TintaSiyasi.id -- Pimpinan Majelis Inspiring Qur’an Ustaz Eri Taufiq, memaparkan empat pilar dalam sistem kepemimpinan Islam.
"Pertama, kedaulatan ada di tangan syariat. Dalam kajian ilmiah kedaulatan itu tidak mungkin di tangan rakyat, tidak mungkin juga di tangan penguasa, tetapi kedaulatan itu ada di tangan hukum, dan ini yang diakui oleh pakar-pakar ketatanegaraan," ungkapnya di kanal YouTube Mercusuar Ummat, Bedah Khilafah - Pilar Sistem Pemerintahan Islam, Sabtu (8/3/2025).
Ia menambahkan, entah bagaimana tiba-tiba kedaulatan bergeser ke tangan rakyat yang justru akhirnya malah dikuasai oleh para pemilik modal, pemilik uang, atau bergeser ke para raja, para penguasa, yang akhirnya menjadi diktator karena kedaulatan ada di tangannya. Dalam Islam kedaulatan ada di tangan hukum. dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (Qs. Al Maidah 50).
Karena itu, lanjut Eri, pilar yang sangat penting dalam Islam bahwa kedaulatan ada di tangan pembuat hukum syarak, ini yang bisa dipahami dan ada di Islam. Kalau bicara tentang pembuat hukum, maka pembuat hukum itu Allah. Penguasa maupun rakyat hanya pelaksana dari hukum-hukum Allah Saw.
Ia mencontohkan bahwasanya Rasulullah sebagai seorang Nabi dan Rasul, pemimpin tetap terkena hukum syariat Islam. Bahkan keluarga Nabi sekalipun terkena syariat Islam, Rasulullah dengan tegas mengatakan 'kalau yang mencuri itu Fatimah anaknya Muhammad aku sudah pasti potong tangannya' ini menunjukkan bahwa Rasulullah sebagai seorang nabi dan rasul, pemimpin tetap terkena hukum syariat.
"Agak beda dengan sekarang. Ada orang-orang tertentu yang tiba-tiba merasa bebas hukum, karena kedaulatan ada di tangannya, merasa bahwa hukum dia yang bikin, sehingga dia tidak harus terkena hukum itu naudzubillah Min dzalik," ujarnya.
Kemudian, hal Ini juga yang diikuti oleh para khalifah sesudahnya, bagaimana para khalifah dan para keturunannya tetap terkena hukum syariat Islam.
Ia mencontohkan, anak dari Khalifah Umar bin Khattab ketika dia menggembalakan unta di padang penggembalaan negara. Lalu untanya besar-besar maka dengan sederhana aja. Khalifah Umar mengatakan 'serahkan unta itu untuk negara, karena engkau beri dia makan di padang gembalaan milik negara'. Seorang khalifah yang kekuasaannya begitu besar, hampir sepertiga dunia, menyerahkan unta yang digembalakan anaknya untuk negara, karena khawatir ada harta negara yang termakan di sana.
"Ini menunjukkan bahwa kedaulatan ada di tangan syariat bukan di tangan manusia, penguasa, rakyat, sehingga secara esensial kita mengatakan bahwa sangat berbeda antara sistem khilafah dengan sistem yang ada pada hari, baik sistem demokrasi yang menyerahkan kedaulatan di tangan rakyat, sistem kerajaan yang menyerahkan kedaulatan ada di tangan raja, atau sistem komunis yang menyerahkan kedaulatan ada di tangan penguasa, sehingga jadi diktator proletariat," urainya.
"Islam punya jalan sendiri kedaulatan ada di tangan syarak, sehingga dikatakan bahwa orang yang dia punya kekuasaan tetapi dia tidak mau berhukum dengan hukum Allah maka dia dikatakan kafir, fasik, zalim naudzubillah Min dzalik," sambungnya.
Kedua, setiap kebijakan negara harus berdasarkan dalil syar'I, dan bukan atas dasar kemaslahatan atau tuntutan mayoritas publik.
