TintaSiyasi.id -- Kontroversi mengenai pemasangan pagar laut di Tangerang, Banten, terus menarik perhatian publik. Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, kini menghadapi tekanan untuk menjelaskan pertanggungjawaban moral dan politiknya terkait isu ini. Berbagai kritik tajam mengemuka, salah satunya dari Anggota Komisi IV DPR Fraksi Golkar, Firman Soebagyo, yang mempertanyakan sikap KKP yang terkesan pasif dalam menangani masalah tersebut (Alief media, 8/2/2025).
Kasus pembangunan pagar laut terus menjadi sorotan, mengingat proyek ini berdampak pada sekitar 21.950 warga di sekitarnya. Selain itu, keberadaan pagar laut berpotensi mengganggu ekosistem laut dan menghambat aktivitas ekonomi para nelayan lokal.
Setelah banyak warga melaporkan kejadian ini kepada Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), TNI Angkatan Laut bekerja sama dengan para nelayan membongkar pagar laut misterius yang membentang sepanjang 30,16 km di Kabupaten Tangerang, Banten, pada Sabtu ( (tribunnews.com 18/1/2025). Pembongkaran ini sendiri dipimpin oleh Komandan Pangkalan Utama AL (Danlantamal) III Jakarta, Brigadir Jenderal (Mar) Harry Indarto. Kasus ini semakin menarik perhatian dari hari ke hari. Pasalnya, hingga saat ini belum ada pihak yang mau bertanggung jawab atas pembangunan pagar laut tersebut. Semua seakan tutup mata dan melempar batu sembunyi tangan.
Pembangunan pagar laut yang kini telah mencapai lebih dari 30 kilometer ini membuat masyarakat merasa resah. Hal ini tidak terlepas dari dugaan adanya pengusaha elit yang terlibat, serta lemahnya peran pemerintah dalam menjaga dan mengelola kawasan perairan tersebut. Akibatnya, pemerintah terkesan lengah terhadap keberadaan pembangunan pagar laut ini.
Sejak September tahun lalu, para nelayan telah berulang kali menyampaikan keluhan kepada pemerintah setempat mengenai keberadaan pagar laut tersebut, namun hingga kini mereka belum mendapatkan tanggapan yang konkret. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) baru memulai investigasi setelah isu ini mencuri perhatian nasional dalam dua pekan terakhir, yang semakin menguatkan keyakinan kita bahwa situasi ini bukanlah sesuatu yang luar biasa.
Saat ini, kita hidup dalam sistem kapitalisme, di mana penguasa cenderung hanya fokus pada cara untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya, tanpa mempertimbangkan dampak aksi yang mereka lakukan. Pembangunan pagar laut yang sedang berlangsung menunjukkan dinamika yang kompleks. Para pemodal tampak berusaha keras untuk memperlancar proyek tersebut, seolah-olah mereka menjalin kerjasama dengan masyarakat setempat dengan tujuan mulia untuk mencegah abrasi. Namun, kenyataannya adalah proyek itu lebih berorientasi pada kepentingan pribadi mereka.
Pembangunan pagar laut ini justru menyulitkan masyarakat untuk melaut dan berpotensi mengganggu ekosistem di sekitar perairan tersebut. Situasi ini mencerminkan bahwa pemerintah lebih berpihak kepada pengusaha dan kalangan elit yang memiliki banyak modal, ketimbang memikirkan nasib rakyatnya sendiri.
Inilah potret nyata dari penerapan hukum sekularisme kapitalisme, sebuah sistem yang memisahkan agama dari kehidupan dan lebih memikirkan aspek keuntungan dan kerugian, daripada memperhatikan kepentingan masyarakatnya.
Kasus pembangunan pagar laut ini akan terus berlanjut selama masalah yang ada tidak diselesaikan dari akarnya. Upaya untuk mengganti sistem pengelolaan dan pengaturannya menjadi sangat penting. Jika kita terus menerapkan sistem sekularisme kapitalisme, maka permasalahan ini akan terus berulang dan tidak pernah mencapai kemaslahatan bagi rakyat.
