Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Lipstick Effect Menggerogoti Masyarakat Kapitalis

Senin, 11 November 2024 | 17:10 WIB Last Updated 2024-11-11T10:10:49Z

Tintasiyasi.id -- Pengamat Ekonomi Nida Sa’adah menyatakan bahwa masyarakat kapitalis sekuler liberal saat ini tengah digerogoti penyakit yang disebut lipstick effect. Hal itu disebutkan dalam program acara Economic Understanding, Jumat (08/11/2024), di YouTube Muslimah Media Hub.

“Perilaku mereka ketika situasi ekonomi turun, berarti daya beli semua orang sedang turun, mereka malah menaikkan permintaan atau konsumsinya terhadap produk-produk kecantikan, sehingga ini yang kemudian disebut dengan lipstick effect,” ujarnya.

Nida menjelaskan bahwa kondisi yang sama juga ternyata terjadi di Indonesia. Di saat yang sama sebetulnya Indonesia dihantam oleh badai resesi, bahkan beberapa bulan kemarin mengalami deflasi, kemudian ada gelombang pemutusan hubungan kerja secara massal. "Namun kalau dilihat dari jumlah konsumsi yang dilakukan oleh masyarakat di Indonesia, tingkat penjualan kosmetik malah mangalami peningkatan," herannya.

“Jumlah terbesar yang dihabiskan oleh warga negara di Indonesia adalah belanja kosmetik dengan kenaikan sebesar 8,8 persen, sementara yang lain hanya naik diangka 1-3 persen saja,” tambahnya lagi.

Nida juga menjelaskan bahwa mereka membelanjakan uang demi membeli barang kebutuhan itu, bahkan fatalnya melalui utang atau pinjaman, jika ternyata income yang mereka miliki sudah menipis dan habis.

“Jadi antara perliaku dengan kemampuan finansialnya sebetulnya tidak sejalan,” ungkapnya.

Menurutnya, sebenarnya istilah lipstick effect ini pertama kali diperkenalkan oleh Profesor Ekonomi dan Sosiolog Juliet Schor di bukunya yang berjudul The Overspent American.

“Teori yang menegaskan sebetulnya terjadi penurunan ekonomi, namun justru penurunan ekonomi ini ditandai dengan naiknya demand, “ paparnya. 

“Jadi, ada satu kondisi yang berbeda, ada penurunan ekonomi tapi malah terjadi kenaikan demand,” jelasnya lagi.

Ternyata menurutnya lagi bahwa demand yang naik itu bukan pada kebutuhan pokok, karena ekonominya menurun. Justru yang naik ini adalah demand atau pembelian terhadap pruduk-produk kecantikan.

"Kenapa masyarakat ini malah menaikkan belanjanya pada saat kondisi ekonominya turun? Karena masyarakat mencari sedikit kesenangan dengan berbelanja pada barang-barang yang sebetulnya tidak masuk kebutuhan primernya, dengan harapan untuk menyalurkan rasa stresnya ketika dia berada di situasi ekonomi yang terus menerus dalam kondisi sulit," bebernya.

“Bukan hanya terjadi di Amerika, fenomena ini terlihat di Indonesia dan juga di beberapa banyak negara yang lain. Hal itu disebabkan karena semua negara di dunia ini tidak memberlakukan sistem ekonomi yang berasal dari Islam. Umat Islam Indonesia tidak mengamalkan ekonomi yang berasal dari agamanya sendiri,”jelasnya.

Kemudian Nida menyampaikan keprihatinannya bahwa  dalam situasi ini, dalam situasi stres, tekanan, sementara di saat yang sama mereka sendiri jauh dari agamanya. "Seharusnya apa yang diajarkan agama itu menjadi pegangan, panduan. Karena mereka jauh dari agamanya, sehingga serasa kehilangan arah ketika menghadapi berbagai kesulitan,” pungkasnya.[] Ni’matul Afiah

Opini

×
Berita Terbaru Update