"Jadi dalam Islam bukan no viral no justice kalau dia melanggar syariat berarti dia harus dikenakan sanksi, tetapi kalau dia taat syariat maka dia dibiarkan Kenapa karena ini sesuai dengan tuntutan syariat," tambahnya.
Kemudian, kekuasaan ada di tangan umat, Islam tidak mengenal putra mahkota, transisi kepemimpinan yang diwariskan dari ayah kepada anaknya.
"Walaupun dalam sejarah Islam ada putra-putra mahkota yang menjadi khalifah setelah ayahnya mundur, tetapi ada sistem baiat, baiat ini menunjukkan keridhaan umat terhadap pemimpinnya. Disitulah kita memahami bahwa kekuasaan ada di tangan umat, umatlah yang berhak menentukan siapa di antara mereka yang akan jadi pemimpin, sehingga fit and property-nya jelas didasarkan pada ketaatan orang yang hendak menjadi khalifah. Karena syarat pertama kalifah itu dia adalah orang yang paling taat kepada Allah Swt," paparnya.
Ia kembali menekankan, kekuasaan dalam Islam ada di tangan umat, sama dengan sistem demokrasi hari ini. Umat lah yang memberi pemimpin lewat pemilu tetapi jelas bahwa indikator di dalam sistem Islam, yang berhak menjadi pemimpin bukan karena populer, artis, kaya, tetapi ziapa yang paling layak, paling dekat dengan Allah Swt. maka itulah yang akan dipilih oleh masyarakat, boleh jadi nanti dalam sistem khilafan ada pemilu, karena rakyat berhak untuk menentukan siapa yang akan mereka pilih menjadi pemimpin di tengah-tengah mereka.
"Banyak orang menganggap bahwa sistem Islam itu sistem putra mahkota, jadi kalau seorang khalifah dia menjabat sebagai khalifah lalu kemudian dia lengser maka otomatis anaknya akan melanjutkan atau keluarganya akan melanjutkan, tidak seperti itu, yang sesungguhnya kekuasaan ada di tangan umat, sehingga umatlah yang memilih siapa yang akan jadi pemimpin yang paling layak di tengah-tengah mereka," ujarnya.
Ia mencontohkan, ketika Rasulullah wafat maka kaum Muhajirin dan Ansor semua menyiapkan orang yang paling layak menjadi khalifah penggantinya Rasulullah, walaupun ada sinyal-sinyal dari Rasulullah bahwa Abu Bakar. Tetapi tidak otomatis Abu Bakar langsung jadi pemimpin menjadi khalifah pada masa itu, para sahabat dari golongan Ansor dan Muhajirin memberikan usulan orang-orang yang akan menggantikan Rasulullah lalu jatuhlah pilihan itu pada Abu Bakar Siddiq, lalu setelah terpilih di baiatlah Abu Bakar.
Selanjutnya, ia menjelaskan sistem pemerintahan khilafah bukan kediktatoran, tetapi umat berhak untuk menggantikan siapa yang akan mengganti khalifah selanjutnya.
"Kalau bicara tentang sistem pemerintahan modern rasanya khilafah ini mewakili ke modern Itu dibandingkan dengan sistem kerajaan atau dibandingkan dengan sistem sosialisme komunis ya nauzubillah min dzalik, yang berdasarkan kekuasaannya atas garis keturunan, atau pada partai yang berkuasa saja, dalam Islam kekuasaan itu ada di tangan umat," tambahnya.
Ketiga, mengangkat satu khalifah wajib bagi seluruh kaum muslimin. "Jadi kaum muslimin itu hanya memiliki satu pemimpin yaitu seorang khalifah, kalau ada dua pemimpin, maka pemimpin yang berikutnya harus dibunuh, maksudnya adalah bahwa kaum muslimin itu hanya boleh memiliki satu pemimpin saja, tidak layak memiliki lebih dari satu orang pemimpin," ujarnya.
