TintaSiyasi.id -- Cendekiawan Muslim Ustaz Ismail Yusanto (UIY) menyampaikan cara paling sederhana untuk melihat atau mengetahui ajaran Islam.
"Ada cara paling sederhana untuk mengetahui bahwa Khilafah itu ajaran Islam,” ungkapnya dalam Diskusi Live YouTube UIY Channel yang bertajuk Kebohongan Pernyataan Khilafah Bukan Ajaran Islam. Selasa, (11/2/2025).
UIY menunjukkan cara sederhana itu, yaitu dengan membaca buku- buku fikih, itulah cara paling sederhana.
“Ada tidak di situ, kalau ada di kitab fikih berarti, ya pasti. Pasti ajaran Islam itu, karena kitab fikih itu kan tradisionally,” tuturnya.
Kemudian ia jelaskan, pembahasannya biasanya dimulai dari Alma’ kitab Thaharah, air. Berarti kan ketika berbicara tentang air, air mana yang suci, dan air mana yang suci menyucikan.
“Ada pembahasan begitu, to? Itu berarti kan ajaran Islam itu,” tegasnya.
Ia menambahkan, wudu, salat, terus sampai dalam kitab fikih sederhana Sulaiman Rasyid, itu di bagian akhir disebut Imamah dan Khilafah. Jelas, tidak mungkin seorang atau sekaliber K.H. Sulaiman Rasyid yang lulusan Al-Azhar mencantumkan soal Imamah dan Khilafah di dalam buku fikihnya kalau bukan ajaran Islam.
“Kalau kita membaca buku fikih pelajaran Fikih Islam untuk Madrasah Aliah kelas 12 jilid 12, buku itu malah khusus tentang pemerintahan Islam. Di halaman 12 disebutkan bahwa Khilafah itu ajaran Islam dan hukumnya adalah fardu kifayah, itu kata-kata fardu itu kan wajib. Dan tidak mungkin sesuatu itu dikatakan wajib jika itu bukan bagian dari ajaran Islam,” jelasnya.
“Bagaimana kita katakan bahwa wudu sebelum salat itu wajib, kalau itu bukan ajaran Islam. Bagaimana kita katakan bahwa fardu penegakkan Khilafah itu menurut buku itu, kalau itu bukan ajaran Islam,” cecarnya.
Jadi menurutnya, memang ada satu usaha yang agak sedikit konyol, saking sudah nekatnya untuk mencoba mengeliminasi soal Khilafah dari arena dakwah Islam, dari pandangan umat, dari pemikiran umat, pemahaman umat, sampai akhirnya kemudian menjadi konsen umat mengatakan bahwa hal demikian bukan ajaran Islam, itu sudah nekat.
“Sesuatu yang saya kira ini urusannya tidak hanya dengan katakanlah para pejuang yang selalu menjelaskan kepada umat tentang pentingnya soal ini, tetapi urusannya kepada Sang Pemilik risalah ini. Karena berarti kan dia secara telak mengatakan bahwa ini bukan bagian dari Islam kan gitu,” tangkasnya.
Produk Politik
UIY mengisahkan, pada kehidupan sahabat setelah Nabi, kalau kita bicara tentang politik memang tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik, tetapi umat mesti ingat bahwa para sahabat adalah mereka-mereka yang dididik langsung oleh Nabi. Sampai Nabi mengatakan khairu qurun kurni, sebaik-baik masa itu masaku. Kalau ada orang yang ingin melihat sehebat-hebat manusia selepas Nabi, merekalah para sahabat. Sampai Nabi memuji Sayidina Abu Bakar. Misalnya soal kualitas keimanannya, lauzina imanu Abu Bakrin biimani ahlil add larojai Man Abu Bakar. Andai ditimbang itu imannya Abu Bakar dengan imannya seluruh penduduk bumi, maka imannya Abu Bakar ini yang unggul.
“Sampai sebegitu rupa, kalau ada Nabi selepasku, itulah Umar Bin Khattab sampai begitu. Nabi juga mengatakan, Ana Madinatul ‘ilm wa ali babuha, Aku ini kotanya ilmu, dan pintunya adalah Ali. Itu pujian-pujian oleh Nabi kepada para sahabat," lugasnya.
UIY kembali menegaskan lebih rinci, para sahabat adalah orang-orang yang luar biasa dan ketika bicara tentang kehidupan, tentu di sana ada dinamika, tetapi dinamika yang dibimbing oleh pemahaman mereka terhadap Islam termasuk dalam soal politik. Dan di situlah kemudian para ulama menyebut salah satu dari kesepakatan yang kemudian dikenal dengan istilah ijmak sahabat tersebut bernilai tinggi, yang kemudian menjadi salah satu dari empat dalil syarak yang disepakati setelah Qur’an, hadis, ijmak sahabat kemudian qiyas.
