Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Titik Kritis Polemik Pagar Laut

Sabtu, 15 Februari 2025 | 06:34 WIB Last Updated 2025-02-14T23:35:06Z

TintaSiyasi.id-- Dikutip dari CNN Indonesia, Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Muhammad Ali mengatakan pagar laut sepanjang 30,16 Km di Kabupaten Tangerang, Banten sudah hampir terbongkar semua. Ali menyebut pagar laut itu kini tinggal menyisakan sekitar delapan kilometer per Kamis (6-2-2025). Pembangunan pagar laut Tangerang sepanjang 30,16 km ini mencaplok wilayah pesisir 16 desa di 6 kecamatan di Kabupaten Tangerang menjadi polemik setidaknya dua bulan terakhir. Ada masyarakat pesisir yang beraktivitas sebagai nelayan sebanyak 3.888 orang dan 502 pembudidaya yang diduga terkendala keberadaan pagar laut itu.

Sempat dianggap misterius, karena tak ada yang mengaku pembuat atau pemilik pagar laut itu kemudian terungkap bahwa kawasan perairan tersebut ternyata memiliki Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB). Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid kemudian menyatakan membatalkan SHGB-SHGB di kawasan laut itu karena menyalahi undang-undang. Selain itu Bareskrim hingga Kejagung pun sudah turun tangan untuk menyelidiki dugaan tindak pidana dalam kasus tersebut. Di Bareskrim, kasus itu baru naik penyidikan pada Selasa (4/2) lalu setelah proses gelar perkara. Sementara itu di Kejagung masih pengumpulan keterangan oleh penyidik Jampidsus.

Titik Kritis

Kok bisa laut dipagari? Awalnya pagar laut ini memang membuat publik kaget, hanya saja dalam pemasangan pagar laut tersebut tentunya tidak tiba-tiba berdiri sendiri dan tentunya membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Pertanyaannya gonjang-ganjing ini baru meledak setelah pagar laut berdiri ketika ada keluhan dari nelayan yang merasa terganggu karena adanya pagar laut tersebut. Melihat polemik pagar laut ini sebenarnya ada hal-hal yang patut dipertanyakan publik. 

Pertama, pembangunan pagar laut tentunya tidak sehari dua hari. Dibangun kokoh di lautan tentunya butuh effort yang besar. Sehingga pemagaran laut ini tidak instan tetapi memang dibangun penuh dengan perencanaan. Mengapa baru hari ini jadi polemik? Mengapa tidak dari kemarin-kemarin sebelum berdiri pagar laut sudah menjadi polemik? 

Kedua, ketika pagar laut ini mencuat, publik bertanya, siapa yang membangun? Siapa pemiliknya? Awalnya pemerintah menyampaikan ketidaktahuannya. Namun, akhirnya terkuak, kalau pagar laut tersebut memiliki sertifikat dan proses kepemilikannya sudah memenuhi syarat-syarat birokrasi.

Ketiga, di sisi lain rakyat, nelayan, dan publik mempertanyakan mengapa mereka memiliki hak milik laut dan bisa memagarinya? Sehingga, mengganggu aktivitas para nelayan. Andai saja, tidak ada aduan dari masyarakat atau nelayan mungkinkah skandal pagar laut akan diusut?

Mungkinkah skandal pagar laut ini akan terurai dan terbongkar sejelas-jelasnya. Hingga keadilan bisa terwujud di negeri ini? Ya, jelas tidak mungkin kalau sistemnya masih sekuler kapitalisme. Memang faktanya mereka yang memagari laut memiliki izin sertifikat yang lengkap, tetapi hari ini bermasalah karena yang dipagari adalah wilayah kepemilikan umum. Sehingga mau diberikan legitimasi apa pun akan menciptakan permasalahan dan pertikaian ke depan.

Hal ini menjadi bukti kekacauan yang diciptakan sistem kapitalisme sekuler benar-benar berlapis dan tersistematis. Hal ini tidak akan menemui muara solusi yang adil. Kalau pun tetap mereka mencari solusi tentunya akan merugikan banyak pihak, karena hukum hari ini memang berada di ketiak para oligarki dan kapitalis. Apabila ingin memutus jeratan rantai oligarki, maka haruslah ada keberanian untuk berhijrah ke sistem Islam kafah dalam bingkai khilafah.

Pandangan Islam

Adapun dalam konsep Islam, secara mendasar kita harus memahami terlebih dahulu tentang hukum kepemilikan laut. Syaikh Abdul Qodim Zallum di dalam kitabnya al-Amwal fii Daulah al-Khilafah menjelaskan bahwa “Sesungguhnya laut, sungai, danau, teluk, kanal umum seperti terusan Suez, lapangan umum, masjid-masjid, merupakan kepemilikan umum yang menjadi hak bagi setiap individu rakyat.” Sebab yang menjadikannya kepemilikan umum ialah karakter pembentukannya yang mencegah seorang individu untuk memilikinya.

Dengan demikian, wilayah laut adalah milik umum yang tidak boleh dimiliki individu. Berbagai aset atau wilayah yang menjadi kepemilikan umum adalah milik seluruh kaum Muslim. Mereka memiliki hak sama dalam memanfaatkannya tanpa dibedakan apakah dia laki-laki atau perempuan, anak kecil atau dewasa, yang baik maupun yang tidak baik. Karena laut adalah kepemilikan umum, maka negara tidak berhak menjual wilayah laut kepada individu atau korporasi. Pada hakikatnya laut itu bukan milik negara namun milik seluruh kaum Muslim.

Sementara aktivitas memagari laut adalah salah satu bentuk proteksi terhadap suatu wilayah tertentu, yang di dalam Islam tidak boleh dilakukan kecuali oleh negara. Dalam riwayat Abu Dawud dari Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW bersabda, “Tidak ada proteksi (hima) kecuali oleh Allah dan Rasulnya” yaitu oleh negara. 

Kalaupun negara ingin melakukan proteksi terhadap kepemilikan umum, maka tujuan proteksi itu tiada lain adalah untuk kemaslahatan umum, misalnya memproteksi suatu wilayah untuk keperluan jihad, kebutuhan fakir miskin, dan untuk kemaslahatan kaum Muslim secara keseluruhan. Tidak seperti proteksi pada masa jahiliyah yaitu memproteksi dengan memberikan hak istimewa kepada individu tertentu untuk diproteksi bagi dirinya sendiri.

Dari sisi bahwa laut adalah kepemilikan umum dan adanya larangan memproteksi suatu wilayah untuk kepentingan individu, maka jelas hukum aktivitas memagari laut yang dilakukan selain oleh negara adalah haram. Di sisi lain kita mengetahui bahwa laut adalah tempat para nelayan menggantungkan hidupnya dalam mencari nafkah. Jika laut tersebut dipagari dan membuat para nelayan kesulitan mencari nafkah, maka ini akan membahayakan banyak nelayan yang sehari-harinya mencari nafkah dengan mencari ikan dan sebagainya. 

Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda, “Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain” (HR. Ibnu Majah).

Oleh karena itu, negara sebagai pengurus urusan rakyat harus bertindak tegas ketika ada pihak yang memagari laut. Pun tidak boleh memberikan izin memagari laut karena laut bukanlah milik negara, namun milik umum yang setiap individu rakyat berhak untuk memanfaatkannya. Selain itu laut adalah tempat yang menjadi hajat hidup orang banyak yang akan membahayakan banyak pihak jika dipagari atau diproteksi untuk kepentingan individu atau korporasi tertentu.

Strategi Islam Mengelola Laut 

Sebagai agama sekaligus ideologi yang bermisi rahmatan lil 'alamin, Islam memiliki strategi mengelola laut yang dapat menjamin kedaulatan negara dan melindungi kesejahteraan masyarakat. Hal ini dapat dilihat melalui prinsip-prinsip yang terkandung dalam ajaran Islam terkait pengelolaan SDA, perlindungan terhadap lingkungan, dan keadilan sosial. Beberapa pendekatan yang dapat diterapkan adalah sebagai berikut:

Pertama, tanggung jawab sebagai khalifah di bumi. Islam mengajarkan bahwa manusia adalah khalifah (pemimpin/pengelola) di bumi yang diberikan amanah untuk memelihara keseimbangan alam. Dalam konteks ini, laut dan SDA di dalamnya harus dikelola dengan prinsip kehati-hatian, keberlanjutan, dan keadilan. Pengelolaan laut yang berkelanjutan dapat menjamin keberlangsungan ekosistem dan kedaulatan negara khususnya wilayah laut.

Kedua, pentingnya syariat dalam pengelolaan SDA. Dalam Islam, pengelolaan laut harus berlandaskan pada hukum syariat, yang mengatur tentang pembagian dan pemanfaatan SDA secara adil dan merata. Misalnya, pengelolaan sumber daya ikan harus menghindari eksploitasi berlebihan dan memberikan hak kepada masyarakat pesisir untuk menikmati hasil laut tanpa merusak ekosistem.

Ketiga, perlindungan terhadap lingkungan laut. Islam menekankan perlunya menjaga kelestarian alam, termasuk laut, dari kerusakan yang disebabkan oleh perbuatan manusia. Ini termasuk larangan terhadap praktik merusak seperti penangkapan ikan yang merusak habitat atau polusi laut. Negara dengan dukungan syariat, dapat mengambil langkah preventif dan kuratif untuk melindungi ekosistem laut, seperti menerapkan kebijakan perlindungan laut dan sanksi terhadap perusak lingkungan.

Keempat, pembangunan ekonomi berbasis laut. Islam mendukung pembangunan ekonomi yang adil, di mana masyarakat pesisir dan nelayan dapat memperoleh manfaat dari kekayaan laut tanpa mengeksploitasi secara berlebihan. Negara dapat merumuskan kebijakan yang memberikan akses yang adil terhadap sumber daya laut bagi masyarakat, sambil tetap menjaga keberlanjutan ekosistem.

Kelima, kedaulatan negara di laut. Islam mengajarkan pentingnya menjaga kedaulatan negara atas wilayahnya, termasuk laut teritorialnya. Negara harus memiliki kebijakan tegas dalam melindungi wilayah laut dari ancaman luar. Negara juga dapat memperkuat pertahanan laut dan diplomasi maritim untuk menjaga kedaulatan negara di laut.

Keenam, pendidikan dan kesadaran masyarakat. Dalam Islam, ilmu pengetahuan adalah kunci untuk memahami cara terbaik mengelola SDA. Negara perlu mengedukasi masyarakat pesisir dan nelayan tentang cara-cara pengelolaan laut yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, sekaligus meningkatkan kesadaran tentang pentingnya menjaga kedaulatan negara di laut.

Walhasil, dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip Islam dalam pengelolaan laut, negara dapat menjaga kedaulatan wilayah lautnya sekaligus memberikan perlindungan kepada masyarakat pesisir dan menjamin kesejahteraan mereka melalui pengelolaan SDA yang adil dan berkelanjutan. Keidealan ini akan terwujud bila negara menerapkan sistem Islam kaffah, bukan kapitalisme sekuler seperti saat ini yang justru memberi ruang leluasa bagi individu (korporasi) untuk memiliki dan mengelola laut sebagai kepemilikan umum.

Oleh. Ika Mawarningtyas (Direktur Mutiara Umat Institute) dan Puspita Satyawati (Pembina Mutiara Umat Institute)

Opini

×
Berita Terbaru Update