TintaSiyasi.id -- Tren beragam ucapan menarik dalam rangka 'Hari Anak Sedunia' membludak diberbagai platfrom media sosial.
Melansir dari laman United Nations in Indonesia atau Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), bahwa hari anak sedunia pertama kali diperingati 20 November tahun 1954 secara global dan bersifat universal. Berlandaskan kesadaran terhadap kondisi anak-anak usai Perang Dunia II sangat memprihatinkan, (20/11/23).
Sehingga, sangat relate ketika tren orang tua hari ini, memberikan ucapan kepada anaknya, sebagai simbol kasih sayang, untaian doa, serta harapan untuk masa depan.
Ironis, dunia seakan tidak memihak kepada anak-anak di Baitul Maqdis (Palestina). Seluruh orang tua di belahan dunia dengan suka rela merayakan Hari Anak Sedunia atau World Children Day, namun tidak untuk Baitul Maqdis.
Taufan al-Aqsa sudah berjalan setahun lebih, namun ajakan perubahan seakan hanya harapan. Padahal lebih dari 42.847 nyawa syahid dalam penjajahan. Zionis Laknatullah membabi buta dengan serangan brutal, baik dari darat maupun udara. Warga Baitul Maqdis memiliki status state less, sehingga wajar bahwa Zionis melakukan genosida secara bengis dan keji, karena memang warga Baitul Maqdis dianggap sebagai binatang.
Tragis membuat hari teriris, seharusnya seluruh warga Baitul Maqdis bisa mendapatkan hak yang sama di mata hukum, namun ternyata dunia hanya mengecam. Hak Asasi Manusia (HAM) juga hanya retorika belaka, kebebasan dan kesejahteraan yang dilindungi HAM berlaku untuk semua orang, kecuali warga Baitul Maqdis.
Kebebasan warga Baitul Maqdis tidak bisa berharap kepada PBB ataupun mencukupkan bantuan donasi, dan boikot prodak yang terafiliasi dengan Zionis.
Lebih dari puluhan ribu jiwa turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasinya terhadap para penguasa negeri Muslim, namun rasanya belum membawa perubahan signifikan. Mereka konsisten berkiblat kepada sistem togut. Sejatinya menyandarkan solusi kepada PBB merupakan ketidakpastian dan penghianatan.
Sehingga perlu sekali mempelajari rangkaian panjang sejarah Baitul Maqdis. Kamu akan menemukan fakta mengejutkan bahwa yang menjembatani berdirinya negara Zionis adalah Inggris dan Prancis setelah PD I, karena pada tahun 1914 Daulah Turki Ustmani dinyatakan kalah telak dalam PD I.
Pasca PD I, tahun 1916 Inggris dan Perancis menandatangani perjanjian Sykes-Picot, yang berisi pembagian wilayah Daulah Turki Ustmani yang diserahkan kepada sekutu, mulailah penderitaan warga Baitul Maqdis, sedangkan wilayah negeri Muslim lainnya disibukkan dengan rasa nasionalisme.
Akhirnya, pada tahun 1948 setelah PD II, Amerika Serikat memberikan legitimasi kepada Zionis sebagai negara Isrewel, sehingga pencaplokan wilayah dimulai, sampai detik ini.
Sungguh, nyata di depan mata bahwa hari ini sejarah kaun Muslim dikubur dan kaburkan. Ketika kita salah memaknai sejarah, tentu kita akan salah dalam mengambil langkah untuk melakukan perubahan atau membangun peradaban.
Ketika kita bercermin bagaimana Khalifa Umar bin Khattab dan Sayyidina Salayudiin al-Ayubi membebaskan Baitul Maqdis, kita akan mendapati bahwasanya pembebasan itu bisa dilaksanakan ketika wibawa kaum Muslimin itu kembali seperti masa kegemilangan Islam.
Wibawa itu akan kembali, bersamaan ketika Islam diterapkan di tengah-tengah umat, bukan hanya sekedar sebagai agama, namun sekaligus sebagai dasar peradaban besar. Artinya Islam diterapkan sebagai mabda, karena Islam terdiri dari seperangkat aturan yang sangat lengkap untuk memecahkan seluruh problematika kehidupan, dan aturan ini datangnya dari Allah, atau bisa dikatakan sudah standarisasi sesuai panduan Sang Pencipta.
Wallahu'alam Bissowab []
Oleh: Novita Ratnasari
Penulis Ideologis