, padang rumput) yang dikelola untuk kepentingan bersama, tidak boleh dimonopoli.

3. Kepemilikan negara: untuk pos-pos tertentu demi kepentingan administrasi negara Islam.

 

Negara dalam Islam berfungsi mengatur, bukan menguasai seluruh ekonomi. Negara melindungi hak milik individu. Negara mengelola kekayaan umum untuk rakyat, dan mencegah ketidakadilan.

 

Karena itu, Islam tidak mendukung kapitalisme liar. Tapi Islam juga tidak mendukung sosialisme represif. Islam membawa jalan tengah yang adil, sesuai fitrah manusia. Dan yang lebih penting, bersumber dari wahyu Ilahi.

 

Hanya Islam yang Memberikan Solusi Hakiki

 

Sosialisme telah gagal. Kapitalisme juga terbukti gagal. Keduanya sama-sama berbasis pada ideologi buatan manusia yang penuh keterbatasan. Hanya Islam yang mampu memberikan keadilan sejati bagi seluruh umat manusia. Itu karena Islam sistem hidup yang berasal dari Allah.

 

Islam memadukan antara pengakuan terhadap hak milik pribadi, perlindungan terhadap kepentingan umum, dan peran negara sebagai pengatur yang adil. Dengan syariat Islam, tidak ada kerakusan kapitalis. Tidak ada tirani negara seperti dalam sosialisme.

 

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

 

> وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

 

Dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS Al-Ma’idah [5]: 50)

 

Maka, tugas kita hari ini adalah membangun kesadaran umat. Bahwa solusi sejati bukan di kapitalisme. Bukan pula pada sosialisme. Cuma dengan menerapkan Islam secara kaffah, maka tercipta solusi total dan global.

 

Jakarta, 5 Mei 2025

 

 

Oleh: Edy Mulyadi

Wartawan Senior

Opini

×
Berita Terbaru Update