TintaSiyasi.id -- Menangapi persoalan guru honorer di negeri ini tak kunjung selesai, Praktisi Pendidikan dari Tabayyun Center Kiai Abu Inas menegaskan bahwa penyelesaiannya harus secara sistemis.
"Untuk mengakhiri persoalan guru honorer penyelesaiannya harus sistemis. Tidak bisa dari sudut pandang gurunya itu sendiri, tidak bisa hanya dari sudut pandang lembaga, yang bersangkutan memang kedua-duanya bisa problematik," ungkapnya dalam Akhiri Derita Guru Honorer di kanal YouTube Khilafah News, Kamis (24/10/2024).
Lebih lanjut, dia menjelaskan dua aspek yang perlu diperhayikan dalam persoalan guru. Pertama, dilihat dari komitmen guru itu sendiri sebetulnya sesuatu yang bagus dan perlu diapresiasi bahwasanya mereka memiliki keikhlasan, kesabaran, pengabdian, jiwa pengabdian yang tinggi dan sebagainya.
"Namun jika dilihat dari lembaga yang menaungi mereka ini memang indikasi adanya eksploitasi. Memanfaatkan jargon-jargon agama bahwa namanya orang mengabdi di bidang pendidikan itu harus ikhlas, harus sabar dan sebagainya. Ini indikasi ke sana (eksploitasi) itu ada. Nah bagaimana ini muncul itu karena memang umat Islam khususnya di dunia pendidikan itu masih ada masalah di dalam menerapkan akad kerja," paparnya.
Dia menekankan hubungan antara guru dan lembaga yang menaunginya (sekolah) itu sebetulnya akadnya kerja yang harus betul-betul diperjelas.
Kedua, dari sisi pelaksanaan akad. Persoalan akad, seringkali ada kendala dari kedua belah pihak. Misalkan guru honorer sudah di akad satu bulan gajinya satu juta, maka dari sisi akad ketika ini sudah disepakati oleh kedua belah pihak, maka kedua-duanya memang harus konsisten pada akad yang telah disepakati bersama.
"Sayangnya jika dilihat dari kenyataan kehidupan yang sebenarnya gaji sagu juta itu yang bisa apakah cukup untuk memenuhi kebutuhan yang bersangkutan? Ini memerlukan studi-studi yang lebih komprehensif sehingga bisa menggambarkan sebetulnya berapa kebutuhan hidup seseorang itu bisa terpenuhi dengan gajinya," urainya.
Dari sisi penerapannya di lapangan, ia mengatakan kadang-kadang memang guru yang bersangkutan juga ada masalah. Kemudian lembaga yang bersangkutan juga ada masalah. Jadi di luar persoalan akad tadi itu yang memang kadang-kadang memang tidak jelas dan ada indikasi dari lembaga itu memanfaatkan akad ini sengaja diambangkan yang penting ngajar yang penting itu harus ikhlas dan seterusnya.
Pendidikan dalam Islam
Ia menjelaskan kalau pendidikan Islam, negara menetapkan bahwa tujuan pendidikan untuk membangun kepribadian yang Islami, yakni aqliyah yang Islamiyah, pemikirannya Islami dan pola jiwa dan pola tingkah lakunya juga islami. Selain itu juga harus menguasai sains dan teknologi yang dibutuhkan dalam kehidupan.
"Nah kalau targetnya untuk itu, maka negara kan otomatis harus mempersiapkan segala sesuatunya. Pertama gurunya. Gurunya harus mempunyai kompetensi untuk mendidik. Harus mempunyai kompetensi personal. Harus mempunyai kompetensi profesional dan seterusnya. Untuk menunjang itu semua negara harus menjamin kesejahteraan mereka, enggak bisa tidak," jelasnya.
Ia bandingkan gaji guru pada masa kejayaan Islam dengan masa sekarang. Jika dibandingkan dengan masa kejayaan Islam dulu, Khalifah Umar bin Khattab itu pernah menggaji guru itu 15 dinar.
"Sayangnya ya di negeri kita ini, perhatian untuk ke pendidikan itu masih belum ideal. Sudah begitu, sumber dana yang katanya 20 persen dari dari APBN itu digunakan untuk pendidikan ternyata pada kenyataan di lapangan juga masih bolong-bolong gitu. Sehingga dari sisi penyediaan gurunya, dari sisi menjamin kesejahteraan gurunya bermasalah, dari sisi menyediakan fasilitasnya juga bermasalah," pungkasnya.[] Alfia Purwanti