“Jadi ada
beberapa hadis tentang siapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka tanah itu
adalah miliknya,” ujarnya dalam Serial Kupas Tuntas bertajuk Hukum
Tanah Menurut Islam di Facebook miliknya, Jumat (25/04/2025).
Ia
menjelaskan, tanah mati (ardul al-mawat) adalah tanah yang tidak ada
pemiliknya. “Untuk memiliki tanah mati ada dua syarat yang mesti dipenuhi. Pertama,
dipastikan bahwa tanah itu tidak mempunyai pemilik,” sebutnya.
"Sudah
dipastikan, artinya semua orang tahu bahwa tanah ini tidak ada pemiliknya. Atau
mungkin mereka tidak tahu, mereka sudah cek sana sini, mereka sudah cek sini,
dan semua orang menyatakan bahwa tanah ini tidak ada pemiliknya,"
jelasnya.
Kedua,
tanah tersebut haruslah tanah terlantar. "Tanah itu juga tidak ada
tanda-tanda digarap orang lain. Artinya tanah itu terlantar," lanjutnya.
Lanjutnya,
jika dua hal itu sudah pasti, maka menurut hukum Islam, tanah itu adalah milik
orang yang menghidupkannya, baik dengan cara bercocok tanam, menanam sesuatu,
atau memagari tanah itu.
"Jadi
ini hukum Islam yang tidak berlaku sekarang. Kita sedang bahas ini dalam Islam,
tidak berlaku sekarang," jelasnya.
Ia menyatakan,
hal itu berbeda dengan hukum pertanahan yang diterapkan di Malaysia, yaitu
sistem Torren yang berasal dari Australia. “Sistem Torren
menetapkan bahwa seseorang adalah pemilik sah suatu tanah jika nama mereka
terdaftar pada sijil tanah,” bebernya.
"Sistem
ini menyatakan siapa yang mendaftarkan tanahnya, jadi dia adalah pemilik tanah
tersebut, kecuali terbukti sebaliknya," katanya.
Ia
menjelaskan, menurut hukum Malaysia, siapa saja yang sudah bermukim di suatu
tanah meskipun sudah bertahun-tahun, tetapi belum pernah mendaftarkan namanya
di Kantor Pertanahan, maka tanah tersebut bukan miliknya.
"Untuk
tanah apa pun yang tidak punya nama, tidak punya pemilik, tidak ada sijil
tanah, maka tanah itu di Malaysia adalah milik pemerintah negara,"
lanjutnya.
Hal itu
dijelaskannya untuk menjawab persoalan adanya penyerobotan tanah di Raub,
Pahang, yakni tahan yang disebut-sebut telah diserobot selama 30 tahun dan
ditanami tanaman durian Musang King.
"Cerita
Musang King, tanah di Raub, tanah hutan yang sudah dimasuki rakyat, kalau
memang benar di tanah itu tidak ada nama siapa-siapa dalam sijil itu, maka
tanah itu menjadi milik pemerintah daerah," terangnya.
Ia
menjelaskan, jika sudah dipastikan tanah tersebut milik pemerintah daerah,
menurut hukum Malaysia, barulah siapa pun yang memasuki tanah tersebut dianggap
sebagai pelanggar hukum. “Hal ini berbeda dengan hukum Islam,” ungkapnya.
"Dalam
Islam kedudukannya berbeda. Kalau Anda benar-benar tidak tahu tanah itu milik
siapa, Anda sudah periksa semuanya dan tidak ada pemiliknya, ya sudah, Anda
bangun pagar di sana, anda berbisnis di sana, baru anda menjadi
pemiliknya," tegasnya.
Lanjutnya, apabila
tanah tersebut sudah diketahui pemiliknya, maka orang lain tidak akan menjadi
pemiliknya sekalipun ia menghidupkan kembali tanah yang mati itu. “Karena
demikianlah kedudukan hukumnya dalam Islam. Dalam kasus tanah Musang King telah
terjadi perambahan dan terserah kepada pemerintah daerah apakah akan menebang
pohon durian di sana atau tidak,” ulasnya.
"Jadi
dalam Islam tidak apa-apa, tidak masalah menebang pohon. Anda bisa menebang
pohon apa saja. Hanya saja tidak bijaksana untuk melakukan itu. Tanah yang
sudah ada tanamannya, dia ada manfaatnya untuk hasilnya, kan," pungkasnya.[]
Syamsiyah Jamil