TintaSiyasi.id -- Saat ini peternak sapi melakukan aksi membuang susu segar. Menurut Dewan Persusuan Nasional (DPN) mencatat ada 200 ton susu seger perhari yang di buang. Teguh Boediyana sebagai ketua DPN menjelaskan aksi tersebut di lakukan lantaran Industri pengolah susu membatasi penyerapan susu yang di hasilkan peternak sapi perah.
Puluhan peternak sapi perah dan pengepul susu di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, dalam beberapa waktu terakhir ini terpaksa membuang susu hasil panen mereka. Hal itu lantaran pabrik atau industri pengolahan susu (IPS) membatasi kuota penerimaan pasokan susu dari para peternak dan pengepul susu itu (TEMPO.COM, 08/11/24)
Menurut informasi bahwa 80% susu sapi segar yang masuk pabrik itu adalah susu import. Dan peternak lokal hanya mendapatkan jatah 20% saja. Bisa di bayangkan betapa nelangsanya peternak susu yang sudah lelah dalam menyediakan makanan para sapi, merawat dan memandikan sapi- sapi tersebut.
Susu yang dibuang tersebut berasal dari 20 ribu peternak. Juga di bawa ke tempat pembuangan sampah akhir (TPS) sampai di lokasi pembuangan ribuan liter susu di dalam drum di tuangkan begitu saja dari atas bak mobil pick up. Ini merupakan wujud keputus asaan terhadap kondisi susu lokal saat ini. Dimana setiap hari ada 30 ribu liter susu di Boyolali yang tak bisa di serap oleh pabrik kerena alasan pembatasan kuota.
kebijakan impor susu yang dilakukan oleh pemerintah adalah pemicu masalah bagi peternak susu sapi lokal dalam mendistribusikan susu hasil perahannya. Alhasil setiap hari para peternak susu sapi local harus membuang susu sampai 200 ton liter per hari. Ini semua karena Industri lebih memilih susu impor di banding susu lokal. Sehingga terjadi pembatasan kuota bagi para peternak susu.
Di tambah lagi dengan daya beli masyarakat yang rendah adalah faktor tambahan sebagai pemicu susu lokal sulit di pasarkan. Kondisi ini di sebabkan oleh kesulitan ekonomi yang terjadi saat ini akibat deplasi ekonomi yang hampir mencapai enam bulan. Akibatnya kerugian yang besar harus di tanggung para peternak sapi.
Negara seharusnya berperan dalam melindungi nasib para peternak susu sapi perah melalui kebijakan yang berpihak kepada para peternak. Baik itu dalam hal menjaga mutu maupun dalam upaya menampung hasil susu dari para peternak serta distri busi dan kebutuhan lainnya yang mampu mensejahterakan para peternak susu sapi tersebut. Namun hal ini semua tidak akan mungkin terwujud dalam penerapan system kapitalisme yang menjadikan manfaat dan keuntungan sebagai pondasi keputusannya.
Di mana, terjadinya kebijakan impor susu sapi diduga akan adanya keterlibatan para pemburu uang dan materi untuk mendapatkan keuntungan besar dari impor susu ini. Sebab para penguasa di negeri ini menjadikan setiap kebijakan yang di terapkan sebagai lahan bisnis yang mampu menghasilkan keuntungan yang berlipat ganda baik untuk individu ataupun kelompok. Inilah salah satu kebijakan buruk dalam penerapan sistem ekonomi kapitalisme, karena berpihak pada para pengusaha sehingga menghasilkan hubangan oligarki yang zalim.
Berbeda dengan sistem Islam. Di dalam sistem Islam negara khilafah akan berdiri tegak di tengah umat. Sebab fungsi utama negara adalah ra’in dan junnah yaitu sebagai pengurus dan pelindung umat dalam setiap problematika yang terjadi dan menyolusi dengan syariat Islam demi mewujudkan kemaslahatan umat. Seperti yang di contohkan oleh baginda Rasullah saw. Sehingga ketika ada masalah pada umat maka kita wajib berittiba’ kepada beliau dalam mencari solusinya. Rasullah pernah mencontohkan kepada kita sebuah negara Islam yang secara mandiri akan memenuhi kebutuhan rakyatnya dengan mengoptimalkan seluruh potensi SDA dan SDM yang ada. Hal ini akan mampu mencegah merebaknya orang-orang yang mencari keuntung di tengah penderitaan rakyat. Dengan mengemban prinsip negara Islam yang berdiri atas tiga pondasi yaitu ketakwaan individi, kontrol masyarakat dan hukum atau sanksi yang tegas maka dapat di pastikan bahwa setiap kebijakan di dalam Negara Islam akan mampu mensejahterakan setiap individu rakyatnya.
Wallahu’alam bissawab.
Oleh: Nurhalimah
Aktivis Muslimah