Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Sektor Pertanian Dikuasai Oligarki, Petani Dipaksa Mandiri

Jumat, 27 September 2024 | 06:04 WIB Last Updated 2024-09-26T23:04:10Z

TintaSiyasi.id -- Bank Dunia (World Bank) mengungkapkan harga beras di Indonesia 20% lebih tinggi daripada harga beras di pasar global dan konsisten menjadi yang termahal di ASEAN.

Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste Carolyn Turk mengungkapkan, Tingginya harga beras terjadi karena beberapa hal, seperti kebijakan pemerintah terkait pembatasan impor dan kenaikan biaya produksi hingga pengetatan tata niaga melalui non tarif.

Kebijakan yang mendistorsi harga tersebut menaikkan harga produk dan mengurangi daya saing pertanian. Meski demikian, tingginya harga beras dalam negeri tak sebanding dengan pendapatan petani lokal.

Berdasarkan hasil Survei Pertanian Terpadu, Badan Pusat Statistik (BPS), pendapatan rata-rata petani kecil kurang dari USD1 atau Rp15.199 per hari. Sementara, pendapatan petani per tahun hanya mencapai USD341 atau Rp5,2 juta. (sindonews.com, 24/9/2024)

Semakin tinggi harga beras tentu saja semakin menambah kesulitan rakyat. Sebagaimana kita ketahui bahwa beras merupakan makanan pokok rakyat Indonesia sedangkan saat ini pemerintah berlepas tangan dalam upaya menyediakan lapangan pekerjaan untuk rakyatnya. Kalaupun sudah ada pekerjaan, lebih sering tidak ada kenaikan gaji yang signifikan. Di sisi lain, harga-harga kebutuhan pokok serempak naik. Di tengah situasi ini, tentu saja masyarakat akan berusaha menghemat pengeluaran, termasuk mengganti konsumsi beras, mulai dari premium ke medium, bahkan ke beras dengan kualitas biasa.

Jika dahulu masyarakat dengan uang Rp11.900 sudah bisa menikmati beras medium, saat ini harus menambah Rp1.500/kg agar bisa mendapatkan beras medium. Walaupun kenaikan kelihatan tampak kecil, tetap saja memberatkan masyarakat. Karena, apabila beras naik, maka komoditas lainnya juga ikut naik. Bisa dibayangkan bagaimana para petani dengan penghasilan Rp.15.199 perhari mampu mencukupi kebutuhan pokok keluarganya, pasti kesulitan.

Masyarakat kelas bawah pun berusaha menghemat pengeluaran dengan mencampur beras dengan jagung atau mengganti beras dengan ketela. Mereka sudah tidak memikirkan bisa makan beras enak, tapi yang penting hari ini keluarganya tidak kelaparan agar bisa beraktifitas kembali.

Kondisi semacam itu menunjukkan bahwa kenaikan HET beras justru menambah kesengsaran rakyat untuk mendapatkan beras dengan kualitas bagus, bahkan masyarakat bawah terancam tidak mampu membelinya.

Perlu diketahui bahwa harga beras tinggi dikarenakan biaya produksi tinggi di negeri Ini memang disebabkan oleh banyak faktor, namun faktor yang paling mempengaruhi adalah sektor pertanian di negeri ini sudah dikuasai oleh oligarki dari hulu hingga hilir. Dilansir dari tempo.co (23/9/2024), Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika, Selama dua periode pemerintahan Joko Widodo, KPA mencatat ada 2.939 letusan konflik agraria dengan luas mencapai 6,3 juta hektar dan korban terdampak sebanyak 1,75 juta rumah tangga di seluruh wilayah Indonesia.

Menurutnya, sumber-sumber agraria saat ini dikuasai oleh segelintir orang saja, yaitu 25 juta hektar tanah sudah dikuasai oleh pengusaha sawit, 10 juta hektar tanah dikuasai pengusaha tambang, dan 11,3 juta hektar tanah dikuasai oleh pengusaha kayu. Pada waktu yang bersamaan, ada 17,24 juta petani gurem yang hanya menguasai tanah di bawah 0,1 sampai 0,5 hektar. Sisanya buruh tani dan tidak bertanah ditambah lagi negara tidak memberikan bantuan kepada petani. Petani dipaksa mandiri terlebih petani yang sedikit modal. 

Para petani harus menyelesaikan sendiri masalah sulitnya pengairan sawah di musim kemarau, harga pupuk yang makin mahal hingga harga padi yang belum memberikan keuntungan memadai dan menyejahterakan petani. Di sisi lain, negara yang sedang melakukan pembatasan impor beras menyebabkan ketersediaan beras jauh lebih sedikit. Alhasil, harga beras dalam negeri menjadi mahal bahkan lebih mahal dari beras impor.

Situasi tersebut berpeluang untuk mendorong dibukanya keran impor beras yang makin besar dari sebelumnya dan jika hal tersebut terjadi sementara harga beras lokal dalam keadaan mahal tentu kebijakan pembukaan impor ini hanya akan semakin menguntungkan oligarki dan menyengsarakan petani. Apalagi kini ritel-ritel yang menguasai bisnis beras dapat memainkan harga beras di pasaran. Semua kebijakan terkait pertanian yang condong pada kepentingan para pemilik modal tanpa mempedulikan nasib petani, sejatinya merupakan buah penerapan sistem kapitalisme.


Cara Islam Menstabilkan Harga Pangan

Sistem kapitalisme telah sukses memposisikan negara sebagai regulator dan fasilitator saja bukan pengurus urusan rakyat. Negeri yang memiliki lahan pertanian yang luas seharusnya mampu menjamin ketersediaan kebutuhan pokok beras tanpa bergantung pada impor yang sering kali merugikan petani dan menyengsarakan rakyat. Namun kenyataannya, negara berparadigma kapitalis abai akan hal ini. Tidak ada langkah strategis yang ditempuh untuk menunjang optimalisasi produksi beras dalam negeri.

Berbeda dengan Islam, Islam mewajibkan negara melaksanakan tanggung jawabnya kepada rakyat. Islam meletakkan tugas penguasa sebagai pelayan rakyat. Sehingga, negara wajib memenuhi semua kebutuhan mereka. Islam juga menegaskan bahwa para pemimpin akan diminta pertanggungjawaban diakhirat kelak. Keimanan dan ketakwaan tersebut akan mendorong para pemimpin untuk terus berusaha bertanggung jawab memenuhi kebutuhan rakyat terutama beras (kebutuhan pokok).

Beras merupakan salah satu komoditas strategis yang wajib dikelola oleh negara. Politik Islam mewajibkan negara memenuhi kebutuhan pokok rakyat individu per individu. Pemenuhan kebutuhan pokok oleh negara ini adalah upaya mewujudkan ketahanan pangan. Oleh karena itu, negara akan melakukan pengelolaan pangan secara mandiri hingga harga pangan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.

Ketersediaan pangan sangat terkait dengan kebijakan masalah pertanahan dan ketersediaan infrastruktur. Dalam sistem ekonomi Islam, tanah tidak boleh dibiarkan menganggur sehingga jika ada tanah mati dan dihidupkan oleh seseorang maka akan menjadi miliknya. Saat petani membutuhkan modal, maka negara akan menyediakannya sehingga petani akan mudah mengakses modal nonribawi.

Di sisi lain, jika seseorang memiliki lahan kosong dan tidak dikelola selama tiga tahun berturut-turut, maka lahan itu bisa dimiliki oleh pihak lain yang mampu menggarapnya setelah itu. Dengan demikian, akan terjadi ekstensifikasi lahan pertanian yang memudahkan seseorang mendapatkan lahan pertanian. Selain akan meningkatkan produksi pangan, hal ini juga akan meminimalisasi tindak kecurangan para penguasa maupun pengusaha dalam hal kepemilikan tanah.

Selain itu, negara wajib mengetahui atau mengontrol data panen dengan baik agar bisa mendistribusikan kepada rakyat. Negara berperan aktif dalam pendistribusiannya. Negara tidak akan membiarkan swasta mengambil untung dalam proses ini. Negara akan melarang adanya penimbunan, riba, praktik tengkulak, kartel, dan sebagainya. Negara juga membuat hukuman yang akan membuat jera jika ada pihak-pihak yang melanggar aturan. Hal tersebut dilakukan semata-mata untuk menjalankan kewajiban. Qadhi Hisbah, akan menjadi pengawas terpercaya untuk menjalankan tugas ini.

Bagi masyarakat yang tergolong penerima zakat, negara akan memenuhi kebutuhannya dari pos zakat. Mereka akan dibantu untuk bisa mendapatkan pekerjaan dan gaji yang memadai. Negara akan tetap memberi zakat hingga mereka tidak lagi masuk dalam golongan tersebut. Artinya, mereka telah mampu memenuhi kebutuhan sendiri.

Demikianlah, Islam mengatur dengan cara yang terperinci. Alhasil, masalah harga pangan seperti ini hanya bisa diselesaikan jika negara berani mengambil kebijakan fundamental, yaitu mengambil Islam sebagai landasan membuat kebijakan. Dengan begitu hidup rakyat, khususnya petani akan sejahtera. []


Nabila Zidane
Jurnalis

Opini

×
Berita Terbaru Update