TintaSiyasi.id—Rusaknya hati adalah tema penting dalam kajian Islam, khususnya dalam ilmu tasawuf dan akhlak. Banyak ulama membahas sebab-sebab yang bisa merusak hati, karena hati yang rusak akan mempengaruhi amal perbuatan dan kehidupan seseorang. Dalam ajaran Imam al-Ghazali dan ulama-ulama lainnya, hati yang rusak bisa menjadi sumber dari berbagai dosa dan kelalaian.
Berikut adalah enam hal yang sering disebutkan sebagai penyebab rusaknya hati:
1. Berbuat Dosa secara Berulang-ulang
Dosa yang dilakukan terus-menerus tanpa taubat akan menutupi hati dengan kegelapan. Setiap dosa yang tidak diiringi dengan penyesalan dan taubat meninggalkan bekas hitam di hati, sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW:
"Sesungguhnya seorang mukmin apabila berbuat dosa, akan timbul satu titik hitam di hatinya. Jika dia bertaubat, meninggalkan dosa tersebut, dan meminta ampun, hatinya kembali bersih. Namun, jika dia menambah dosanya, maka titik hitam tersebut akan terus bertambah sampai menutupi hatinya." (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Dosa yang dibiarkan terus terjadi akan membuat hati menjadi keras dan sulit menerima kebenaran.
2. Terlalu Banyak Berinteraksi dengan Manusia tanpa Alasan yang Bermanfaat
Terlalu banyak bergaul atau berinteraksi dengan manusia, terutama dalam urusan yang tidak bermanfaat, dapat menyibukkan hati dari mengingat Allah SWT. Ketika seseorang terlalu sibuk dengan urusan duniawi dan tidak memiliki waktu untuk merenung atau beribadah, hati akan terjauh dari Allah dan menjadi keras. Interaksi sosial memang diperlukan, tetapi jika berlebihan dan tanpa arah yang baik, hal ini bisa menyebabkan lalai dari mengingat Allah.
3. Terlalu Banyak Berbicara
Banyak bicara tanpa faedah atau tanpa keperluan dapat merusak hati. Ucapan yang tidak perlu, seperti bergosip, mengumpat, atau membicarakan hal-hal yang sia-sia, bisa mengeraskan hati. Rasulullah SAW bersabda:
"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam" (HR. Bukhari dan Muslim).
Terlalu banyak bicara juga membuat seseorang lebih rentan terjatuh dalam dosa lisan, seperti berdusta, mengadu domba, atau menyakiti perasaan orang lain.
4. Terlalu Banyak Makan
Makan berlebihan, terutama dari yang haram atau syubhat, dapat merusak hati dan membuat seseorang malas untuk beribadah. Hati yang dipenuhi oleh nafsu makan akan lebih sibuk memikirkan kepuasan jasmani daripada kesucian rohani. Dalam Islam, menjaga pola makan dan menghindari berlebih-lebihan dalam hal ini sangat dianjurkan. Rasulullah SAW bersabda:
"Tidak ada wadah yang diisi oleh manusia yang lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap yang bisa menegakkan tulang punggungnya" (HR. Tirmidzi).
5. Terlalu Banyak Tidur
Tidur yang berlebihan mengakibatkan kemalasan dan kelalaian dalam beribadah. Terlalu banyak tidur membuat hati menjadi tumpul, sulit menerima nasihat, dan lebih cenderung mengikuti hawa nafsu. Seorang Muslim dianjurkan untuk memiliki pola tidur yang seimbang dan tidak berlebihan agar hati tetap hidup dan semangat untuk beribadah.
6. Cinta Dunia Secara Berlebihan
Kecintaan yang berlebihan terhadap dunia, harta, kedudukan, atau kemewahan dapat menghalangi seseorang dari mengingat Allah dan merusak hati. Ketika seseorang terlalu terikat dengan dunia, ia akan sulit untuk fokus pada kehidupan akhirat, yang sebenarnya merupakan tujuan hidup yang sejati. Rasulullah SAW bersabda:
"Cinta dunia adalah pangkal dari segala kesalahan" (HR. Baihaqi).
Cinta dunia menyebabkan seseorang lupa akan kematian dan kehidupan setelahnya, serta membuatnya terjerumus dalam perbuatan yang haram demi meraih kesenangan dunia.
