Tintasiyasi.id.com -- Setelah publik dibuat heboh dengan kasus Pertamax oplosan, kini masyarakat kembali dikejutkan oleh peredaran MinyaKita palsu. Minyak goreng bersubsidi yang seharusnya menjadi solusi bagi rakyat kecil justru dijadikan ladang bisnis curang oleh oknum tak bertanggung jawab.
Alih-alih mendapatkan minyak berkualitas dengan harga terjangkau, masyarakat justru dihadapkan pada produk berisiko yang dapat membahayakan kesehatan.
Satgas Pangan Polri tengah menyelidiki temuan terkait minyak goreng kemasan bermerek MinyaKita yang beredar di pasaran, tetapi volumenya tidak sesuai dengan takaran yang tertera di kemasan (Tirto.id, 09/03/2025).
Menanggapi hal ini, Ketua DPR RI, Puan Maharani, menyoroti berbagai praktik kecurangan dalam distribusi Minyakita, mulai dari pengurangan volume hingga beredarnya produk oplosan. Ia menilai lemahnya sistem pengawasan menjadi celah bagi praktik-praktik merugikan ini (Radarpasuruan.com, 15/03/2025)
Fenomena ini bukan sekadar masalah bisnis curang, tetapi juga bukti nyata buruknya sistem pengawasan di negeri ini. Jika sebelumnya bahan bakar kendaraan yang dipalsukan, kini kebutuhan dapur masyarakat pun tak luput dari permainan mafia. Sampai kapan rakyat harus terus menjadi korban?
Kapitalisme dan Lemahnya Peran Negara
Merebaknya kasus Pertamax oplosan hingga MinyaKita palsu. Semakin menguatkan bukti bahwa negara gagal melindungi rakyat dari kerakusan korporasi yang hanya berorientasi pada keuntungan. Fakta bahwa minyak oplosan masih beredar luas menunjukkan bahwa distribusi kebutuhan pokok berada dalam kendali segelintir pengusaha. Sementara negara hanya berperan sebagai regulator, bukan pelayan masyarakat.
Dalam sistem ekonomi kapitalisme yang berbasis liberalisme, korporasi diberikan keleluasaan untuk menguasai rantai pasok pangan dari hulu hingga hilir. Negara lebih berperan sebagai fasilitator yang menjaga stabilitas pasar bagi pemodal besar, tetapi abai terhadap pengawasan dan perlindungan konsumen.
Lebih ironisnya lagi, ketika korporasi terbukti melakukan pelanggaran, hukuman yang diberikan kerap kali ringan dan tidak memberi efek jera. Akibatnya, dominasi oligarki ekonomi semakin kuat, sementara rakyat tetap menjadi pihak yang paling dirugikan.
Islam Menjamin Kesejahteraan Rakyat, Bukan Korporasi
Berbeda dengan kapitalisme yang menyerahkan kendali pasar pada mekanisme ekonomi bebas. Islam menempatkan negara sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh dalam mengatur kebutuhan rakyat. Seorang pemimpin dalam Islam adalah raa’in (pengurus rakyat) yang wajib memastikan bahwa kebutuhan pokok, termasuk pangan, tersedia dengan kualitas baik dan harga yang terjangkau.
Nabi Muhammad Saw bersabda:
"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Seorang imam (pemimpin) adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam sistem Islam, distribusi pangan tidak boleh diserahkan kepada korporasi yang hanya mengejar keuntungan. Seluruh rantai produksi dan distribusi pangan harus berada di bawah kendali negara demi menjamin keadilan bagi masyarakat.
Selain menjamin pasokan pangan seperti MinyaKita tetap tersedia, negara juga memiliki sistem pengawasan ketat untuk mencegah praktik kecurangan di pasar. Qadhi hisbah (pengawas pasar) akan melakukan inspeksi berkala guna memastikan kualitas dan kehalalan produk yang beredar. Jika ditemukan pelanggaran, pelaku akan dikenai sanksi tegas, bahkan bisa dilarang berbisnis.
Saatnya Kembali kepada Aturan Islam
Kasus Pertamax oplosan hingga MinyaKita palsu hanyalah segelintir bukti dari kegagalan sistem kapitalisme dalam melindungi rakyat. Negara seharusnya hadir sebagai pelindung masyarakat, bukan sekadar fasilitator bagi kepentingan segelintir pemodal besar.
Islam telah menawarkan sistem ekonomi yang adil, di mana negara bertanggung jawab penuh atas produksi, distribusi, dan pengawasan kebutuhan pokok tanpa campur tangan oligarki. Jika aturan Islam diterapkan, maka praktik kecurangan seperti minyak oplosan dan kejahatan ekonomi lainnya tidak akan terjadi.
Kini, pilihan ada di tangan kita terus bertahan dalam sistem yang terbukti gagal atau kembali pada sistem yang telah terbukti membawa kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Wallahu a'lam bishshawwab.[]
Oleh: Umul Asmaningrum, S.Pd.
(Praktisi Pendidikan)