Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Banjir Masalah Ekologis dan Sistemis

Selasa, 20 Mei 2025 | 20:40 WIB Last Updated 2025-05-20T13:45:34Z
TintaSiyasi.id -- Bupati Bandung, Dadang Supriatna, kembali menunjukkan gerak cepat (gercep) dalam menangani banjir yang sering melanda Kecamatan Dayeuhkolot. Melalui Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (DPUTR), Pemkab Bandung mulai membangun tiga jembatan dan satu tembok penahan tebing (TPT) di wilayah rawan banjir.

Salah satu proyek tersebut berada di Sungai Cipurut, Kampung Sukabirus, Desa Citeureup. TPT sepanjang 70 meter dan tinggi 4,5 meter dibangun untuk menahan erosi tebing dan mengurangi luapan air sungai yang kerap merendam rumah warga. Langkah ini diharapkan dapat memberikan solusi sementara terhadap banjir yang meresahkan masyarakat setempat (BaleBandung, 15 Mei 2025).

Respons cepat seorang kepala daerah dalam menangani banjir melalui pembangunan jembatan atau tembok penahan tanah (TPT) tentu patut diapresiasi. Ini menunjukkan adanya kepedulian terhadap penderitaan rakyat. Namun, benarkah penanganan banjir cukup diselesaikan hanya dengan pembangunan infrastruktur fisik di wilayah aliran sungai?

Data dari berbagai wilayah di Indonesia menunjukkan bahwa banjir tidak hanya disebabkan oleh faktor lokal di hilir, melainkan juga karena kerusakan yang terjadi di hulu. Alih fungsi lahan dan minimnya ruang terbuka hijau telah menyebabkan berkurangnya daya serap air tanah. Air hujan yang seharusnya bisa diserap ke dalam tanah malah langsung mengalir ke sungai dengan volume besar, menyebabkan luapan dan banjir bandang.

Masalah banjir adalah persoalan ekologis dan sistemik. Solusi teknis seperti pembangunan jembatan atau TPT memang bisa meringankan dampak, namun tidak menyentuh akar persoalan, seperti alih fungsi lahan untuk pertambangan, perkebunan, atau permukiman tanpa kajian lingkungan yang memadai; minimnya peraturan tegas dalam menjaga kelestarian daerah tangkapan air; serta kurangnya koordinasi antarwilayah hulu dan hilir dalam pengelolaan sungai dan daerah aliran sungai (DAS). Jika penanganan hanya bersifat reaktif dan berfokus pada proyek sementara, maka bencana akan terus berulang. Dibutuhkan perencanaan terpadu dan keberanian politik untuk mengambil kebijakan jangka panjang yang mungkin tidak populer secara elektoral.

Namun, di atas semua itu, muncul pertanyaan mendasar: Apakah sistem saat ini cukup kuat dan berlandaskan nilai tanggung jawab moral dan spiritual dalam mengelola amanah kepemimpinan dan lingkungan? Karena pada faktanya, persoalan banjir terus menjadi permasalahan menahun yang tidak kunjung terselesaikan.

Dalam sistem Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, pemimpin dipilih bukan semata untuk kekuasaan, melainkan karena beban amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Dalam QS Saba: 15 menunjukkan bahwa keberkahan bumi dan langit datang dari ketaatan kepada aturan Allah:
"Pada kaum Saba’ benar-benar ada suatu tanda (kebesaran dan kekuasaan Allah) di tempat kediaman mereka, yaitu dua bidang kebun di sebelah kanan dan kiri. (Kami berpesan kepada mereka,) 'Makanlah rezeki (yang dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik (nyaman), sedangkan (Tuhanmu) Tuhan Yang Maha Pengampun.'"

Sistem Islam memandang negara sebagai pelayan umat, yang selalu mengurusi kebutuhan umat sesuai dengan syariat, bukan penguasa yang memeras kepada umat, atau bahkan kedudukannya di atas umat. Oleh karena itu, kebijakan publik termasuk pengelolaan lingkungan dilakukan untuk menjaga maslahat, bukan atas dasar proyek jangka pendek atau kepentingan politis.

Dalam sejarah kepemimpinan Islam, pengelolaan lingkungan termasuk air, tanah, dan hutan dijalankan dengan prinsip: kepemilikan umum dijaga dari eksploitasi; wilayah hutan dan sungai dipelihara sebagai amanah; dan kebijakan dibuat berdasarkan syariah dan maslahat umat, bukan keuntungan individu atau kelompok. Kepemimpinan Islam melahirkan figur yang kuat secara moral dan spiritual: taat, amanah, tangguh, dan empati terhadap rakyatnya. Mereka tidak hanya gerak cepat dalam tindakan, tetapi juga paripurna dalam perencanaan dan akuntabilitas.

Menghadapi bencana seperti banjir, kita memerlukan lebih dari sekadar kecepatan. Kita butuh sistem yang benar, menyeluruh, dan berpijak pada nilai-nilai ilahiah yang menjamin kelestarian alam dan kesejahteraan manusia. Apresiasi kepada pemimpin yang bergerak cepat tetap penting. Tapi, kritik terhadap aturan sistem yang tidak menyelesaikan akar masalah jauh lebih mendesak. Maka, sudah saatnya umat menimbang kembali bahwa hanya dengan penerapan syariat secara kaffah dalam sistem aturan negara Islam, problematika besar umat dapat terselesaikan dengan tuntas dan penuh keberkahan.

Wallahu a’lam bishshawab.

Oleh: Adliyatul Hikmah Gustian
Aktivis Muslimah

Opini

×
Berita Terbaru Update