TintaSiyasi.id-- Dalam gemuruh dunia yang tak pernah sunyi dari ambisi dan pencapaian, seringkali manusia kehilangan arah. Dunia menjadi pusat tujuan, bukan lagi alat menuju yang hakiki. Namun, dalam salah satu nasihat emasnya, Syekh Abdul Qadir al-Jailani memberi kita arah yang menenangkan:
“Jadilah berakal dan berqanaahlah dengan dunia yang sedikit, sehingga Dia akan memberimu akhirat yang banyak.”
Sebuah pesan yang ringkas, tapi mengandung intisari kehidupan ruhani yang mendalam. Dua kata kunci yang patut direnungkan: berakal dan qanaah.
Berakal: Melihat Dunia dengan Cahaya Ilmu
Berakal bukan sekadar cerdas secara intelektual. Ia adalah kemampuan untuk melihat dunia dengan cahaya iman dan hikmah. Orang yang berakal tahu bahwa dunia ini hanya tempat singgah, bukan rumah abadi. Ia memanfaatkan waktunya untuk menanam amal, bukan menumpuk gemerlap fana.
Qanaah: Ketenteraman dalam Ketercukupan
Qanaah bukan berarti pasrah tanpa usaha. Ia adalah ridha terhadap apa yang Allah berikan setelah berikhtiar. Di tengah dunia yang menuntut lebih dan lebih, qanaah adalah revolusi batin—menemukan bahagia dalam cukup, bukan dalam banyak.
Orang yang qanaah tidak tertipu oleh fatamorgana dunia. Hatinya lapang meski dompetnya tipis. Ia tahu, dunia ini bukan ukuran keberhasilan sejati—melainkan bekal menuju akhirat.
Akhirat: Ganjaran Bagi yang Mengerti Prioritas
Allah menjanjikan akhirat yang banyak bagi mereka yang bersabar, yang memilih ridha-Nya meski harus menahan diri dari keinginan duniawi. Seperti seorang musafir cerdas yang memilih membawa bekal secukupnya daripada memberatkan diri dengan barang tak berguna.
Al-Jailani mengingatkan kita: jangan sampai dunia yang sedikit menghalangi kita dari akhirat yang luas.
Penutup:
Nasihat ini adalah pelita bagi jiwa yang haus makna. Mari gunakan akal kita untuk menimbang prioritas hidup, dan latih hati kita untuk bersyukur dengan yang ada. Karena di balik qanaah yang sederhana, tersembunyi kekayaan yang abadi—di akhirat yang tak bertepi.
Zuhud: Jalan Kebersihan Hati dan Ketenangan Jiwa
Dalam kehidupan yang penuh dengan godaan duniawi, seorang mukmin sejati memiliki pandangan yang berbeda. Ia tidak menolak dunia, tetapi juga tidak menjadikannya sebagai tujuan utama. Seperti dikatakan dalam sebuah nasihat hikmah:
"Seorang mukmin berzuhud terhadap dunia. Kezuhudan lalu menghilangkan kekotoran, noda, dan kekeruhan batinnya. Ia lalu mendatangi akhirat, maka tenanglah hatinya."
Ini bukan sekadar sikap, melainkan transformasi jiwa. Mari kita renungkan lebih dalam.
1. Zuhud: Bukan Menolak Dunia, Tapi Melepas Keterikatan
Zuhud bukan berarti meninggalkan harta, pekerjaan, atau kehidupan sosial. Zuhud adalah melepas ketergantungan hati terhadap dunia. Dunia tetap di tangan, tapi tidak lagi mengikat jiwa. Orang yang zuhud tetap bekerja, tetap menikah, tetap berdagang—namun hatinya tetap bergantung hanya kepada Allah.
Inilah kebebasan sejati: ketika dunia tidak lagi menguasai, tapi menjadi kendaraan menuju akhirat.
2. Kejernihan Batin: Hasil dari Zuhud yang Sejati
Ketika seorang mukmin berzuhud, kekotoran batin mulai luruh. Sifat tamak, iri, dengki, sombong—semua perlahan sirna. Zuhud menghidupkan ruang dalam hati, tempat cahaya ilahi bisa masuk. Batin yang dulu keruh karena cinta dunia kini jernih, seperti air yang kembali ke mata airnya.
Kejernihan batin ini membuat seseorang lebih mudah melihat kebenaran, lebih ringan dalam beribadah, dan lebih peka terhadap kehadiran Allah dalam setiap langkah.
3. Tenangnya Hati: Buah dari Menatap Akhirat
Ketika dunia tidak lagi membebani hati, dan batin telah bersih dari noda, maka seorang mukmin akan menatap akhirat dengan hati yang tenang. Ia tidak lagi cemas terhadap kehilangan dunia, karena ia yakin bahwa yang terbaik sedang menantinya di sisi Allah.
