Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Cara Allah Membimbing Hamba-Nya

Minggu, 02 Maret 2025 | 07:14 WIB Last Updated 2025-03-02T00:14:46Z

TintaSiyasi.id—Siapa tidak mendekat kepada Allah gara-gara halusnya kebaikan yang Dia berikan, maka ia akan diseret (supaya mendekat) dengan rantai cobaan. kata Ibnu Athaillah.

Kata-kata Ibnu Athaillah ini memiliki makna yang sangat dalam tentang cara Allah membimbing hamba-Nya.

Jika seseorang tidak mendekat kepada Allah ketika mendapatkan nikmat dan kebaikan yang lembut, maka Allah akan mengujinya dengan cobaan agar ia kembali kepada-Nya. Ini menunjukkan bahwa dalam segala keadaan—baik nikmat maupun ujian—tujuan akhirnya adalah mendekatkan diri kepada Allah.

Pesan ini mengajarkan bahwa kita seharusnya tidak menunggu musibah untuk ingat kepada Allah, melainkan bersyukur dan semakin dekat kepada-Nya sejak awal, baik dalam kesenangan maupun kesulitan.

Nikmat dan ujian dari Allah tujuan akhirnya untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Ya, benar sekali. Nikmat dan ujian yang Allah berikan pada hakikatnya adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

1. Nikmat sebagai Ujian
Ketika seseorang diberi kelimpahan rezeki, kesehatan, dan kebahagiaan, itu adalah bentuk kasih sayang Allah. Namun, nikmat ini bisa menjadi ujian: apakah kita akan bersyukur dan tetap taat kepada-Nya, atau malah lalai dan merasa cukup tanpa-Nya?

2. Cobaan sebagai Pengingat
Ujian seperti kesulitan, kehilangan, atau penderitaan sering kali menjadi cara Allah menarik hamba-Nya agar kembali mengingat-Nya. Bagi orang yang sadar, ujian adalah tanda cinta Allah agar ia lebih mendekat dan bergantung hanya kepada-Nya.

Seperti dalam firman Allah:
"Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan."
(QS. Al-Insyirah: 6)

Pada akhirnya, baik nikmat maupun cobaan adalah bentuk tarbiyah (pendidikan) dari Allah agar manusia lebih mengenal-Nya dan mendekat kepada-Nya.

Bagaimana menghadapi ujian dari Allah baik berupa kenikmatan ataupun kesusahan.
Menghadapi ujian dari Allah, baik berupa kenikmatan maupun kesusahan, memerlukan sikap yang benar agar kita tetap berada di jalan-Nya. Berikut adalah cara menghadapinya:

1. Menghadapi Ujian dalam Bentuk Kenikmatan
Nikmat juga merupakan ujian. Banyak orang lalai ketika diberi kemudahan dan kelimpahan. Cara menghadapinya:
• Bersyukur kepada Allah
o Menyadari bahwa semua yang kita miliki berasal dari Allah.
o Mengucapkan Alhamdulillah dan memperbanyak doa syukur.
o Menggunakan nikmat tersebut untuk kebaikan dan dalam ketaatan kepada-Nya.
• Tidak sombong dan lalai
o Jangan merasa semua itu murni hasil usaha sendiri.
o Tetap rendah hati dan terus berbuat baik kepada sesama.
• Menjaga hati agar tidak cinta dunia secara berlebihan
o Jangan sampai nikmat dunia membuat kita jauh dari Allah.
o Ingat bahwa dunia hanya sementara dan merupakan sarana untuk mencari bekal akhirat.

2. Menghadapi Ujian dalam Bentuk Kesusahan
Ketika diuji dengan kesulitan, cara terbaik menghadapinya adalah:
• Bersabar dan tetap husnuzan (berbaik sangka) kepada Allah
o Meyakini bahwa setiap ujian pasti ada hikmahnya.
o Tidak mengeluh atau berputus asa, karena Allah tidak akan membebani hamba-Nya di luar batas kemampuannya (QS. Al-Baqarah: 286).
• Meningkatkan ibadah dan doa
o Memperbanyak dzikir dan istighfar.
o Memohon pertolongan kepada Allah dengan shalat dan kesabaran (QS. Al-Baqarah: 153).
• Mengambil pelajaran dari ujian
o Merenungi apakah ada dosa atau kesalahan yang harus diperbaiki.
o Menjadikan ujian sebagai cara untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah.

Baik nikmat maupun kesulitan adalah ujian yang bertujuan untuk menguji iman kita. Cara terbaik menghadapinya adalah dengan bersyukur saat diberi nikmat dan bersabar saat diberi cobaan.

Allah berfirman:
"Jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS. Ibrahim: 7)

Ibnu Athaillah mengatakan, " Takutlah bahwa bila kebaikan Allah selalu engkau peroleh pada saat engkau tetap berbuat maksiat kepada-Nya, itu lambat laun akan menghancurkanmu.

Kata-kata Ibnu Athaillah ini adalah peringatan mendalam tentang istidraj, yaitu kondisi di mana seseorang terus mendapatkan nikmat dari Allah meskipun ia tetap dalam kemaksiatan.

Makna Istidraj

Istidraj adalah ketika Allah memberikan kenikmatan dan kelapangan kepada seseorang yang terus bermaksiat, padahal itu bukan tanda kasih sayang, melainkan bagian dari rencana-Nya untuk menghukumnya secara perlahan.

Allah berfirman:
"Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu (kenikmatan) untuk mereka. Hingga apabila mereka bergembira dengan apa yang diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa."
(QS. Al-An’am: 44)

Tanda-Tanda Istidraj

1. Terus diberikan nikmat meskipun terus bermaksiat.
2. Merasa aman dari azab Allah.
3. Tidak merasa bersalah atas dosa-dosanya.
4. Semakin jauh dari ibadah dan tidak ada dorongan untuk bertaubat.

Bagaimana Menghindari Istidraj?
• Menyadari bahwa nikmat bukan selalu tanda keridhaan Allah.
• Segera bertaubat dan kembali kepada Allah sebelum terlambat.
• Mengevaluasi diri: apakah nikmat yang kita peroleh membawa kita lebih dekat atau justru menjauh dari Allah?
• Jangan tertipu dengan dunia, karena yang lebih penting adalah keberkahan dan keridhaan Allah.

Kata-kata Ibnu Athaillah ini mengajarkan kita untuk tidak merasa aman hanya karena hidup dalam kelapangan. Sebaliknya, kita harus selalu introspeksi diri: Apakah ini nikmat yang mendekatkan atau justru jebakan dari Allah?

Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si. (Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo)

Opini

×
Berita Terbaru Update