TintaSiyasi.id -- Deputi Protokol dan Media Sekretariat Presiden Yusuf Permana menyatakan bahwa dukungan dan kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Jokowi serta kebijakan-kebijakan yang telah diimplementasikan selama ini cukup tinggi.
Terlihat pada hasil survei Indikator Politik Indonesia yang mencapai 75 persen. Apakah benar adanya?
Di tengah berbagai penilaian positif yang mengklaim bahwa pemerintah berkinerja baik dalam mengurus rakyat, terdapat realitas yang tidak dapat diabaikan.
Penilaian semacam itu sering kali merupakan bentuk pencitraan yang tidak mencerminkan kondisi nyata yang dihadapi oleh masyarakat. Meskipun pemerintah berusaha menunjukkan citra positif melalui berbagai program dan inisiatif, kenyataannya, banyak persoalan mendasar masih menghantui kehidupan sehari-hari masyarakat.
Pencitraan ini bukan hanya menutupi masalah yang ada, tetapi juga mengelabui rakyat, membuat mereka percaya bahwa segala sesuatunya berjalan dengan baik, padahal banyak kebijakan pemerintah yang lebih berpihak pada oligarki daripada pada kepentingan rakyat.
Ketidakpuasan di Kalangan Rakyat
Satu aspek yang perlu diperhatikan adalah bagaimana pemerintah mengelola informasi dan membangun citra positif. Masyarakat sering kali disuguhkan dengan statistik dan laporan yang menunjukkan kemajuan, seperti penurunan angka kemiskinan atau pertumbuhan ekonomi.
Namun, di balik angka-angka tersebut, banyak orang yang masih merasakan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Kenaikan harga barang dan biaya hidup yang semakin tinggi, ditambah dengan kebijakan-kebijakan yang dianggap merugikan, seperti kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan pembatasan subsidi BBM, semakin memperburuk situasi. Kebijakan-kebijakan ini sering kali diambil tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat kecil.
Kenaikan PPN, misalnya, berdampak langsung pada daya beli masyarakat, terutama bagi mereka yang berada di lapisan bawah. Ketika pemerintah mengumumkan kenaikan pajak, sering kali tidak diimbangi dengan langkah-langkah yang dapat meringankan beban rakyat.
Begitu juga dengan pembatasan subsidi BBM, yang menyebabkan masyarakat harus membayar lebih untuk kebutuhan transportasi dan barang-barang lainnya. Kebijakan semacam ini mencerminkan keberpihakan pemerintah pada kelompok-kelompok tertentu, yaitu oligarki, dan bukan pada rakyat secara umum.
Begitu juga dengan pencitraan yang selama ini dilakukan oleh pemerintah sering kali berfungsi sebagai alat manipulasi untuk mengalihkan perhatian publik dari masalah-masalah yang lebih serius.
Dengan menciptakan citra positif, pemerintah berusaha meyakinkan rakyat bahwa mereka telah melakukan yang terbaik untuk kesejahteraan masyarakat. Namun, ini berpotensi menjadi bumerang, karena masyarakat yang semakin kritis dan sadar akan kondisi di lapangan mulai meragukan kejujuran dari citra yang dipertontonkan.
Ketidakpuasan ini dapat menimbulkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah, dan pada akhirnya dapat mengganggu stabilitas sosial.
Negara sebagai Pengurus Rakyat dalam Islam
Dalam pandangan Islam, negara seharusnya berfungsi sebagai ra’in atau pengurus rakyat dalam berbagai aspek kehidupan. Islam menekankan pentingnya keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.
Negara yang baik diharapkan memiliki aparat yang profesional, handal, dan amanah dalam menjalankan tugas mereka serta memiliki ketakwaan kepada Allah. Aparat negara bukan hanya sekadar pelaksana kebijakan, tetapi juga harus menjadi teladan dalam integritas dan moralitas.
Pendidikan yang berlandaskan aqidah Islam menjadi kunci dalam menciptakan aparat negara yang berkualitas. Sistem pendidikan yang baik tidak hanya menekankan pengetahuan akademis, tetapi juga membentuk karakter dan integritas para calon pemimpin.
Dalam konteks ini, pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam dapat menghasilkan individu-individu yang tidak hanya terampil secara profesional, tetapi juga memiliki karakter muslim yang bertakwa sehngga mampu menjalankan amanah mereka.
Islam sangat menjunjung tinggi kejujuran dan transparansi. Dalam Islam, setiap individu, terutama pemimpin, diharuskan untuk bertanggung jawab atas tindakan dan keputusan yang diambil. Ada pertanggungjawaban kepada Allah yang menjadi landasan dalam menunaikan amanah, baik sebagai pemimpin maupun sebagai warga negara.
Hal ini menciptakan suasana di mana kejujuran dan integritas menjadi norma yang harus dipegang oleh setiap aparatur negara.
Dalam konteks pencitraan, Islam melarang praktik semacam itu. Pencitraan yang tidak berdasarkan pada realitas dan kejujuran hanya akan menciptakan ketidakpercayaan dan kebingungan di kalangan masyarakat.
Sebaliknya, kejujuran dan transparansi dalam pemerintahan akan membangun kepercayaan antara pemerintah dan rakyat, serta menciptakan hubungan yang harmonis dan produktif.
Selain itu untuk mewujudkan pemerintah yang berkinerja baik, kebijakan yang diambil harus benar-benar berpihak pada kesejahteraan rakyat.
Hal ini berarti bahwa setiap kebijakan harus mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya kepada kelompok tertentu. Kebijakan ekonomi yang adil dan inklusif, yang mencakup subsidi untuk barang-barang pokok dan peningkatan akses pendidikan dan kesehatan, akan membantu menciptakan masyarakat yang sejahtera.
Demikianlah Islam memberikan panduan yang jelas mengenai peran negara sebagai pengurus rakyat, dengan menekankan keadilan, kejujuran, dan tanggung jawab. Negara yang baik seharusnya berkomitmen untuk mengedepankan kepentingan rakyat dan menciptakan kebijakan yang inklusif dan adil.
Dan hanya negara yang menerapkan aturan Allah saja yang mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya tanpa ada embel-embel pencitraan.
Wallahu a’lam bishashawwab.
Oleh: Ema Darmawaty
Praktisi Pendidikan