"Ternyata tuntutan dunia modern hari ini memang harus ada satu kepemimpinan tunggal untuk sebuah komunitas jamaah atau sebuah masyarakat, masyarakat tidak bisa lagi berhenti pada negara-negara bangsa dengan banyak pemimpin, karena arus informasi, barang dan jasa, compressing the world itu sudah mengharuskan mereka punya satu wilayah luas di mana kemudian punya seorang pemimpin, dan hari ini mereka sudah menggagas itu, kita (umat Islam) sudah punya itu sejak lama, jadi aneh kalau hari ini kaum muslimin tiba-tiba terpecah jadi negara-negara kecil yang sama sekali enggak siap menghadapi globalisasi, enggak siap menghadapi compressing the world, karena dunia ini makin kecil," ungkapnya.
Artinya, ia menjelaskan, konsekuensinya adalah haram kaum muslimin terpecah-pecah dan tidak memiliki khalifah, wajib adanya persatuan kaum muslimin dan satu kepemimpinan.
"Bagaimana mungkin tiba-tiba kita muslim datang ke negara-negara lain jadi pekerja di sana disebut pendatang haram, lalu jadi warga kelas 3 warga kelas 4 gitu ya nauzubillah min dzalik, padahal bumi Allah ini luas dan kamu bisa hijrah di dalamnya, kamu bisa mencari mata pencaharian kamu di manapun, harusnya ini yang kita pikirkan bersama, setiap muslim memiliki tanggung jawab untuk berjuang dalam menegakkan kembali khilafah," tegasnya.
Keempat, hanya khalifah yang berhak untuk melakukan tabani terhadap hukum syarak. "Dengan petabanian ini seorang khalifah punya kepastian hukum untuk mengambil kebijakan di dalam negara. Jadi, nanti khalifah itu masa jabatannya enggak bisa dibatasi, silahkan saja tetapi dia bisa diturunkan ketika dia sudah tidak konsisten lagi dalam memegang kebijakannya mengacu pada syariat," ujarnya.
Kemudian, ia menjelaskan, sebuah negara modern harus punya kepastian dan pengambilan hukum, berbeda dengan trias politika, trias politika itu terjadi saling kunci, ada legislative, yudikatif, eksekutif, eksekutif tidak punya hak untuk langsung mengimplementasikan kebijakannya, harus koordinasi dulu dengan legislatif, berarti ada kunci di situ, bisa jadi saling kunci atau dia harus konsultasi juga kepada yudikatif, boleh jadi ada persoalan di situ makanya efektivitas dalam sistem demokrasi itu terabaikan ketika pilarnya adalah kepemimpinannya trias politika, sementara dalam Islam kepemimpinan tunggal dan hak bagi khalifah untuk mengambil hukum, mentabani hukum yang paling layak yang bisa diterapkan di dalam negara.
"Sebuah negara modern, dengan compressing the word, arus barang dan jasa yang sekarang tidak terbendung lagi oleh nation state, butuh negara, sistem pemerintahan yang bisa mengadopsi itu semua, dan sistem khilafah adalah sistem yang paling layak dengan sebuah kepemimpinannya," tegasnya.
"Khalifah mengambil kebijakan bentuk ijtihad dari dasar hukum Islam dan bukan mentaati sesuatu yang tidak diambil dari hukum-hukum Islam, dalam ayat Al-Quran, dikatakan sampai dikatakan taat pada Allah, Rasul, khalifah. Tetapi kalau terjadi pertikaian antara sesama kamu, masyarakat dan antara kamu dengan ulil amri, kamu dengan khalifah, maka siapa yang paling menjalankan perintah Allah di sana, apakah rakyatnya, khalifahnya maka yang dimenangkan oleh pengadilan adalah yang paling berpijak kepada hukum-hukum syariat," paparnya.
Khilafah adalah negara yang paling fair, negara yang paling layak untuk diterapkan dalam kondisi hari ini, jika berbicara modernitas enggak bisa lagi terpaku pada sistem negara-negara kecil yang akhirnya dijajah oleh negara-negara besar, juga enggak bisa mengadopsi sistem-sistem yang lain yang sekarang ini justru banyak diadopsi oleh kaum muslimin. [] Alfia Purwanti