TintaSiyasi.id-- “Min husni Islami al-mar’i tarkuhu ma la ya’nihi.” “Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.”(HR. Tirmidzi, Hasan)
Pendahuluan: Sebuah Renungan di Era Kebisingan
Kita hidup di zaman yang penuh dengan hiruk pikuk informasi, distraksi digital, dan lautan aktivitas yang tidak selalu bermakna. Dalam kondisi seperti ini, sabda Rasulullah SAW tersebut tampil seperti lentera yang menerangi gelapnya malam—menjadi penunjuk jalan bagi jiwa-jiwa yang ingin kembali kepada kedamaian, fokus, dan makna hidup sejati.
Sabda ini bukan hanya seruan untuk meninggalkan yang buruk, tapi lebih dalam: ajakan untuk menyucikan jiwa dari yang sia-sia, meskipun tampak baik di permukaan. Inilah tanda kekuatan Islam seseorang—ketika ia tahu mana yang prioritas, mana yang hanya hiasan kosong.
Makna Mendalam dari Hadis: Islam yang Dewasa dan Fokus
Hadis ini mengandung prinsip besar dalam kehidupan spiritual seorang Muslim:
1. Kedewasaan Ruhani: Seseorang yang kuat Islamnya tidak akan menghabiskan waktu, pikiran, dan tenaga untuk hal-hal yang tidak membawanya mendekat kepada Allah. Ia akan selektif dalam berbicara, bergaul, bahkan dalam hal yang ia konsumsi secara visual dan auditori.
2. Kesadaran Prioritas: Hidup adalah pilihan. Orang yang baik Islamnya memahami skala prioritas hidup: ibadah, ilmu, amal, dzikir, dan kontribusi sosial. Apa pun di luar itu yang tidak menambah iman, ketenangan, atau manfaat, maka ia tinggalkan tanpa ragu.
3. Hemat Energi Ruhani: Seperti tubuh yang perlu istirahat dari makanan yang tidak bergizi, jiwa pun harus dijaga dari asupan informasi yang tidak berguna. Dengan meninggalkan yang tidak penting, seseorang menghemat “energi ruhani” untuk hal-hal yang lebih tinggi dan bermakna.
Contoh dalam Kehidupan Sehari-hari
• Media Sosial: Betapa banyak waktu habis untuk scrolling tanpa arah. Muslim yang kuat Islamnya tidak menjadikan media sosial sebagai tempat pelarian, melainkan alat untuk menyebar kebaikan atau menambah ilmu.
• Percakapan Kosong: Berapa banyak obrolan yang tidak penting, bahkan mengarah kepada ghibah, namimah, atau debat yang tidak sehat? Islam mengajarkan diam lebih baik daripada berbicara tanpa manfaat.
• Pola Konsumsi: Muslim yang dewasa dalam keislamannya juga sadar dalam memilih tontonan, bacaan, dan hiburan. Ia tidak mengizinkan hatinya disirami oleh hal-hal yang mengotori fitrah.
• Lingkungan Pergaulan: Ia akan memilih teman yang membawanya kepada kebaikan, bukan yang menjerumuskannya pada kelalaian atau kemalasan ruhani.
Jejak Para Salaf: Hidup dalam Makna, Bukan dalam Kuantitas
Para ulama terdahulu sangat menjaga waktu dan menjauhi hal yang tidak bermanfaat. Imam Nawawi hanya tidur 2 jam sehari untuk menulis kitab, karena baginya setiap menit adalah kesempatan menuju Allah. Imam Ahmad bin Hanbal menolak banyak undangan yang tidak ada manfaat ilmiah atau ruhani di dalamnya.
Mereka hidup bukan dalam kuantitas aktivitas, tapi dalam kualitas makna. Bagi mereka, satu kata yang membawa hati kepada Allah lebih mulia dari seribu kata tanpa ruh.
Hikmah Spiritual: Meninggalkan adalah Tanda Kedekatan
Sering kali kita mengira bahwa meninggalkan adalah kehilangan. Padahal dalam Islam, meninggalkan hal yang tidak penting justru adalah bentuk pencapaian tinggi: kita mendapatkan hati yang jernih, jiwa yang ringan, dan arah hidup yang jelas. Inilah awal dari kehidupan ruhani yang tenang dan berkualitas.
Allah tidak akan menanyakan seberapa banyak kita menonton, berbicara, atau bepergian—tapi seberapa banyak yang kita lakukan membawa kita kepada-Nya.
Penutup: Mari Belajar Memilah
Saudaraku, tidak semua yang bisa dilakukan, layak untuk dilakukan. Tidak semua yang tampak menyenangkan, benar-benar menenangkan. Dalam dunia yang bising ini, kekuatan Islam kita terletak pada kemampuan untuk memilah dan meninggalkan.
Mari isi hidup kita dengan yang bermanfaat: ilmu yang menambah iman, amal yang menyuburkan jiwa, dan waktu yang digunakan untuk berdzikir, bersyukur, dan berbuat baik kepada sesama.
Karena pada akhirnya, hanya hal yang bermanfaat yang akan kita bawa di hadapan Allah. Selebihnya, hanyalah debu yang tertiup angin.
“Ya Allah, bimbinglah kami untuk senantiasa sibuk dengan hal-hal yang Engkau ridhai. Jauhkan kami dari kesia-siaan, agar waktu kami menjadi saksi atas kebaikan, bukan kelalaian.”
Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si. (Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo)