Tintasiyasi.id.com -- Program seratus hari Presiden Prabowo Subianto dan Jibran Rakabuming telah berlalu. Ia menegaskan komitmennya untuk terus memberantas korupsi yang merugikan negara.
Dan menurutnya, banyaknya korupsi yang terjadi di Indonesia sungguh sangat mengkhawatirkan. Ia memastikan akan menyerahkan segala kekuatan negara untuk memberantas korupsi di negara tercinta.
"Tingkat korupsi di negara saya sangat mengkhawatirkan. Dan itulah, mengapa saya bertekad untuk menggunakan seluruh tenaga, seluruh wewenang yang diberikan kepada saya oleh konstitusi untuk mencoba mengatasi penyakit ini," kata Prabowo secara daring dalam forum internasional World Governments Summit 2025, Kamis (13/2). (Kumparan.com 14-02-2025).
Namun, apakah bisa Presiden yang kedelapan ini akan memberantas semua kasus korupsi di negeri ini?
Sayangnya pernyataan untuk pemberantasan korupsi tidak sejalan dengan kenyataannya di lapangan.
Sebab, kasus korupsi yang terjadi di negeri ini bukan hanya terletak pada amoralnya individu pejabat, melainkan sistem yang diterapkan. Realitanya negara ini menerapkan sistem kapitalisme yang orientasi berkepemimpinan hanya meraih keuntungan materi sebanyak-banyaknya.
Sehingga, konsep kepemimpinan seperti ini membuka peluang terjadinya korupsi secara sistemik. Baik berbagai bidang level jabatan serta para pemilik modal yang mendapatkan projek dari negara.
Sistem kapitalisme yang mengadopsi sistem politik demokrasi secara konsep kedaulatan hukum ada di tangan manusia, sehingga para pejabat bisa mengotak-atik hukum yang dibuat hanya sesuai kepentingan saja.
Sebaliknya jika dilakukan secara praktek, demokrasi adalah sistem politik yang mahal, di sinilah terjadinya peluang korupsi itu. Mirisnya lagi sistem demokrasi membuka peluang para oligarki memodali pemilihan wakil rakyat dan pejabat. Sehingga, siapapun yang jadi pemimpin pasti akan tunduk pada pemilik modal/oligarki dan pada akhirnya negara lemah dihadapan oligarki.
Maka sudah bisa dipastikan semua kebijakan negara dibuat untuk menguntungkan pemilik modal. Sementara itu para pejabat negara memanfaatkan kekuasaannya untuk mengembalikan modal dengan cara-cara yang culas, seperti korupsi dan cara yang lain. Alhasil lagi-lagi rakyat menjadi korbannya.
Dalam sistem demokrasi pembebasan korupsi tidak dilakukan dengan sepenuh hati dan sanksi yang diberikan tidak memberikan efek jera bagi pelakunya. Berbeda dengan sistem Islam yang dipimpin oleh khalifah di dalam institusi negara Daulah Khilafah. Islam mampu menutup rapat-rapat celah korupsi, bahkan tidak akan adanya korupsi di sebuah negara. Mekanisme sistem politik Islam yang dilakukan tidak mahal dan sangat sederhana.
Dalam Islam kekosongan posisi khalifah maksimal 3 hari. Dalam tenggang waktu tersebut kaum muslimin harus melakukan pemilihan dan pembaia'tan khalifah. Setelah itu khalifah akan mengangkat para wali (tingkat gubernur), amil (tingkat wali kita/bupati) dan pejabat daerah lainnya.
Sehingga, dalam proses pemilihan kepala negara dan daerah tidak akan menghabiskan banyak anggaran dan tentunya tidak akan memunculkan persengkongkolan cukong-cukong politik, inilah yang mencegah adanya praktek korupsi.
Nabi Saw bersabda;
''Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah hari kiamat." (HR. Bukhari)
Dalam negara Islam kualifikasi rekrutmen pegawai negeri wajib berasaskan profesional dan integritas bukan berdasarkan konsentrasi nepotisme, politik identitas dan praktek balas budi. Maka para pegawai harus memiliki kriteria kifayah (kapabilitas) dan berkepribadian Islam.
Dalam negara Islam juga akan menerapkan sistem pendidikan yang akan membentuk kepribadian manusia yang pola pikir dan pola sikapnya berlandasan syariat Islam. Dengan begitu generasi akan bisa mengendalikan diri agar menjauhi kemaksiatan. Seperti, tidak amanah dalam jabatan, melakukan korupsi dan sebagainya. Selain itu khilafah memiliki kebijakan yang unik untuk mengatasi korupsi.
Khilafah akan melakukan penghitungan kekayaan bagi para pegawai negeri di awal dan diakhirat jabatannya. Dan jika ditemukan penambahan harta yang tidak wajar, maka khalifah akan memberikan sanksi yang sesuai dengan Islam.
Dalam Islam hukum untuk para korupsi masuk kategori takzir, yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh khalifah atau qadhi. Mulai dari yang paling ringan seperti menasehati atau teguran, sampai yang paling tegas yaitu hukuman mati. Maka tidak sedikitpun celah bagi mereka yang ingin korupsi. Cara seperti inilah yang harus diambil jika memang benar-benar ingin memberantas korupsi. Wallahu a'lam bishshowab.
Oleh: Marlina Wati, S.E
(Muslimah Peduli Umat)