Dalam perspektif Islam, Rasulullah SAW pernah bersabda, "Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api. " (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Islam secara tegas melarang privatisasi atas kepemilikan umum, termasuk hutan, laut, sungai, dan sumber daya alam lainnya. Hal ini karena sumber daya alam tersebut merupakan milik bersama yang harus dapat dirasakan dan dinikmati oleh seluruh rakyat. Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya tersebut tidak boleh diserahkan kepada individu maupun pihak swasta.
Dalam sistem ekonomi Islam, negara memegang peranan yang sangat penting dalam pembangunan, sementara arah pembangunan tidak ditentukan oleh korporasi. Selain itu, terdapat berbagai batasan bagi industri swasta yang membuat peluang mereka untuk berkembang menjadi industri besar, atau raksasa korporasi, menjadi sangat terbatas. Misalnya, aturan permodalan melarang transaksi ribawi dan jual beli saham.
Meskipun begitu, bukan berarti industri swasta tidak memiliki kesempatan untuk berkembang. Mereka tetap dapat tumbuh dengan skala kecil namun dalam jumlah yang banyak, dengan modal yang bersifat independen. Sistem pendanaan dalam Islam hanya memperbolehkan permodalan melalui syirkah dan penggunaan uang riil. Hal ini menjadi salah satu faktor yang menyulitkan industri swasta untuk mencapai ukuran yang besar. Dalam ekonomi Islam, fokus utama adalah penyebaran uang di masyarakat, bukan membiarkan kekayaan terkonsentrasi pada segelintir individu saja.
Mengutip dari pemikiran ulama, Al-Mawardi menyatakan, "Kekuasaan yang dipadukan dengan agama akan abadi, sedangkan agama yang disertai dengan kekuasaan akan menjadi kuat. " Ia menegaskan bahwa keberadaan negara Islam bertujuan untuk melanjutkan misi kenabian, yaitu untuk memelihara dan mengatur dunia. Dalam konteks ini, negara dan agama dalam Islam ibarat saudara kembar yang tidak dapat dipisahkan. Keberadaan negara dalam Islam sangatlah penting untuk menegakkan hukum-hukum Islam secara menyeluruh dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, negara tidak seharusnya tunduk kepada kepentingan swasta; sebaliknya, negara harus berada di garis depan dalam pembangunan, baik dalam aspek sumber daya manusia maupun pembangunan fisik.
Selain itu, negara-negara yang menerapkan prinsip-prinsip Islam perlu memastikan bahwa pemangku jabatan yang diangkat adalah mereka yang memiliki ketaqwaan dan tidak terjebak dalam sifat serakah terhadap dunia. Karena sifat rakus dan tamak akan menyebabkan segala sesuatu dinilai hanya berdasarkan pandangan duniawi, bukan akhirat.
Sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah SAW, “Dua ekor serigala yang lapar yang dilepaskan menuju seekor kambing, kerusakan yang dialami kambing itu tidak ada artinya dibandingkan dengan kerusakan pada agama seseorang yang disebabkan oleh ambisi terhadap harta dan kehormatan. ” (HR. al-Tirmidzi)
Pengawasan yang ketat dari pemerintah terhadap para pejabat dan kekayaan mereka sangat penting untuk meminimalkan potensi penyalahgunaan tugas oleh pejabat tersebut. Contoh nyata dari hal ini dapat kita lihat dalam sejarah Rasulullah SAW. Beliau pernah memberhentikan al-‘Alla’ bin al-Hadhrami, amil beliau di Bahrain, setelah menerima laporan dari utusan ‘Abdul Qais.
Begitu pula Khalifah Umar bin Khattab yang rela memberhentikan Amr bin Ash, utusannya yang menjabat sebagai gubernur Mesir, setelah audit terhadap harta bendanya menunjukkan kejanggalan. Ini menunjukkan betapa indahnya pengaturan dalam Islam, yang menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kesejahteraan untuk seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya untuk pemilik modal semata.
Oleh: Kanti Rahayu
Aliansi Penulis Rindu Islam