Lalu katanya, ditambahkan bahwa ijmak sahabat memiliki posisi dari segi hukum . “Jadi, kalau itu sebagai sebuah dinamika politik, itu dinamika yang punya nilai tinggi di hadapan risalah ini sebagai dalil syarak,” sebutnya.
Tentang Khilafah
“Dari segi lafaz La nabiya ba’di, tidak ada Nabi setelahku, tetapi yang ada itu adalah sayakunu khulafau fa yakfur, akan ada para khulafa, dalam makna pengganti,” jelasnya.
Namun, lanjutnya, kemudian para Umaro memahami bahwa Khilafah bukan hanya Khalifah itu sebagai makna pengganti, tetapi juga bermakna kepemimpinan.
“Makanya kemudian dikatakan ini adalah Khilafah itu mauduatun li khalifati Rasulillah. mengganti Rasulullah fihi rasaddin wasiyasatu dunya bihi fiddin. Jadi dalam menjaga amal dan mengatur dunia itu dengan agama,” terangnya.
“Jadi jelas bahwa jika itu disebut produk politik, maka itu produk politik yang dilakukan atau yang terjadi oleh karena kesepakatan para sahabat yang kesepakatan itu bernilai tinggi, sebab ketika kita tak lagi menghargai kesepakatan para sahabat atau ijmak sahabat, maka itu akan menjadi titik paling fundamental untuk juga mempersoalkan keabsahan Al-Qur'an, karena Al-Qur’an itu kan sampai kepada kita itu melalui para sahabat, melalui periwayatan mutawatir kan gitu,” terangnya.
“Nah, jadi ini sangat berbahaya sebenarnya dalam konstruksi pemahaman terhadap keabsahan risalah ini, keabsahan risalah itu kan sangat bergantung kepada keabsahan Al-Qur’an. Begitu Al-Qur’an itu digoyang, maka runtuhlah risalah ini. Dan keabsahan Al-Qur’an itu sangat ditentukan oleh kepercayaan kita terhadap para sahabat yang menyampaikan Al-Qur’an itu kepada kita semua hari ini,” paparnya
Usaha Memisahkan Khalifah dan Khilafah
Pertama, menyangkut orangnya dan menyangkut sistemnya. Orangnya adalah pemimpin dalam makna Khalifah. Dalam makna pemimpin. Secara bahasa dia pengganti Nabi, bukan sebagai Nabi, tetapi sebagai pemimpin makanya Sayidina Abu Bakar disebut Khalifatti Rasulillah.
Kedua, sistemnya. Nah sistemnya tersebut kan tidak pernah keluar dari sistem Islam. Syariat Islam, sistem pemerintahan atau sistem politik pemerintahan yang di dalam Islam, mau disebut apa? Kemudian, di situlah para ulama menamainya sebagai Khilafah atau Imamah, itulah yang disebut sebagai mutaradif adalah yang bisa dipergantikan.
Jadi lanjutnya, merupakan satu skema pemahaman bahwa di dalam Islam ada sistem yang kemudian kita kenal sebagai sistem politik dan pemerintahan, kemudian ada sistem ekonomi, ada sistem sosial, sistem pendidikan dan seterusnya.
“Saya kira masalahnya tinggal begini saja, ini ada begini, kalau Anda mengatakan tidak ada, wong ini ada, bagaimana menjelaskan ini semua,” tegasnya.
UIY mengatakan, sederhananya, seperti dalam sistem demokrasi ada Presiden, ada Republik. Jadi, ketika orang bicara presiden, tidak mungkin lepas dari Republik sebagai sistem . Ada Raja, sistem dalam kerajaan, ada Khalifah sebagai pemimpinnya ada Khilafah. Apalagi Rasulullah juga. Lalu disebutlah hadis yang cukup panjang Stuma ta kunu khilafah alamin hajj nubuwwah yang panjang kata Khilafah juga sebenarnya disebutkan oleh Rasulullah,” ...
“Ini adalah satu hal yang menurut saya aneh ketika kita bicara tentang Khilafah begitu rupa dikejar dalilnya, dikejar dasarnya, dan segala macam, tetapi begitu bicara tentang demokrasi, Republik dan lainnya, di mana dalilnya? Itulah yang membedakan sistem khilafah ini dengan demokrasi,” Tutupnya. [] Titin Hanggasari