TintaSiyasi.id -- Mandi Susu. Itulah aksi ekstrem yang dilakukan ratusan peternak sapi perah dan pengepul di Boyolali, Sabtu, 9 November 2024 lalu (radarsolo.jawapos.com). Mereka membuang susu ratusan ton sebagai bentuk protes akibat susu mereka tidak diterima oleh industri.
Boyolali, yang dikenal sebagai 'Kota Susu', kini masyarakatnya yang bermata pencaharian sebagai peternak sapi perah dan pengepul susu pun terancam. Hal yang serupa, aksi buang susu juga dilakukan oleh PT Nawasena Satya Perkasa (NSP) — sebuah perusahaan pengepul susu di Kota Pasuruan — akibat pembatasan kuota susu oleh Industri Pengolahan Susu (IPS) (Kompas.com).
Kondisi ini sudah pasti membawa kerugian besar bagi peternak sapi perah maupun pengepul susu segar. Bagi peternak, sapi harus diperah. Jika tidak, sapi akan sakit. Biaya pakan dan kebutuhan harian terus berjalan, sementara susu tidak terserap. Bagi pengepul, susu yang tidak terbeli tidak mampu lagi ditampung mesin pendingin. Sehari saja satu supplier membuang susu sebesar 50 ton, itu senilai 400 juta rupiah. Jika dijumlahkan beberapa supplier lain yang melakukan aksi serupa, total susu yang dibuang sebanyak 160 ton. Industri Pengolahan Susu tidak membeli susu mereka dengan alasan karena kuota pembelian dibatasi. Penyusutan ini sudah terjadi sejak tahun 2023. Menurut Bayu Aji Handayanto, Direktur NSP, kiriman susu yang sebelumnya mencapai 70 ton per hari kini dibatasi menjadi 40 ton per hari (Kompas.com).
Berdasarkan data dari Direktorat Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, kebutuhan susu di Indonesia mencapai 4,4 juta ton pada 2022. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan 2021 dengan angka sekitar 4,3 juta ton. Dari sekian kebutuhan susu nasional tersebut, kontribusi susu dalam negeri terhadap kebutuhan susu nasional baru sekitar 22,7 persen. Sisanya masih dipenuhi impor. Tidak menutup kemungkinan tahun mendatang angka kebutuhan susu naik seiring bertambahnya penduduk, dan lain-lain.
Pemerintah mengklaim telah menggagas kemandirian susu yang sudah dipetakan sejak 2013 melalui program produksi susu berkelanjutan. Ini sejalan dengan Blue Print Persusuan Indonesia Tahun 2013-2025 yang dikeluarkan oleh Kemenko Perekonomian. Harapannya, pada tahun 2025, target pemenuhan kebutuhan susu nasional dari susu segar dalam negeri sebesar 60%. Program ini ditindaklanjuti dengan berbagai langkah dari hulu hingga hilir antara lain dengan peningkatan populasi, pemasukan sapi perah, pemeliharaan pedet, serta pemberian insentif investasi berupa tax allowance. Selain itu, pemerintah juga meningkatkan produktivitas melalui perbaikan genetik, mengembangkan jenis sapi perah baru, pendampingan penerapan Good Farming Practices (GFP), perbaikan kualitas, dan kuantitas pakan.
Pertanyaan kritisnya adalah, ini sudah tahun terakhir dari target tahun 2025 Indonesia bisa mensuplai kebutuhan susu dalam negeri sebesar 60 persen. Faktanya, kita belum beranjak dari angka 20 persen. Bahkan yang lebih buruk adalah, produksi susu dalam negeri yang ada pun tidak terserap akibat susu impor sudah masuk terlebih dahulu.
Bagaimana hal ini bisa terjadi? Jawabannya adalah karena kita tidak dibentuk menjadi negara yang mandiri. Swasembada susu tidak menjadi sesuatu yang serius dijalankan. Impor susu dari luar negeri sudah menjadi kontrak yang harus dijalankan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diolah oleh Pusat Data Indonesia, negara asal terbesar impor susu ke Indonesia pada 2021 adalah Selandia Baru, sebanyak 102,97 ribu ton, disusul Amerika Serikat sebanyak 74,99 ribu ton. Berikutnya Malaysia, Australia, dan negara-negara Eropa seperti Belgia, Prancis, dan Jerman (Tempo.co.id).
