TintaSiyasi.id -- Banjir bukan sekadar fenomena alam yang datang tanpa sebab. Setiap kali bencana ini terjadi, ribuan rumah terendam, aktivitas masyarakat lumpuh, dan ekonomi terguncang. Seperti yang terjadi baru-baru ini di Bekasi, Bogor, dan Sukabumi.
Di Bekasi, hujan deras pada awal Maret 2025 menyebabkan 20 titik banjir dengan ketinggian air mencapai 3 meter. Ribuan warga harus mengungsi, aktivitas perekonomian lumpuh, dan fasilitas umum seperti rumah sakit serta stasiun ikut terdampak (detik.com, 7 Maret 2025). Di Sukabumi, banjir disertai longsor menelan korban jiwa dan menyebabkan kerugian besar (kompas.com, 9 Maret 2025).
Namun, apakah semua ini sekadar musibah yang harus diterima? Ataukah ada faktor sistemik yang berperan dalam memperparah dampak bencana?
Kapitalisme dan Pembangunan yang Mengabaikan Keseimbangan Alam
Di bawah sistem kapitalisme, pembangunan dijalankan dengan logika profit. Tujuan utamanya bukan kesejahteraan masyarakat, tetapi pertumbuhan ekonomi berbasis eksploitasi sumber daya. Konsep pembangunan ini bertumpu pada investasi besar di sektor properti, industri, dan infrastruktur, tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungan.
Alih fungsi lahan hijau menjadi kawasan bisnis, ekspansi pemukiman di daerah resapan air, serta buruknya tata kelola drainase adalah contoh nyata kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan pemodal dibanding kepentingan rakyat. Akibatnya, daya tampung air semakin berkurang, sementara intensitas hujan yang tinggi semakin memperparah risiko banjir.
Lebih buruk lagi, mitigasi bencana dalam sistem ini cenderung reaktif, bukan preventif. Setiap kali banjir melanda, solusi yang ditawarkan hanya bersifat sementara: membangun tanggul, memperbaiki drainase, atau menyalurkan bantuan bagi korban. Tidak ada perubahan mendasar dalam paradigma pembangunan yang mampu mencegah bencana terjadi berulang kali.
Selain itu, kebijakan pembangunan dalam sistem kapitalisme juga sering mengabaikan analisis jangka panjang. Proyek infrastruktur seperti jalan tol, bandara, atau kawasan industri dibangun tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan. Lihat saja kasus proyek reklamasi atau pembangunan apartemen di kawasan yang seharusnya menjadi daerah resapan air. Alih-alih memberikan manfaat, proyek semacam ini justru memperparah risiko bencana ekologis di kemudian hari.
Islam: Paradigma Pembangunan Berbasis Kemaslahatan
Islam memiliki visi pembangunan yang berbeda. Negara dalam Islam bertanggung jawab penuh terhadap rakyatnya, termasuk dalam memastikan lingkungan yang aman dan sejahtera. Rasulullah SAW bersabda: "Imam (pemimpin) adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam Islam, pembangunan tidak semata-mata bertujuan untuk pertumbuhan ekonomi, tetapi untuk kemaslahatan umat dan menjaga keseimbangan alam. Islam menetapkan beberapa prinsip utama dalam pembangunan.
Pertama, kepemilikan yang jelas dalam pengelolaan sumber daya alam. Dalam Islam, sumber daya alam yang bersifat vital—seperti air, hutan, dan lahan resapan—harus dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat, bukan diserahkan kepada swasta demi keuntungan segelintir orang. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW: "Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api." (HR. Abu Dawud)
Kedua, perencanaan kota dan tata ruang berbasis keseimbangan ekologi. Islam mengatur bahwa dalam membangun suatu wilayah, harus diperhitungkan daya dukung lingkungan. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, sistem irigasi dan kanal dibangun untuk mengatur air dengan baik, sehingga mencegah banjir dan sekaligus meningkatkan produksi pertanian.
Ketiga, kewajiban negara dalam mitigasi bencana yang bersifat preventif. Negara dalam Islam tidak hanya berperan dalam menanggulangi dampak bencana, tetapi juga mencegahnya sejak awal. Perencanaan pembangunan harus berdasarkan data ilmiah dan keilmuan yang kuat, bukan sekadar keputusan politis atau kepentingan investor.
Belajar dari Sejarah: Pembangunan yang Mengutamakan Rakyat
Pada masa Kekhilafahan Abbasiyah, pembangunan kota-kota besar seperti Baghdad dilakukan dengan perencanaan matang. Setiap pembangunan memperhitungkan aspek lingkungan, keberlanjutan sumber air, serta kesejahteraan masyarakat. Kota-kota Islam pada masa itu dikenal memiliki sistem drainase yang baik, tata kota yang teratur, serta fasilitas umum yang mendukung kehidupan rakyat secara optimal.
Pada masa Kekhilafahan Utsmaniyah, dibangun jaringan irigasi yang luas untuk memastikan distribusi air merata di seluruh wilayah kekhilafahan. Sistem ini tidak hanya mencegah banjir, tetapi juga meningkatkan ketahanan pangan dan kesejahteraan rakyat.
Konsep pembangunan Islam terbukti tidak hanya menciptakan kemajuan peradaban, tetapi juga mampu melindungi rakyat dari bencana yang berulang. Hal ini sangat kontras dengan sistem kapitalisme hari ini yang terus menghasilkan krisis, termasuk bencana ekologis seperti banjir.
Khatimah
Banjir yang terus berulang bukanlah sekadar ujian alam, melainkan dampak nyata dari sistem kapitalisme yang salah dalam memandang pembangunan. Jika paradigma ini terus dipertahankan, bencana akan terus terjadi dan rakyatlah yang selalu menjadi korban.
Islam menawarkan solusi komprehensif yang tidak hanya mencegah bencana, tetapi juga menjamin kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Dengan menjadikan Islam sebagai asas dalam pembangunan, negara akan mengelola sumber daya dengan amanah, menjaga keseimbangan ekologi, serta menjalankan mitigasi bencana secara preventif dan sistematis.
Selain itu, negara yang menerapkan Islam akan memastikan bahwa setiap kebijakan pembangunan benar-benar mengutamakan kepentingan rakyat, bukan hanya segelintir elite atau investor. Dengan demikian, masyarakat tidak hanya terhindar dari bencana ekologis, tetapi juga hidup dalam sistem yang berkeadilan dan sejahtera.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita meninggalkan paradigma kapitalisme yang merusak dan kembali kepada sistem Islam yang telah terbukti memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Mahrita Julia Hapsari
Aktivis Muslimah Banua