TintaSiyasi.id -- Merespons aksi besar-besaran mahasiswa bertajuk Indonesia Gelap yang digelar di berbagai daerah di Tanah Air, Cendekiawan Muslim Ustaz Ismail Yusanto (UIY) mengingatkan agar kritik dilakukan dengan teriakan ideologis, yakni mengkritisi hingga ke akar persoalan.
"Teriakan mahasiswa itu mestinya teriakan yang bukan hanya pada level cabang tapi hingga di level batang, bahkan akar. Jadi, teriakan yang ideologis," tuturnya di saluran YouTube UIY Official: Indonesia Gelap pada Ahad, (23/2/2025).
UIY menilai aksi kritik yang dilakukan mahasiswa tersebut sebagai suatu hal yang wajar dan merupakan sebuah ekspresi yang memang semestinya dilakukan sebagai upaya amar makruf nahi mungkar. Hanya saja ia mengingatkan semua pihak bahwa penting untuk memikirkan dan memahami lebih lanjut. Apakah persoalan yang dirasakan menyesakkan rakyat itu memang persoalan pangkal atau hanya persoalan cabang yang merupakan akibat dari persoalan yang lebih besar.
"Jadi, penting bagi kita ini untuk mahasiswa itu memikirkan lebih jauh tentang persoalan-persoalan yang sedang terjadi ini. Ini persoalan pokok atau ini persoalan cabang akibat dari sebuah persoalan besar?" tandasnya.
Ia menilai bahwa kesemrawutan yang ada sekarang ini hanya merupakan percikan-percikan dari sebuah akar masalah yang jauh lebih besar. Karena itu, imbuhnya, jika menghendaki negeri ini makin baik, semua persoalan mesti terselesaikan dari akarnya.
Ia menegaskan bahwa demokrasi transisional adalah akar permasalahan yang melanda. Bahkan, menurutnya, demokrasi itu sendiri adalah sebuah problem.
"Itu sangat berbahaya. Demokrasi itu sendiri itu sudah problem, apalagi demokrasi transaksional. Yang menang itu yang berkuasa. Bukan lagi rakyat, tetapi pemilik modal," sesalnya.
Karena itu, ia mengingatkan mahasiswa mestinya menggugat demokrasi yang transasional atau bahkan terhadap demokrasi itu sendiri.
"Suara mahasiswa ini hari itu mestinya menggugat ke arah sana gitu. (Yaitu) gugatan terhadap demokrasi transasional, bahkan terhadap demokrasi itu sendiri, bahwa ini hari, yang ada itu bukan kedaulatan rakyat. Atau, mempersoalkan kedaulatan rakyat itu sendiri sebagai sebuah konsepsi yang mungkin memang invalid dari awal," ujarnya.
Ia menerangkan, hal itu karena sesungguhnya manusia itu semestinya tunduk kepada sesuatu yang super lagi, Sang Pencipta Yang Maha Tinggi. Sementara dalam demokrasi yang meletakkan kedaulatan di tangan rakyat, menurutnya wakil rakyat yang diteorikan akan membuat hukum untuk kepentingan rakyat, faktanya sekarang ini dia membuat hukum untuk kepentingan kelompok politik mereka.
"Coba bayangkan, bagaimana bisa membuat sebuah undang-undang pembentukan sebuah lembaga yang menaungi aset atau modal sampai ribuan triliun, tak boleh disentuh oleh KPK dan BPK? Bagaimana, itu? Logikanya itu dari mana itu? Tak paham saya," ujarnya.
Sementara itu, pada praktiknya demokrasi transaksional, lebih lanjut ia mencontohkan, ketidakadilan hukum yang terjadi, yakni ketika hukum hanya menjadi alat-alat kepentingan politik, hal itu disebabkan hegemoni penguasa terhadap dunia hukum. Dalam hal ini, imbuhnya, penguasa tidak lagi menjadi state guardian (penjaga negara) atau constitusion guardian (penjaga konstitusi, tetapi justru penguasa lebih bekerja dengan menggunakan instrumen hukum demi kepentingannya.
"Kenapa bisa begitu? Karena dia juga terlalu banyak memberikan konsesi-konsesi kepada berbagai pihak untuk kemenangan kontestasi politik yang bersangkutan, baik itu di tingkat kota, provinsi, maupun nasional. Akibatnya, kemudian dia tidak bisa mengambil langkah tegas. 'Bagaimana Anda mau ngambil langkah tegas kepada saya, wong Anda jadi presiden itu karena saya?' Nah, gitu kira-kira kan?" tukasnya.
Karena itu ia mengingatkan mahasiswa agar meneriakkan kritiknya sampai pada akar persoalan. Ia juga mengingatkan bahwa dunia saat ini membutuhkan Islam. "Makanya, dari situ saya kira mahasiswa mesti sampai sana. Nah, di situlah sebenarnya peran Islam itu sangat besar. Ini hari sebenarnya dunia itu membutuhkannya (Islam)," pungkasnya.[] Saptaningtyas