Kebutuhan ini akan terus meningkat, terlebih di periode pemerintahan baru saat ini, yang mencanangkan program makan bergizi gratis. Dikutip dari Antara, Kementan menargetkan produksi susu hingga 8,17 juta ton pada 2029 dengan puncak impor sapi perah pada tahun-tahun pertama program tersebut.
Sungguh ironi, di negeri dengan jumlah penduduk terbesar keempat dunia, negeri agraris yang terbentang tanah suburnya dari Sabang sampai Merauke, tak mampu mencukupi kebutuhan pangannya sendiri. Bukan karena rakyat yang malas bekerja, atau lahannya tidak ada, melainkan kebijakan negara yang membuka kran impor lebar-lebar. Kebijakan impor ini telah berlangsung bertahun-tahun dan tidak ada upaya serius dari pemerintah untuk melepaskan diri dari ketergantungan impor, bahkan cenderung semakin meningkat. Di tahun 1997-1998 impor susu hanya 40 persen, kini sudah tembus 80 persen. Ini adalah fakta yang tidak terelakkan, bahwa kita dalam jeratan liberalisasi perdagangan.
Semua ini tidak lain disebabkan oleh penerapan sistem hidup sekulerisme kapitalisme. Jeratan liberalisasi perdagangan melalui berbagai perjanjian, telah menjadikan negara kita tidak bisa berkutik, tunduk terhadap kendali negara-negara yang lebih kuat dari sisi ekonomi. Kita dipaksa untuk membeli produk-produk impor tanpa batas sampai kapan. Walhasil, negara kita hanya menjadi konsumen, selalu bergantung kepada negara lain.
Rakyat yang seharusnya sangat mampu untuk memproduksi bahan-bahan pangan sendiri, jika negara benar-benar serius, tidak bisa berbuat apa-apa. Inilah buah dari pengaturan urusan hidup manusia yang tidak berpijak pada aturan ilahi. Umat hidup jauh dari kata sejahtera. Maka, sudah seharusnya sebagai umat Islam, terlebih Indonesia adalah negara dengan jumlah muslim terbesar dunia, menjadikan akidah Islam sebagai asas pijakan hidup, menjadikan syariat Islam sebagai panduan dalam setiap urusan kehidupan.
Dalam Islam, pengaturan kehidupan rakyat adalah tanggung jawab negara. Rasulullah ﷺ bersabda, “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” (HR Abu Nu’aim al-Asbahani dari Anas ra.).
Sandang, pangan, dan papan adalah kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi oleh negara melalui kebijakan yang tepat. Susu adalah produk pangan yang menjadi kebutuhan mendasar bagi rakyat. Terlebih bahwa kandungan nutrisi yang ada di dalam susu sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia ke depan. Maka pemerintah wajib mencukupi, salah satunya adalah swasembada susu. Dengan cara memaksimalkan potensi sumber daya alam yang Allah anugerahkan di negeri kita. Membuat kebijakan dari hulu hingga hilir. Menggenjot jumlah sapi perah dengan mengembangkan teknologi terbaik, memberi fasilitas kepada para peternak agar sapi perah mereka mampu memproduksi jumlah susu dalam jumlah yang maksimal, tentunya dengan teknologi yang terbaik pula.
Dengan pengaturan sistem politik Islam pula, seharusnya Indonesia dan negeri-negeri muslim lainnya melepaskan diri dari ketergantungan terhadap negara-negara asing. Menjadi negara yang kuat dan mandiri dengan memaksimalkan seluruh potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimiliki. Dengan demikian, masyarakat akan hidup sejahtera. Roda perputaran ekonomi bergerak karena kebutuhan masyarakat ditopang di dalam negeri. Tentu ini membutuhkan keseriusan dari para pengemban kebijakan yang amanah. Dibarengi dengan pelaksanaan sistem hidup yang benar, yakni sistem politik pemerintahan Islam yang diperintahkan oleh Allah dan dicontohkan oleh Rasulullah saw. Wallahu a'lam bish-shawab.
Oleh: Ainun Nafiah
(Aktivis Muslimah)