TintaSiyasi.id -- Disintegrasi sosial akibat perang yang diambil oleh Amerika Serikat untuk menghancurkan rezim Saddam Hussein menyisakan tragedi pilu yang dirasakan oleh masyarakat Muslim Irak. Invasi ke Irak secara resmi dimulai pada 19 Maret 2003 dengan tujuan utama melucuti senjata pemusnah massal. Invasi ini memicu Perang Irak pada tahun 2003.
Dalam upaya pelucutan senjata Irak, Amerika Serikat berhasil membujuk Dewan Keamanan PBB untuk mengadopsi sebuah resolusi yang berujung pada pengerahan Tim Inspeksi Senjata PBB (UNSCOM, Komite Khusus PBB) ke Irak. Invasi AS berlangsung hanya beberapa hari, tetapi melumpuhkan Irak secara politik, ekonomi, dan keamanan.
Delapan tahun setelah serangan tersebut, Irak belum sepenuhnya pulih meskipun ada bantuan signifikan dari negara-negara Barat. Sebanyak 84% universitas di Irak hancur, sekolah-sekolah dibakar, dan museum arkeologi, situs bersejarah, perpustakaan, serta arsip dijarah.
Setelah penggulingan pemerintahan Saddam Hussein pada tahun 2003, Amerika Serikat dan sekutu koalisinya membentuk Otoritas Sementara Koalisi (CPA) yang dipimpin oleh seorang diplomat senior Amerika. Pada bulan Juli, CPA menunjuk 25 anggota Dewan Pemerintahan Irak (IGC) untuk menjalankan fungsi pemerintahan terbatas atau konstitusi sementara.
IGC kemudian menyetujui konstitusi sementara pada Maret 2004, yang diikuti dengan pengesahan konstitusi permanen melalui pemungutan suara nasional pada Oktober 2005. Dokumen konstitusi ini menetapkan Irak sebagai negara federal dengan otoritas terbatas (seperti pertahanan, politik luar negeri, dan peraturan bea cukai) yang berada di bawah kendali pemerintah nasional.
Konstitusi tersebut dalam banyak hal mencerminkan kerangka kerja demokrasi parlementer yang cukup umum. Presiden berperan sebagai kepala negara, sedangkan perdana menteri menjadi kepala pemerintahan. Konstitusi juga mengatur keberadaan dua badan legislatif, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (Majlis al-Nawwāb) dan Dewan Persatuan (Majlis al-Ittiḥād), serta peradilan yang bebas dan independen dari lembaga eksekutif maupun legislatif.
Salah satu masalah penting di kawasan Timur Tengah adalah konflik sektarian di Irak. Masalah ini seharusnya diselesaikan dengan pendekatan Islam. Dalam sejarah gemilang umat Islam, Irak (Baghdad) pernah menjadi ibu kota Khilafah Abbasiyah dan pusat ilmu pengetahuan. Setelah kehancuran akibat serangan tentara Mongol, Khilafah Abbasiyah runtuh, tetapi kemudian Khilafah Utsmaniyah bangkit menjadi kekuatan besar. Irak pun menjadi salah satu provinsi di bawah naungan institusi politik global tersebut hingga pecahnya Perang Dunia I.
Oleh karena itu, solusi sektarian antara Sunni dan Syiah di Irak adalah Khilafah. Hanya sistem pemerintahan Islam yang mampu menghilangkan sekat-sekat sektarian serta fanatisme buta di tengah-tengah umat Muslim. Keberadaan seorang khalifah sebagai pemimpin yang mempersatukan umat Islam dunia, menjalankan hukum Allah, dan membawa keberkahan jauh lebih baik dibandingkan kepemimpinan yang meninggalkan aturan Allah dan Nabi Muhammad SAW.
Oleh: Ramadhan Maulana
Direktur Eksekutif PELITA