Kesimpulan:
Enam hal di atas adalah penyebab utama yang merusak hati, mengeraskan hati, dan menjauhkan seseorang dari Allah SWT. Untuk menjaga hati tetap hidup, seorang Muslim perlu selalu:
• Bertaubat dari dosa-dosa,
• Menjaga lisannya,
• Mengatur waktu tidurnya,
• Tidak berlebihan dalam makan,
• Menghindari cinta dunia secara berlebihan, dan
• Membatasi interaksi yang tidak bermanfaat.
Dengan menjaga hati dari hal-hal yang merusaknya, seseorang akan lebih mudah mendekatkan diri kepada Allah, mendapatkan ketenangan batin, dan mencapai kebahagiaan yang sejati, baik di dunia maupun di akhirat.
Sengaja berbuat dosa dengan harapan kelak taubatnya diterima. Mempunyai Ilmu, namun enggan mengamalkannya. Beramal namun tidak ikhlas. Ini juga penyebab rusaknya hati menurut Hasan al-Bashri.
Menurut Hasan al-Bashri, seorang tabi'in yang terkenal dengan keilmuan, kesalehan, dan kebijaksanaannya, ada beberapa sikap yang secara langsung merusak hati, yang memperlihatkan kelemahan iman dan ketidakpedulian terhadap pengawasan Allah SWT. Berikut adalah penjelasan tiga hal yang kamu sebutkan yang juga menjadi sebab rusaknya hati menurut Hasan al-Bashri:
1. Sengaja Berbuat Dosa dengan Harapan Kelak Taubatnya Diterima
Sengaja melakukan dosa dengan berdalih akan bertaubat di kemudian hari adalah sikap yang sangat berbahaya bagi hati. Orang yang berpikiran seperti ini sebenarnya sedang menipu dirinya sendiri. Mereka menganggap bahwa mereka memiliki kendali penuh atas waktu hidup mereka, padahal tidak ada yang tahu kapan ajal akan tiba. Berbuat dosa secara sengaja dan menunda taubat menunjukkan kelemahan rasa takut kepada Allah dan ketidakseriusan dalam menjalankan agama.
Hasan al-Bashri berkata, “Taubat tidaklah sekadar berjanji, melainkan harus diiringi dengan perbuatan nyata.” Menunda taubat dengan alasan "nanti" menandakan seseorang tidak sungguh-sungguh dalam memurnikan hatinya dari dosa.
Allah SWT mengingatkan dalam Al-Qur'an bahwa taubat itu harus dilakukan segera:
"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi" (QS. Ali Imran: 133).
Sikap meremehkan dosa dan beranggapan bahwa taubat nanti pasti diterima bisa mengeraskan hati dan membuat seseorang terjerumus lebih dalam dalam kemaksiatan, karena tidak ada jaminan bahwa kesempatan untuk bertaubat akan selalu ada.
2. Mempunyai Ilmu, namun Enggan Mengamalkannya
Memiliki ilmu tanpa mengamalkannya adalah salah satu bentuk pengkhianatan terhadap ilmu itu sendiri. Dalam pandangan Islam, ilmu yang benar adalah ilmu yang bermanfaat, yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu yang tidak diamalkan akan menjadi sebab rusaknya hati karena:
• Seseorang tahu kebenaran, namun tidak menjalankannya,
• Hati akan menjadi keras karena tidak ada keterikatan antara ilmu dan amal.
Hasan al-Bashri sering mengingatkan bahwa ilmu tanpa amal adalah salah satu bentuk kesombongan terselubung. Ilmu seharusnya menjadi penerang bagi hati, namun jika tidak diamalkan, ilmu tersebut justru menjadi beban dan tidak membawa keberkahan. Allah SWT mengecam mereka yang memiliki ilmu tetapi tidak mengamalkannya, seperti dalam firman-Nya:
"Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya kitab Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya, adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal" (QS. Al-Jumu'ah: 5).
Ilmu yang tidak diamalkan juga bisa mengakibatkan seseorang merasa dirinya hebat karena memiliki pengetahuan, tetapi hatinya tetap jauh dari ketaatan kepada Allah.
