Tintasiyasi.ID -- Ulama Al-Quds sekaligus mujtahid mutlak dan mujadid abad ke-21 Syekh Taqiyuddin An-Nabhani mengungkapkan bahwa salah satu kewajiban negara dalam Islam adalah mengusahakan rakyatnya agar bisa mendapatkan pekerjaan.
"Salah satu sebab yang bisa menjamin warga negara Islam
untuk mendapatkan kekuatannya adalah dengan bekerja. Apabila seseorang tidak
mampu bekerja, negara wajib untuk mengusahakan pekerjaan untuknya," tulisnya
dalam kitab terjemahan Sistem Ekonomi Islam, edisi Mu'tamadah, HTI
Press 2010.
Pada Bab Sebab-Sebab Kepemilikan bagian ke-3 halaman
148-151, menurut Syekh Taqiyuddin, negara adalah pengurus rakyat atau ar-ra'i,
yang bertanggung jawab atas pemenuhan segala kebutuhan hidup rakyatnya.
“Hadis Rasulullah dari riwayat Imam Bukhari dari Abdullah
ibnu Umar RA, yang artinya, ‘Imam kepala negara adalah adalah pengurus rakyat,
dia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya.’,” tulis Syekh Taqiyuddin.
Namun, jika seseorang tidak mau membuka sendiri lapangan
pekerjaan untuk dirinya atau tidak kuasa bekerja karena sakit atau terlampau
tua atau karena salah satu sebab-sebab lainnya, menurutnya, maka kehidupan
orang tersebut wajib ditanggung oleh orang yang wajib menanggung nafkahnya
menurut syariat.
“Jika tidak ada orang yang diwajibkan oleh syariat menanggung
nafkahnya atau ada akan tetapi tidak mampu, maka nafkah orang tersebut wajib
ditanggung oleh negara melalui Baitulmal, di samping hak lainnya dari Baitulmal
berupa zakat,” jelasnya.
Sebagaimana ayat Al-Qur'an yang ia kutip surat Al-Ma'arij
ayat 24-25 yang artinya, “Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian
tertentu bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai
apa-apa (yang tidak mau meminta)", lanjutnya.
Lanjut diterangkan, jika negara mengabaikan atau termasuk
lalai dalam melayani mereka yang membutuhkan dan sekelompok kaum Muslim juga
tidak berusaha mengoreksi negara yang seharusnya kaum Muslim tidak boleh lalai
dalam mengoreksi penguasa. “Maka orang yang membutuhkan tersebut boleh mengambil apa saja
yang bisa ia pergunakan untuk menyambung hidupnya, di mana pun ia temukan, baik hak milik
pribadi (private property) ataupun hak milik negara (state property),”
tulisnya.
"Dalam keadaan seperti ini, orang yang kelaparan
tersebut tidak dibolehkan makan daging bangkai yang selama di sana masih
terdapat makanan halal yang dimiliki oleh orang lain," Syekh Taqiyuddin
menjelaskan.
Sebab orang tersebut, menurut Syekh Taqiyuddin, belum terhitung terpaksa untuk makan
bangkai. Karena apa yang ia namakan masih ada, meskipun ada pada orang lain. “Apabila orang tersebut tidak mampu
mendapatkan makanan halal, maka baru dibolehkan memakan daging bangkai untuk
menyelamatkan hidupnya,” tulisnya lebih lanjut.
“Ketika hidup dianggap sebagai salah satu sebab untuk
dapatkan harta, maka syariat tidak menganggap bahwa mengambil makanan orang
lain dalam kondisi kelaparan, termasuk
dalam kategori mencuri yang pelakunya harus dipotong tangannya. ‘Tidak ada hukum potong tangan (bagi
pencuri) pada masa-masa kelaparan. Hadis riwayat Al-Khatib Al-Baghdadi.’," pungkasnya.[]
Fadhilah Fitri