TintaSiyasi.id -- Kemiskinan menjadi permasalahan krusial yang sampai detik ini dirasakan oleh hampir di setiap negara. Terutama negara yang berada di kawasan Afrika dan Asia Selatan. Fenomena ini pun diabadikan dengan adanya peringatan hari untuk pengentasan kemiskinan yang telah ditetapkan oleh PBB ditanggal 17 Oktober lalu sejak tahun 1992. Lalu, apa dampak yang bisa kita rasakan dengan adanya hari peringatan pengentasan kemiskinan tersebut? Apakah permasalahan kemiskinan bisa dituntaskan atau semakin menjamur di mana – mana.
Data bps.go.id menunjukkan ada penurunan data kemiskinan dari tahun 2023 ke tahun 2024, jumlah penduduk miskin pada Maret 2024 sebesar 25,22 juta orang, menurun 0,68 juta orang terhadap Maret 2023 dan menurun 1,14 juta orang terhadap September 2022. Meskipun demikian, angka kemiskinan tersebut masih besar dan program yang ada belum secara keseluruhan menjamah dan menyelesaikan solusi kemiskinan ini. Standar pengukuran kemiskinan ini juga ada perbedaan antara World Bank dan Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia. Standar dari Bank Dunia menetapkan bahwa berada dalam garis kemiskinan jika pendapatan seseorang hanya kisaran US $ 3,2 per kapita per hari. Sedangkan Indonesia masih menggunakan standar pengukuran yang sebelumnya yaitu sebesar US $1,9. Perbedaan standar angka yang cukup signifikan apalagi menggunakan patokan mata uang US dollar.
Tak hanya Indonesia, tingkat kemiskinan ini masih menjadi tantangan besar di seluruh dunia. Dilansir dari beritasatu.com sebesar 83,2 persen orang termiskin di dunia tinggal di Afrika sub Sahara dan Asia Selatan. Negara yang jumlah penduduknya paling banyak berada dalam kemiskinan ekstrem adalah India sebesar 234 juta dari 1,4 miliar penduduknya.
Banyak upaya yang telah dicanangkan dari adanya Hari Pengentasan Kemiskinan tersebut, mulai dari berbagai aksi gerakan kampanye terutama di berbagai platform media sosial dengan menggunakan tagar #EndPoverty atau #FightPoverty untuk menggalang aksi solidaritas dari berbagai kalangan. Selain itu, PBB menggandeng berbagai organisasi non pemerintah (NGO) membuat proyek – proyek berkelanjutan dengan memberdayakan komunitas untuk menciptakan usaha kecil yang mandiri dan berkelanjutan.
Pemerintah juga memiliki program yang dipegang oleh Kementerian Sosial yaitu penggelontoran berbagai bantuan. Bantuan tersebut dalam pelaksanannya telah menggunakan berbagai macam sarana dalam melindungi keluarga prasejahatera untuk melindungi daya beli akan kebutuhannya, seperti menggunakan Kartu Program Keluarga Harapan, Bantuan Langsung Tunai (BLT) BBM, program sembako/BPNT, dan lain sebagainya. Pun banyak yang mengakui bahwa masyarakat yang mendapatkan salah sasaran.
Dalam terbitan International Journal of Educational Research Volume 128, 2024 menyebutkan bahwa para pelajar yang berasal dari Negara dengan penghasilan rendah dan menengah yang melanjutkan studi mereka ke luar negeri memberikan dampak positif dalam menekan angka kemiskinan ketika mereka kembali ke negeri mereka masing – masing. Temuan ini berdasarkan penelitian selama jangka waktu 20 tahun, jangka waktu yang cukup lama. Pada faktanya secara riil, sebagian besar lulusan luar negeri lebih puas melanjutkan jenjang karirnya di luar negeri. Faktor penyebabnya adalah enggan berurusan dengan carut marutnya birokrasi di luar negeri, dan kadang para lulusan ini tidak mendapatkan posisi yang baik dan cocok ketika di dalam negeri.
Fenomena di atas adalah hal yang wajar selama negara mengemban dan mengekor mabda kapitalis yang tentu saja arah tujuan ekonominya salah, yaitu selalu berorientasi bagaimana caranya agar mendapatkan keuntungan sebesar – besarnya. Rakyat yang seharusnya diurus Negara, diabaikan begitu saja bertahan hidup ala kadarnya. Para penguasa negeri ini berpuas diri menikmati hasil kekayaan alam negara. Menjadikan oligarki sebagai pemberi modal pada negara yang mana selalu dijaga dan dilindungi.
Permasalahan kemiskinan ini merupakan titik kritis akibat dari distribusi ekonomi dalam satu negara tersebut yang tidak merata. Kondisi dimana harta kekayaan tersebut hanya berkutat di sebagian masyarakat kalangan atas. Kapitalis hanya akan berpihak pada para pemodal saja, sehingga berapapun regulasi yang diterapkan untuk menyelesaikan permasalahan ini sulit terselesaikan.
Bagaimana dalam sistem Islam? Yang paling utama yang harus diperhatikan adalah Islam memandang seorang pemimpin itu adalah amanah yang besar lagi berat pertanggungjawabannya. Pemimpin memiliki tanggung jawab sebagai ra’in yaitu mengurusi urusan umat. Seorang pemimpin yang bertaqwa pastinya akan tunduk dan menjalankan amanahnya dengan sebaik – baiknya. Tidak ada condong pada kalangan tertentu, bahkan jika kondisi masyarakat yang tertindas, pemimpin dalam Islam atau khalifah akan menjadi garda terdepan sebagai junnah atau penjaganya.
Sistem ekonomi dalam Islam mengharuskan pendistribusian perekonomian dalam suatu Negara tersebut merata, tidak ada kesenjangan yang tinggi antara si kaya dan si miskin. Rakyat berhak mengembangkan hak milik pribadinya (kekayaannya). Para aghniya’ akan menyalurkan sebagian hartanya diserahkan pada baitul maal. Khalifah akan memastikan tidak ada masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan atau bahkan untuk sekedar makan serba kekurangan. Jika kondisi ini ditemui, khalifah akan menyalurkan harta dari baitulmal, seperti yang dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab r.a. ketika berkeliling menemukan keluarga yang ternyata tidak memiliki bahan makanan untuk dimakan, dengan sigap Khalifah Umar membawa karung bahan makanan untuk diberikan pada keluarga tersebut. Gambaran indahnya sistem Islam, tentu ini yang sangat dirindukan diatur oleh syariat-Nya, dipimpin oleh pemimpin yang bertakwa dan adil, rakyatnya pasti akan sejahtera. Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Palupi Arliesca Nuraisya
Aktivis Muslimah