Ketenangan ini bukan sekadar emosi, tapi kedalaman jiwa. Ia berjalan di dunia, tapi hatinya telah menetap di negeri abadi.
Penutup:
Zuhud adalah perjalanan sunyi yang melahirkan damai. Ia bukan sikap ekstrem, tapi sikap bijak yang menjadikan dunia sebagai ladang amal, bukan istana impian. Siapa yang mampu menempuhnya, akan merasakan kebersihan hati dan ketenangan jiwa yang tak bisa dibeli oleh apapun di dunia ini.
"Ia lalu mendatangi akhirat, maka tenanglah hatinya."
Itulah buah dari zuhud: hati yang damai dalam pelukan cinta Ilahi.
Zuhud: Jalan Sunyi Menuju Kedamaian Abadi
Di tengah gemerlap dunia yang terus menawarkan kilauan semu, manusia sering terjebak dalam kelelahan yang tak bernama. Ia mengejar dunia, namun tak pernah benar-benar merasa cukup. Hati yang sempit, jiwa yang gelisah, dan batin yang keruh adalah harga yang dibayar untuk kehidupan yang terlampau melekat pada yang fana.
Namun di balik hiruk-pikuk itu, seorang mukmin sejati memilih jalan yang lain. Jalan sunyi, jalan yang jarang dilalui: jalan zuhud.
“Seorang mukmin berzuhud terhadap dunia. Kezuhudan lalu menghilangkan kekotoran, noda, dan kekeruhan batinnya. Ia lalu mendatangi akhirat, maka tenanglah hatinya.”
Sebuah kalimat yang bukan hanya indah, tapi menampar kesadaran. Zuhud bukan pelarian, tapi penjernihan. Ia bukan menjauh dari dunia, tapi mendekat pada akhirat.
Mengapa Zuhud?
Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia dan semua kenikmatannya. Zuhud berarti mengosongkan hati dari cinta yang berlebihan kepada dunia. Seorang zuhud tetap bekerja, tetap berumah tangga, tetap beraktivitas—namun hatinya tidak terpaut pada dunia. Ia seperti seorang pengembara: singgah, tapi tidak tinggal selamanya.
Karena ia tahu, dunia hanyalah jembatan. Dan siapa yang terlalu mencintai jembatan, bisa jadi akan lupa ke mana ia seharusnya menuju.
Pembersihan Batin: Dampak Nyata dari Zuhud
Hati yang terikat pada dunia akan mudah sakit: iri, dengki, takut kehilangan, gelisah akan masa depan, bangga saat mendapat, terhina saat gagal. Namun hati yang zuhud akan perlahan-lahan menjadi ringan dan bersih.
Zuhud menyapu debu keserakahan dan kerak keakuan. Ia membuat batin jernih seperti telaga yang bening, memantulkan cahaya Ilahi tanpa kabut.
Kezuhudan lalu menghilangkan kekotoran, noda, dan kekeruhan batinnya.
Inilah kemerdekaan yang hakiki—ketika hati tak lagi dikendalikan oleh dunia, tapi hanya tunduk pada Allah.
Ketenangan: Hadiah untuk Jiwa yang Menatap Akhirat
Ketika seorang mukmin telah zuhud, dan batinnya bersih, maka ia mulai mendatangi akhirat. Artinya: arah hidupnya jelas. Tujuannya bukan sekadar karier, rumah megah, atau gelar tinggi—tapi ridha Allah dan surga-Nya.
Dan saat itulah hatinya menemukan ketenangan. Sebuah kedamaian yang tidak bisa dibeli oleh apapun. Hati yang tidak mudah berguncang, karena ia tahu bahwa semuanya hanyalah sementara.
“Ia lalu mendatangi akhirat, maka tenanglah hatinya.”
Akhir Kata: Jalan Sunyi yang Penuh Cahaya
Zuhud bukan jalan yang ramai. Ia bukan pilihan populer di zaman yang serba instan dan materialistik. Tapi ia adalah jalan orang-orang besar, para salafush shalih, para wali, dan para pecinta sejati Allah.
Siapa pun yang menempuhnya dengan niat yang benar dan hati yang jujur, akan merasakan apa yang dicari oleh seluruh manusia di dunia: ketenangan jiwa.
Maka mari kita bertanya kepada diri sendiri:
Sudahkah dunia ada di tangan, dan tidak menempati hati kita? Ataukah justru dunia yang menguasai hati, lalu menyesakkan dada? Jika jawabannya belum, mungkin sudah waktunya kita berjalan menuju zuhud—walau pelan, asal istiqamah. Karena pada akhirnya, hanya hati yang zuhud yang mampu pulang ke akhirat dengan damai.
Oleh. Dr. Nasrul Syarif M.Si. (Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo)