TintaSiyasi.id -- Isu bahwa keuangan BUMN semakin memburuk santer menjadi pemberitaan. Sebabnya BUMN banyak utangnya dikarenakan mendapat penugasan dari pemerintah untuk membangun berbagai macam infrastruktur. BUMN karya salah satu dari BUMN yajg terancam gulung tikar karena masalah utang. Ya BUMN adalah agen pembangunan dan sekaligus tulang punggung pemerintah untuk mencari uang.
Memang dalam satu dekade terakhir banyak uang yang dikeluarkan oleh BUMN untuk membangun jalan, pelabuhan, bandara, dll. Namun penerimaan BUMN yang diperoleh tidak sesuai harapan, tidak dapat diandalkan untuk menutup kewajibannya. Harga jual barang maupun jasa yang dihasilkan oleh BUMN tersebut tidak dapat menutupi ongkos yang dikeluarkan. Akibatnya BUMN merugi. Untuk menutup pengeluaran yang semakin meningkat termasuk akibat inflasi, depresiasi mata uang dll, termasuk cash flow perusahaan, diperoleh dari utang baru. Begitu seterusnya, masalah datang utang baru lagi.
BUMN tidak dapat menaikkan harga jual produknya atau tarif layanannya dikarenakan merupakan barang publik menyangkut hajat hidup orang banyak. Jika harga produk atau tarif layanan naik maka sudah pasti rakyat yang sengsara. Tidak mampu menjangkau harga dan tarif tersebut. Apalagi sekarang ekonomi deplasi karena daya beli merosot alias masyarakat sedang kere. Jika harga barang publik atau tarif layanan naik rakyat langsung gulung tikar.
Satu satunya cara bagi BUMN adalah mengikuti langkah Pertamina dan PLN. Kedua BUMN ini diberi penugasan oleh pemerintah mendistribusikan energi bersubsidi dengan harga ditetapkan oleh pemerintah. Jika terjadi selisih harga atau harga yang ditetapkan berada di bawah harga keekonomian, maka PLN dan Pertamina diberikan kompensasi. Jika tidak ada subsidi dan kompensasi kepada Pertamina dan PLN sekarang ini maka dipastikan 100 persen kedua BUMN ini bangkrut.
Sekarang makin besar subsidi dan kompensasi maka berarti makin besar penerimaan dan pendapatan BUMN energi. Makin jebol kuota solar, makin jebol kuota LPG 3 kg, makin jebol konsumsi pertalite maka makin besar penerimaan dan pendapatan Pertamina. Ora urus terhadap semua bentuk pengendalian dengan alasan transisi energi sekalipun. Everybody happy toh.
Penerimaan subsidi dan pendapatan kompensasi menjadi penyelamat BUMN energi terbesar di tanah air tersebut. Maka kedua BUMN ini bisa mencetak laba. Lumayan besar labanya setiap tahunnya. Selanjutnya bisa membagi deviden kepada negara. meskipun ada yang bilang skema ini seperti jeruk makan jeruk. Namun itulah konsekuensi dari status BUMN sebagai alat pemerintah dan sebagai perusahaan yang berbisnis untuk mencari laba.
Strategi semacam ini harusnya dapat diperluas kepada BUMN yang lain. Caranya semua BUMN membuat hitungan berapa harga atau tarif keekonomian atas produk barang dan jasa yang mereka hasilkan. Jika harga atau tarif layanan yang ditetapkan oleh pemerintah berada di bawah harga keekonomian, maka BUMN tersebut mendapatkan subsidi dan kompensasi. Jadi BUMN tidak mungkin merugi.
Mekanisme semacam itu menuntut BUMN profesional dalam berusaha, tidak melakukan markup biaya, dll, Sehingga harga jual produknya bisa bersaing. Berbeda dengan sekarang berbagai BUMN mendapatkan Penyertaan Modal Negara (PMN)untuk mengatasi masalah keuangannya yang memburuk. Cara PMN ini membuat BUMN tidak profesional. Bayangkan kalau bangkrut minta PMN, padahal kebangkrutan adalah kesalahan tata kelola dan mega proyek yang mereka kerjakan tidak didasarkan pada studi kelayakan yang benar. []
Oleh: Salamuddin Daeng
Ketua Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia