TintaSiyasi.id -- Merespons wacana Presiden Prabowo Subianto akan putihkan utang 5-6 juta petani dan nelayan yang tidak mampu membayar sehingga bisa kembali memiliki hak pinjam ke perbankan, Pengamat Ekonomi Nida Sa'adah melihat bahwa sebenarnya ada problem besar dalam penyediaan kebutuhan pokok petani dan nelayan.
"Sebetulnya kita lihat ada problem besar ya. Kalau bicara lebih lanjut ada problem besar dalam penyediaan kebutuhan pokok para petani dan nelayan yang kalau kita bandingkan dengan perundang-undangan atau regulasi di dalam syariah kafah yang dicontohkan oleh Nabi kita, dilanjutkan oleh para khalifah sepeninggal Rasulullah," tuturnya kepada Tintasiyasi.id, Senin, (29/10/ 2024).
Karena itu, pemutihan utang petani dan nelayan yang akan dilakukan Prabowo ini menurutnya, mestinya dipandang bukan hanya soal utang yang diputihkan, tetapi persoalannya justru mengapa sampai mereka bisa punya utang yang sedemikian banyak, padahal sudah bisa dipastikan tidak mampu membayar. Sebab, jika menurut Islam, lanjutnya, sejak awal bagi masyarakat yang terkategori tidak mampu membayar akan diberikan hibah, tanpa harus mengembalikan.
"Jadi kalau bicara ini adalah hak yang semestinya sudah didapatkan tanpa harus berkasus terlebih dahulu. Iya itu kalau di dalam Islam," ungkapnya.
Problem yang tidak kalah krusial dari rencana pemutihan utang petani dan nelayan ini menurutnya terletak pada filosofi pemutihan utang yang dimaksudkan agar mereka bisa mengajukan pinjaman kembali ke bank. Padahal ketidakmampuan itu justru menunjukkan mereka masuk kategori yang mesti diberi hibah cuma-cuma.
"Wong sudah jelas-jelas mereka dalam kategori tidak mampu. Kemudian, solusinya diberikan pinjaman lagi?," imbuhnya.
Lebih lanjut ia menilai, persoalan bertambah lagi karena yang menjadi penyebab petani dan nelayan tidak bisa mengembalikan lantaran utang yang mereka ambil dari lembaga keuangan itu berbunga. Sementara dalam Islam, tambahan terhadap jumlah pokok pinjaman itu disebut riba yang hukumnya haram.
"Itu haram. Baik pelakunya, yang memberikan, yang mencatat, yang menjadi saksi atas transaksi pinjam-meminjam ribawi itu, semuanya terkena dosanya riba. Dan kalau bicara riba, sanksinya sangat keras dalam Islam. Tidak ada keberkahan sama sekali di dalamnya," tegasnya.
Pandamgan Islam
Ia menerangkan, menurut pandangan Islam, petani dan nelayan berhak mendapatkan bantuan sarana dan prasarana produksi. Di era modern saat ini, hibah kepada petani menurutnya bisa dalam bentuk hibah benih, pupuk ataupun irigasi bagi yang membutuhkan pengairan jika tidak dari tadah hujan. Bagi nelayan, negara mengatur distribusi energi dengan baik agar mudah pemanfaatannya. Akan tetapi, dalam hal energi ini tidak bisa dikatakan sebagai hibah karena pada dasarnya energi menjadi hak nelayan, sebab energi termasuk harta milik masyarakat luas (kepemilikan umum), negara hanya bertugas mengeksplorasinya kemudian mendistribusikannya kembali ke masyarakat luas.
Dia menhelaskan bahwa dalam Islam, masyarakat yang sebenarnya termasuk penggerak roda perekonomian tetapi ketika dalam menjalankan aktivitas ekonominya jelas-jelas tidak bisa mengembalikan pinjaman, maka khalifah (kepala negara) tidak akan memberikan jatuh tempo pembayaran, bahkan mereka terkategori berhak mendapatkan hibah sebagaimana telah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab.
"Kalau sudah sampai tidak bisa mengembalikan bantuan modal awalnya, itu sudah jelas-jelas indikator. Kalau Khalifah Umar bahkan tidak memberikan jatuh tempo terhadap bantuan itu. Jadi bisa dikatakan justru ini hibah kepada kalangan-kalangan yang seperti ini," ujarnya.
Lebih lanjut ia menerangkan, dalam sistem Islam, Khalifah Umar bin Khattab melakukan kategorisasi, bagi kalangan yang berpotensi mampu mengembalikan, diberikan bantuan dari Baitulmal dalam bentuk pinjaman, sedangkan bagi kalangan yang tidak mampu mengembalikan, mereka diberi hibah, bukan pinjaman.
"Jadi kalau membayangkan, khilafah era kini, era abad teknologi IT (informasi dan telekomunikasi), itu mungkin nanti ada tempat-tempat tertentu yang diatur di mana para nelayan itu bisa mengambil sumber energi tadi semacam solar, dsb. Yang mereka butuhkan untuk melaut itu diatur supaya tidak terjadi kekacauan atau orang mengambil temanya sendiri," terangnya.
Harus Ditata Ulang
Langkah yang dilakukan untuk menyelamatkan para petani dan nelayan ini menurutnya ialah dengan menata ulang, bukan hanya dari aspek bantuan pinjaman modal, tetapi pada semua aspeknya menggunakan sistem Islam.
"Semuanya harus ditata ulang, diatur, diregulasi dengan menggunakan aturan yang berasal dari syariah Islam kafah," ujarnya.
Ia menyebutkan, dengan sistem Islam, negara akan memiliki pemasukan yang besar sehingga bisa memberikan bantuan kepada petani dan nelayan yang membutuhkan dengan cuma-cuma.
"Gunakan sistem keuangan negara yang diajarkan oleh Islam yang disebut dengan sistem Baitul Mal, sehingga negara akan memiliki pemasukan yang sangat besar, bahkan bisa memberikan bantuan apa pun yang dibutuhkan petani dan nelayan itu secara cuma-cuma karena memang sudah menjadi hak mereka," ungkapnya.
Dengan sistem Islam, negara tidak kebingungan mencari sumber dana karena tersedia di dalam Baitulmal dari kepemilikan umum, kepemilikan negara, dan zakat mal kepemilikan individu.
"Jadi sebetulnya solusi persoalan ini tuh sangat mudah kalau mau melaksanakan syariat Islam. Sulitnya itu adalah apakah semua pihak memiliki cara pandang yang sama tentang bermasyarakat, bernegara yang hanya akan berjalan dengan baik jika menggunakan aturan yang berasal dari Rab kita yang sangat sempurnanya, dan di akhirat pun kita akan mendapatkan keselamatan karena kita terbukti taat kepada Allah Swt. sepanjang kita hidup di dunia ini," pungkasnya.[] Saptaningtyas