Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Ketika Judol Merajalela, Hanya Islam yang Menawarkan Jalan Keluar

Sabtu, 03 Mei 2025 | 20:22 WIB Last Updated 2025-05-03T13:23:02Z

TintaSiyasi.id -- Indonesia saat ini berada dalam kondisi darurat judi online (judol). Fenomena ini bukan sekadar masalah sosial, melainkan sudah menjelma menjadi ancaman serius bagi stabilitas ekonomi, moral, bahkan keamanan negara.

Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, menyatakan bahwa perputaran dana dari aktivitas judol terus meningkat tajam. Sepanjang tahun 2024, nilainya mencapai Rp981 triliun, dan hingga awal tahun 2025 melonjak menjadi Rp1.200 triliun (Viva.co.id, 27/4/2025).

Hal serupa disampaikan Menkopolhukam, Budi Gunawan. Ia mengungkapkan bahwa perputaran dana judol pada 2024 mencapai sekitar Rp900 triliun. Lebih mengejutkan lagi, jumlah pemain judol di Indonesia mencapai 8,8 juta jiwa. Mayoritas berasal dari kalangan menengah ke bawah. Di antaranya: 80 ribu anak di bawah usia 10 tahun, 97 ribu anggota TNI–POLRI, dan 1,9 juta pegawai swasta (CNNIndonesia.com, 21/11/2024).

Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa praktik judol bukan hanya menjangkiti kalangan atas, tetapi justru merajalela di lapisan masyarakat yang rentan secara ekonomi. Para pelaku tertarik karena iming-iming kemenangan cepat. Sistem permainan pun didesain sedemikian rupa oleh bandar dan operator. Di awal, pemain sengaja diberi peluang menang, namun perlahan dikondisikan untuk terus kalah dan kehilangan semua dana yang sudah disetor. Dari situlah muncul kecanduan, dorongan untuk terus mencoba kembali—hingga tak sadar terjerat semakin dalam.

Dampak judol sangat destruktif. Selain membuat kecanduan dan tekanan mental, ia juga mendorong berbagai tindak kriminal. Banyak kasus kejahatan, bahkan pembunuhan dan bunuh diri, bermula dari keterlibatan seseorang dalam judi online.

Beberapa kasus tragis menjadi sorotan publik. Salah satunya adalah peristiwa yang melibatkan Briptu Fadhilatun Nikmah, seorang polwan yang nekat membakar suaminya, Briptu Rian Dwi Wicaksono, karena menggunakan habis gaji untuk bermain judol—padahal dana itu seharusnya digunakan untuk menghidupi ketiga anak mereka. Contoh lainnya adalah Bripda Haris Sitanggang, anggota Densus 88, yang merampok dan membunuh sopir taksi online, Soni Rizal Taihitu, demi melunasi utang dari judi online (Tempo.co, 25/6/2024). Dan itu hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak kasus yang terus bermunculan.

Realitas ini seharusnya cukup menjadi alarm bahaya. Islam sejak awal telah menempatkan judi sebagai perbuatan keji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, judi, berhala, dan undian, semuanya itu adalah kejahatan dari perbuatan setan. Maka jauhilah semuanya itu agar kamu beruntung." (TQS. Al-Maidah [5]: 90)

Namun sayangnya, dalam sistem kapitalis yang menjadi fondasi negeri ini, ukuran perbuatan bukanlah halal dan haram, tetapi manfaat dan keuntungan. Selama ada potensi materi, semua bisa dijadikan komoditas. Yang punya modal, dia yang menguasai pasar—bahkan bila itu pihak asing. Judi, termasuk judol, mendapatkan ruang legal maupun abu-abu dalam sistem ini. Kurangnya pengawasan negara, ditambah penetrasi platform digital, iklan yang masif, dan celah hukum yang lemah, membuat bisnis haram ini terus tumbuh hingga mencapai nilai fantastis: Rp1.200 triliun.

Sistem kapitalis juga memicu ketimpangan ekonomi yang dalam. Ketika kebutuhan mendesak namun pendapatan terbatas, banyak orang tergoda mengambil "jalan pintas" untuk mendapat uang cepat, termasuk melalui judol. Sayangnya, negara tidak terlihat serius memberantas kejahatan ini. Banyak pihak justru terlibat, dan sanksi yang ada tidak menimbulkan efek jera. Upaya pencegahan pun tak menyentuh akar persoalan. Nilai-nilai sekuler yang melekat pada sistem ini menjadikan masyarakat kehilangan orientasi pada halal dan haram.

Berbeda halnya dengan sistem Islam. Dalam sistem ini, pemberantasan judi tidak dilakukan secara parsial, melainkan menyeluruh. Tidak cukup hanya menghukum pelaku dan bandar melalui takzir, tetapi juga membangun sistem sosial dan negara yang melarang praktik perjudian secara total. Syariat ditegakkan, hukum ditegakkan oleh aparat khusus, dan budaya amar makruf nahi mungkar ditumbuhkan di tengah masyarakat. Judi diberantas bukan hanya karena merugikan, tetapi karena melanggar ketentuan syariat.

Sistem Islam juga menyentuh akar masalah. Ia tidak membiarkan kemiskinan dan gaya hidup hedonis merajalela. Dakwah fikriyah dilakukan untuk membangun kesadaran ideologis, pendidikan Islam menanamkan nilai benar sejak dini, budaya dikontrol oleh nilai-nilai Islam, dan sanksi diterapkan secara adil dan tegas.

Maka pertanyaannya, sampai kapan kita akan terus membiarkan sistem ini berjalan seperti biasa, meski nyata-nyata menghancurkan kita? Sampai kapan kita hanya menjadi korban empuk dari sistem yang membuka jalan bagi para pelaku kejahatan untuk terus meraih keuntungan? Akankah kita terus memilih jalan pasrah dan diam dalam ketidakadilan?

Pilihan ada di tangan kita. Terus tunduk dalam sistem rusak, atau bangkit dan berjuang mewujudkan perubahan yang hakiki.

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Kartika Putri, S. Sos.
(Aktivis Muslimah)

Opini

×
Berita Terbaru Update