Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Memberikan Pekerjaan kepada Rakyat Adalah Kewajiban Negara

Rabu, 02 Oktober 2024 | 12:44 WIB Last Updated 2024-10-02T05:44:18Z

Tintasiyasi.ID -- Ulama Al-Quds sekaligus mujtahid mutlak dan mujadid abad ke-21 Syekh Taqiyuddin An-Nabhani mengungkapkan bahwa salah satu kewajiban negara dalam Islam adalah mengusahakan rakyatnya agar bisa mendapatkan pekerjaan.

 

"Salah satu sebab yang bisa menjamin warga negara Islam untuk mendapatkan kekuatannya adalah dengan bekerja. Apabila seseorang tidak mampu bekerja, negara wajib untuk mengusahakan pekerjaan untuknya," tulisnya dalam kitab terjemahan Sistem Ekonomi Islam, edisi Mu'tamadah, HTI Press 2010.

 

Pada Bab Sebab-Sebab Kepemilikan bagian ke-3 halaman 148-151, menurut Syekh Taqiyuddin, negara adalah pengurus rakyat atau ar-ra'i, yang bertanggung jawab atas pemenuhan segala kebutuhan hidup rakyatnya.

 

“Hadis Rasulullah dari riwayat Imam Bukhari dari Abdullah ibnu Umar RA, yang artinya, ‘Imam kepala negara adalah adalah pengurus rakyat, dia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya.’,” tulis Syekh Taqiyuddin.

 

Namun, jika seseorang tidak mau membuka sendiri lapangan pekerjaan untuk dirinya atau tidak kuasa bekerja karena sakit atau terlampau tua atau karena salah satu sebab-sebab lainnya, menurutnya, maka kehidupan orang tersebut wajib ditanggung oleh orang yang wajib menanggung nafkahnya menurut syariat.

 

“Jika tidak ada orang yang diwajibkan oleh syariat menanggung nafkahnya atau ada akan tetapi tidak mampu, maka nafkah orang tersebut wajib ditanggung oleh negara melalui Baitulmal, di samping hak lainnya dari Baitulmal berupa zakat,” jelasnya.

 

Sebagaimana ayat Al-Qur'an yang ia kutip surat Al-Ma'arij ayat 24-25 yang artinya, “Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)", lanjutnya.

 

Lanjut diterangkan, jika negara mengabaikan atau termasuk lalai dalam melayani mereka yang membutuhkan dan sekelompok kaum Muslim juga tidak berusaha mengoreksi negara yang seharusnya kaum Muslim tidak boleh lalai dalam mengoreksi penguasa. Maka orang yang membutuhkan tersebut boleh mengambil apa saja yang bisa ia pergunakan untuk menyambung hidupnya, di mana pun ia temukan, baik hak milik pribadi (private property) ataupun hak milik negara (state property),” tulisnya.

 

"Dalam keadaan seperti ini, orang yang kelaparan tersebut tidak dibolehkan makan daging bangkai yang selama di sana masih terdapat makanan halal yang dimiliki oleh orang lain," Syekh Taqiyuddin menjelaskan.

 

Sebab orang tersebut, menurut Syekh Taqiyuddin, belum terhitung terpaksa untuk makan bangkai. Karena apa yang ia namakan masih ada, meskipun ada pada orang lain. “Apabila orang tersebut tidak mampu mendapatkan makanan halal, maka baru dibolehkan memakan daging bangkai untuk menyelamatkan hidupnya,” tulisnya lebih lanjut.

 

“Ketika hidup dianggap sebagai salah satu sebab untuk dapatkan harta, maka syariat tidak menganggap bahwa mengambil makanan orang lain dalam kondisi kelaparan, termasuk  dalam kategori mencuri yang pelakunya harus dipotong tangannya. Tidak ada hukum potong tangan (bagi pencuri) pada masa-masa kelaparan. Hadis riwayat Al-Khatib Al-Baghdadi.’," pungkasnya.[] Fadhilah Fitri

Opini

×
Berita Terbaru Update