“Umat Islam dilarang menyerupai
orang kafir dalam ucapan dan perayaannya atas alasan toleransi agama,” jelasnya
dalam Kupas Tuntas bertajuk Toleransi Agama: Sejauh Mana? di akun
Facebook Juru Cakap HTM, Jumat (07/02/2025).
Ia menyebutkan, ada dalil umum
yang menyatakan bahwa siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dalam
golongannya. “Ini dalil umum yang melarang umat Islam menyerupai orang kafir,”
tegasnya.
“Kami tidak boleh mengikuti
perkataan orang kafir, termasuk ucapan yang khusus untuk perayaan,” katanya.
Dijelaskannya, toleransi
mengajarkan bahwa setiap kaum yang berbeda agama harus saling bertoleransi
hingga menyangkut masalah agama termasuk perayaan orang kafir. “Sebagai negara
dengan masyarakat majemuk, kita tidak bisa lepas dari persoalan toleransi ini,”
ujarnya.
“Bagi kami, ini adalah perayaan
mereka, ada kepercayaan dan keyakinan mereka dalam perayaan yang selama ini
tidak kami campuri. Namun atas dasar toleransi, menjaga kerukunan kaun,
kesejahteraan kaum, kesejahteraan nasional, dan sebagainya maka kita harus
merayakan semua perayaan kaum tersebut. Dan bukan hanya untuk merayakan, kami
pergi bersama mereka untuk merayakannya,” tegasnya.
Asal usul paham
toleransi beragama, lanjutnya, berasal dari pemikiran sekularisme dan pluralisme. “Pluralisme
menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Tidak ada satu agama pun yang dapat
mengatakan bahwa itu adalah agama yang benar,” jelasnya.
Lanjut dikatakan, Barat
menginginkan agar dalam masyarakat atau bahkan dalam negara tidak boleh ada
satu agama yang mendominasi agama lain. Kalau ada satu agama yang mendominasi
agama lain, itu tidak toleran.
“Ini sebenarnya konsep
sekularisme. Agama tidak bisa mengatur masyarakat dan negara karena jika agama
mengatur masyarakat dan negara, maka akan ada satu agama yang dominan, yang
akan menang atas agama lain,” imbuhnya.
Ia menjelaskan, hal tersebut
tidak diperbolehkan oleh Barat karena dianggap tidak toleran. “Barat ingin
semua orang diperlakukan sama. Toleransi yang mereka inginkan adalah agar umat
Islam kalau bisa masuk agamanya atau bahkan milah-nya,” ujarnya.
“Allah memerintahkan Rasulullah saw.
untuk berkata kepada orang-orang kafir, ‘Hai orang-orang kafir, aku tidak akan
menyembah apa yang kamu sembah dan kamu tidak akan menyembah apa yang aku
sembah.’ Dan yang terakhir ayat tersebut menyatakan, ‘Bagimu agamamu, bagiku
agamaku.’ Tidakkah kalian lihat bagaimana Allah mengajarkan kita tentang
'toleransi'?,” ujarnya menjelaskan maksud ayat dalam surat al-Kafirun.
Dengan demikian umat Islam tidak boleh
memaksa orang-orang kafir untuk masuk Islam seperti yang dilakukan Nabi saw.
dalam dakwahnya, dan hendaknya membiarkan mereka tetap pada agamanya.
“Kami tidak bisa memaksakan
tetapi kami berdakwah karena wajib bagi kami untuk berdakwah kepada kalian agar
masuk Islam. Namun kami tidak ingin memaksakannya. Jadi kalau mau tetap pada
agamamu, untukmu agamamu, untukku agamaku,” tegasnya lagi.
Dia menjelaskan lebih lanjut
bahwa orang-orang kafir tidak bisa menyuruh umat Islam untuk mengikuti apa yang
dilakukan orang-orang kafir. Orang-orang kafir boleh melakukan apa yang ingin
mereka lakukan dan menyembah apa yang ingin mereka sembah, tapi tidak bisa
menyuruh umat Islam untuk melakukan seperti mereka, begitu pun sebaliknya.
“Bagi kami, hukum tetaplah hukum.
Jadi kita taat hukum bukan berarti mau bermusuhan, bukan berarti mau berperang.
Tapi kami punya prinsip, posisi, dan keyakinan. Kami memiliki keyakinan. Ini
yang namanya toleransi sejati,” tutupnya.[] Syamsiyah Jamil