3. Beramal namun Tidak Ikhlas
Amal yang dilakukan tanpa ikhlas adalah amal yang tidak diterima oleh Allah SWT. Ikhlas adalah syarat utama diterimanya amal ibadah dalam Islam. Beramal karena ingin dipuji, mendapatkan penghargaan dari manusia, atau demi keuntungan duniawi lainnya akan merusak hati. Amal yang tidak ikhlas juga membuat seseorang jatuh dalam riya' (pamer) dan sum'ah (mencari pujian), yang semuanya adalah bentuk penyakit hati.
Hasan al-Bashri berkata, “Sesungguhnya Allah tidak menerima amalan kecuali yang ikhlas untuk-Nya dan yang dicari dengannya ridha-Nya.” Orang yang beramal tetapi tidak ikhlas akan merasa gelisah dan tidak tenang, karena tujuannya hanya untuk meraih kedudukan di mata manusia, bukan mencari ridha Allah. Amal seperti ini pada hakikatnya tidak memberikan manfaat rohani dan hanya menjadi beban bagi hati.
Allah SWT berfirman:
"Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama" (QS. Al-Bayyinah: 5).
Amal tanpa ikhlas membuat hati seseorang terikat pada dunia, sehingga ia tidak akan merasakan ketenangan dan kebahagiaan sejati yang berasal dari amal yang dilakukan hanya karena Allah.
Kesimpulan:
Menurut Hasan al-Bashri, rusaknya hati disebabkan oleh sikap dan perbuatan yang jauh dari kesadaran dan ketulusan dalam menjalankan agama. Tiga hal di atas — sengaja berbuat dosa dengan harapan akan bertaubat, memiliki ilmu namun tidak mengamalkannya, dan beramal tanpa ikhlas — adalah contoh konkret dari bentuk-bentuk kelalaian yang merusak hati. Seseorang harus:
• Segera bertaubat setelah melakukan dosa,
• Mengamalkan ilmu yang dimiliki dengan penuh ketundukan kepada Allah,
• Beramal dengan ikhlas, hanya mengharapkan ridha Allah.
Dengan demikian, hati akan terhindar dari kerusakan, dan seorang Muslim dapat menjalani kehidupan yang penuh berkah dan ridha dari Allah SWT.
Lanjut beliau, " Memakan Rezeki Allah, namun tidak mensyukurinya. Tidak ridha dengan pemberian Allah. Mengubur Jenazah, namun enggan mengambil pelajaran dari kematian mereka. "
Hasan al-Bashri, sebagai seorang tabi'in yang sangat dihormati, dikenal dengan nasihat-nasihatnya yang dalam dan menyentuh hati tentang keimanan, ketakwaan, dan kehidupan akhirat. Tiga poin ini — memakan rezeki Allah namun tidak mensyukurinya, tidak ridha dengan pemberian Allah, dan mengubur jenazah namun enggan mengambil pelajaran dari kematian — adalah tambahan dari sebab-sebab yang beliau sebutkan sebagai perusak hati dan sumber kelalaian dalam hidup manusia. Berikut penjelasannya:
1. Memakan Rezeki Allah, Namun Tidak Mensyukurinya
Rezeki adalah karunia yang Allah SWT berikan kepada semua makhluk-Nya, baik yang taat maupun yang lalai. Namun, salah satu tanda hati yang rusak adalah tidak mensyukuri nikmat dan rezeki yang Allah berikan. Makan dari rezeki Allah, tetapi tidak menyadari bahwa itu semua adalah pemberian-Nya, membuat hati menjadi lalai dan jauh dari rasa terima kasih kepada-Nya.
Mensyukuri nikmat Allah adalah perintah langsung dari Allah dalam Al-Qur'an:
"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur" (QS. An-Nahl: 78).
Hasan al-Bashri mengingatkan bahwa nikmat Allah yang tidak disyukuri akan membawa pada kesombongan dan kelalaian. Hati akan menjadi keras dan tidak merasakan ketenangan, karena tidak sadar bahwa semua kebaikan yang dimiliki berasal dari Allah. Ketika seseorang makan dari rezeki Allah namun tidak mensyukurinya, ia akan:
• Merasa semua itu adalah hasil usahanya sendiri,
• Terus menginginkan lebih tanpa rasa puas,
• Tidak menggunakan nikmat itu untuk kebaikan atau beribadah kepada Allah.
