Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Syukur dan Hijrah di Jalan Allah

Minggu, 02 Maret 2025 | 08:06 WIB Last Updated 2025-03-02T01:06:39Z
TintaSiyasi.id—Syukur adalah menggunakan nikmat-nikmat Allah tidak untuk bermaksiat kepada-Nya. Demikian penjelasan Junaid.

Betul, apa yang dijelaskan oleh Imam Junaid al-Baghdadi tentang syukur sangat dalam. Syukur bukan hanya sekadar ucapan terima kasih, tetapi juga mencakup bagaimana kita memanfaatkan segala nikmat yang diberikan Allah dengan cara yang benar, sesuai dengan kehendak-Nya.

Dalam konteks ini, syukur berarti menggunakan segala pemberian Allah—baik itu berupa harta, ilmu, waktu, atau kesehatan—untuk mendekatkan diri kepada-Nya, bukan malah menjauhkan diri atau menggunakannya untuk bermaksiat. Misalnya, jika Allah memberikan kita rezeki, syukur kita adalah dengan menggunakan rezeki tersebut untuk hal-hal yang baik, seperti membantu sesama atau menyokong tujuan yang bermanfaat. Begitu juga dengan nikmat lainnya, seperti tubuh yang sehat atau waktu luang, harus digunakan untuk beribadah atau kegiatan positif yang mendekatkan kita kepada Allah.

Konsep syukur ini mengajak kita untuk lebih memperhatikan kualitas hubungan kita dengan Allah dan cara kita menghargai nikmat-Nya dalam kehidupan sehari-hari. Apa menurutmu, apakah syukur dalam kehidupan sehari-hari itu sering kita lupakan atau sudah cukup kita aplikasikan?

Ath-Thabari berkata, " Di antara sebab-sebab yang menarik rezeki adalah hijrah di jalan Allah,

Benar sekali. Imam Ath-Thabari, seorang mufassir terkenal, menyebutkan bahwa salah satu sebab yang dapat memperluas atau menarik rezeki adalah hijrah di jalan Allah. Hijrah dalam konteks ini tidak hanya terbatas pada perpindahan tempat secara fisik seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah, tetapi juga bisa dimaknai secara lebih luas sebagai perpindahan dari keadaan yang buruk menuju keadaan yang lebih baik dalam segala aspek kehidupan.

Hijrah di jalan Allah dapat meliputi:

1. Hijrah dari dosa menuju taubat: Berhenti melakukan perbuatan yang buruk dan berusaha mendekatkan diri kepada Allah.
2. Hijrah dalam meningkatkan kualitas ibadah: Berpindah dari kelalaian dalam ibadah menjadi lebih tekun dalam melaksanakan sholat, membaca Al-Qur'an, atau berdoa.
3. Hijrah dalam aspek sosial: Menghindari pergaulan yang buruk dan mencari lingkungan yang lebih baik dan mendukung kehidupan spiritual.

Imam Ath-Thabari dalam penafsirannya menghubungkan konsep hijrah ini dengan keberkahan rezeki, karena orang yang hijrah di jalan Allah menunjukkan kesungguhan dalam mencari keridhaan-Nya. Allah berfirman dalam Surah Al-Nisa' (4:100):
"Dan barang siapa yang berhijrah di jalan Allah, ia akan mendapatkan tempat yang luas di bumi dan banyak rezeki."

Dalam konteks ini, hijrah bukan hanya soal berpindah tempat fisik, tapi juga tentang mencari keberkahan dan rezeki dengan cara yang halal dan sesuai dengan perintah Allah. Allah menjanjikan bagi mereka yang hijrah di jalan-Nya, baik rezeki yang lebih luas maupun hidup yang lebih berkah.

Apakah kamu pernah merasa bahwa dengan melakukan perubahan positif dalam hidup, rezeki juga datang lebih lancar? Terkadang, langkah kecil dalam hijrah bisa membuka jalan bagi banyak kebaikan, bukan?

Fudhail berkata," Dua hal yang mengeraskan hati banyak berbicara dan banyak makan.

Kata-kata Fudhail bin 'Iyadh ini sangat dalam dan penuh makna. Beliau, seorang ulama besar dari kalangan salaf, mengingatkan kita tentang dua hal yang dapat mengeraskan hati: banyak berbicara dan banyak makan.

1. Banyak Berbicara
• Banyak berbicara, terutama jika tidak ada manfaatnya, bisa membuat hati menjadi keras. Ketika seseorang sering berbicara tanpa tujuan yang jelas, seperti berbicara tentang hal-hal yang tidak berguna atau menghabiskan waktu untuk gosip, hal itu bisa mengalihkan perhatian dari hal-hal yang lebih penting, seperti berdzikir kepada Allah atau merenung.
• Dalam Islam, diajarkan untuk menjaga lisan dan hanya berbicara ketika diperlukan, karena kata-kata yang tidak berguna bisa merusak hati dan bahkan bisa menjerumuskan seseorang pada dosa.
Allah berfirman dalam Al-Qur'an:
“Tidak ada perkataan yang tidak bermanfaat, kecuali yang diucapkan oleh orang yang beriman yang mengajak kepada kebaikan, atau yang mengingatkan kepada Allah.” (Al-Ahqaf: 17)

2. Banyak Makan
• Makan yang berlebihan atau terlalu banyak bisa menyebabkan kelalaian dalam ibadah dan menurunkan kualitas spiritualitas seseorang. Ketika seseorang makan terlalu banyak, tubuh menjadi lemah dan hati pun menjadi lebih berat untuk melaksanakan ibadah.
• Selain itu, makan yang berlebihan bisa membuat seseorang lebih fokus pada kenikmatan duniawi daripada urusan akhirat. 

Dengan menjaga pola makan, kita juga menjaga keharmonisan tubuh dan jiwa, serta menjaga keseimbangan hidup.

Nabi Muhammad SAW bersabda:

"Tidak ada wadah yang lebih buruk untuk dipenuhi oleh anak Adam selain perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap yang bisa menguatkannya untuk berdiri, jika tidak bisa, maka sebaiknya sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum, dan sepertiga untuk bernapas." (HR. Tirmidzi)

Kaitan Keduanya dengan Hati
• Banyak berbicara bisa menyebabkan hati menjadi keras karena kita menjadi lebih sering terganggu oleh hal-hal duniawi yang tidak bermanfaat. Sementara itu, banyak makan bisa membuat kita menjadi malas, kurang bertenaga untuk beribadah, dan lebih terfokus pada kenikmatan dunia daripada mencari keridhaan Allah.
• Keduanya, jika tidak diatur dengan bijaksana, dapat mengurangi kualitas ibadah dan spiritualitas kita, dan membuat hati kita menjadi lebih keras, lebih sulit untuk menerima nasihat, dan kurang peka terhadap perasaan orang lain.

Fudhail bin 'Iyadh memberikan nasihat yang sangat relevan di zaman sekarang, di mana kita mudah terjebak dalam berbicara tanpa tujuan dan makan tanpa batas. Menjaga keseimbangan dalam hal ini sangat penting untuk merawat hati agar tetap lembut dan peka terhadap kebaikan.

Apa menurutmu, apakah kamu merasa bahwa berbicara yang tidak perlu atau makan berlebihan pernah mempengaruhi hatimu atau kualitas ibadahmu?

Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si. (Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo)

Opini

×
Berita Terbaru Update