Mensyukuri nikmat, baik dengan hati, lisan, dan perbuatan, akan menjaga hati tetap lembut dan sadar bahwa segala yang dimiliki adalah karunia Allah. Tidak mensyukuri nikmat adalah salah satu bentuk pengkhianatan terhadap nikmat Allah, yang dapat menarik murka-Nya.
2. Tidak Ridha dengan Pemberian Allah
Ketidakridhaan terhadap takdir dan pemberian Allah adalah salah satu sifat yang sangat merusak hati. Orang yang tidak ridha dengan apa yang Allah berikan akan selalu merasa gelisah, tidak puas, dan iri hati terhadap orang lain. Mereka tidak melihat hikmah dan kebaikan di balik setiap ketentuan Allah, bahkan cenderung menyalahkan Allah ketika menerima sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan mereka.
Hasan al-Bashri sering mengingatkan pentingnya ridha terhadap takdir Allah, karena ridha adalah salah satu pilar dari iman kepada qadha dan qadar. Allah SWT berfirman:
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui" (QS. Al-Baqarah: 216).
Orang yang tidak ridha dengan pemberian Allah akan selalu merasa kurang, mengeluh, dan hatinya dipenuhi dengan kegelisahan. Hati yang tidak ridha cenderung menolak kebenaran dan menolak hikmah di balik segala sesuatu yang Allah takdirkan. Hal ini mengeraskan hati dan menjauhkan seseorang dari kedekatan dengan Allah. Sebaliknya, ridha kepada Allah membuat hati menjadi tenang dan penuh dengan rasa syukur.
3. Mengubur Jenazah, Namun Enggan Mengambil Pelajaran dari Kematian
Kematian adalah pelajaran besar bagi setiap manusia, karena kematian mengingatkan kita tentang keterbatasan kehidupan dunia dan bahwa setiap jiwa pasti akan meninggalkan dunia ini. Namun, hati yang keras dan lalai tidak mengambil pelajaran dari kematian, meskipun sering melihat orang-orang di sekelilingnya meninggal. Mengubur jenazah tanpa mengambil pelajaran dari kematian adalah tanda bahwa hati seseorang telah tertutup dari peringatan Allah.
Hasan al-Bashri sering menekankan pentingnya mengingat kematian sebagai cara untuk menjaga hati tetap hidup dan terjaga dari kelalaian dunia. Rasulullah SAW bersabda:
"Perbanyaklah mengingat penghancur kenikmatan, yaitu kematian" (HR. Tirmidzi).
Orang yang tidak mengambil pelajaran dari kematian cenderung:
• Melupakan tujuan hidup yang sejati,
• Terjebak dalam kecintaan dunia yang berlebihan,
• Tidak mempersiapkan diri untuk akhirat, dan
• Menunda-nunda taubat serta perbaikan diri.
Kematian seharusnya menjadi peringatan bagi kita untuk segera bertaubat, memperbaiki diri, dan meningkatkan amal saleh. Orang yang melihat kematian namun tetap lalai menunjukkan bahwa hatinya telah menjadi keras dan sulit menerima peringatan.
Kesimpulan:
Hasan al-Bashri dengan sangat jelas menggambarkan bagaimana hati bisa menjadi rusak dan keras akibat kelalaian dalam menjalankan ajaran Islam. Memakan rezeki tanpa bersyukur, tidak ridha dengan pemberian Allah, dan tidak mengambil pelajaran dari kematian adalah tanda-tanda hati yang telah tertutup oleh kecintaan dunia dan jauh dari Allah. Untuk menjaga hati tetap hidup dan bersih, seorang Muslim harus:
• Mensyukuri setiap nikmat yang Allah berikan,
• Ridha terhadap takdir dan pemberian Allah, baik dalam kondisi senang maupun sulit,
• Mengambil pelajaran dari kematian, mengingat bahwa kehidupan dunia ini sementara, dan persiapan untuk akhirat harus menjadi prioritas.
Dengan menjaga hati dari hal-hal yang merusaknya, seseorang akan lebih mudah mendekat kepada Allah SWT, menjalani hidup dengan penuh keberkahan, dan siap menghadapi akhirat dengan hati yang bersih.
Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo