TintaSiyasi.id -- Hidup masyarakat Indonesia pada 2025 diprediksi akan banyak diwarnai cobaan perekonomian. Pasalnya pada tahun itu harga beberapa kebutuhan seperti BBM, LPG, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan iuran peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) akan mengalami kenaikan.
Sinyal tarif pajak pertambahan nilai (PPN) akan tetap naik menjadi 12% pada 2025 semakin jelas. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, kenaikan tarif itu telah jelas menjadi amanat Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).
Pemerintah pun telah melakukan simulasi penerapan kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada awal 2025. Potensi pendapatan negara jika naik 1%, 1 per 11 katakan 10% total PPN realisasi setahun Rp 730-an triliun, artinya ada tambahan sekitar Rp 70-an triliun. Namun, untuk penerapannya masih tergantung keputusan pemerintahan Presiden Terpilih Prabowo Subianto.(cnbcindonesia.com, 17/8/2024)
Padahal, belum ada kenaikan pajak saja kehidupan sebagian besar rakyat negeri ini sudah kesulitan bahkan bisa dikatakan jauh dari kata sejahtera. Sebab, saat ini PHK terus terjadi, kenaikan harga bahan pokok tak terbendung, termasuk tarif listrik, gas, BBM dan kebutuhan pokok lainnya. Di sisi lain, dalam sistem kapitalisme negara berlepas tangan dari upaya menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. Alhasil, rakyat semakin kesulitan mencari pekerjaan.
Perlu dipahami bahwa dalam sistem kapitalisme pajak adalah sumber utama pendapatan negara disamping utang. Ini adalah prinsip ekonomi kapitalisme yang tidak akan pernah berubah. Negara akan berupaya mencari legitimasi untuk terus menambahnya, termasuk pungutan pajak pada rakyat. Pemerintah selalu berdalih bahwa pajak dan utang akan digunakan membiayai pembangunan negeri sehingga hasilnya bisa dinikmati masyarakat untuk mengakses kebutuhan-kebutuhannya.
Akan tetapi, kenyataannya tidaklah demikian. Pembangunan memang terjadi, namun alih-alih mewujudkan kesejahteraan, pembangunan tersebut hanya dinikmati oleh orang berduit berikut pihak korporasi swasta atau Asing yang berada di balik pembangunan. Alhasil, pajak untuk pembangunan negeri hanya membebani rakyat.
Ditambah lagi, atas nama liberalisasi kepemilikan, maka hasil kekayaan alam bisa dikelola oleh swasta. Penguasaan batubara, BBM mayoritas dimiliki swasta. Padahal, tingginya harga BBM akan berpengaruh pada ongkos produksi tarif dasar listrik, tarif transportasi pengangkut barang yang berdampak pada naiknya harga komoditas sembako membuat derita rakyat makin paripurna.
Jika kondisi ekonomi rakyat sulit, imbasnya mereka pun akan kesulitan membayar pajak. Alhasil, utang luar negerilah yang akan ditempuh pemerintah demi menyelamatkan ekonomi. Jika sudah terjerat utang riba, kedaulatan negeripun terancam. Karena semua kebijakan negara tak pernah luput dari mempertimbangkan kepentingan negara yang memberi utang. Lagi-lagi, kebijakan dibuat bukan untuk kepentingan rakyat, tapi untuk kepentingan korporat.
Oleh karena itu, dalam sistem kapitalis pajak adalah alat pemalak rakyat disaat keuangan defisit. Negara akan terus mengotak atik regulasi pajak agar pendapatan makin tinggi. Pelan-pelan naik 1 %, yang dulu 10 %, kini 11 % dan awal tahun 2025 akan dinaikkan 12 % rodanya akan berputar begitu terus. Walaupun rakyatnya sengsara, tetap saja akan dipaksa membayar pajak.
Pajak dalam Pandangan Islam
Berbeda dengan tata kelola keuangan dalam sistem Islam. Islam tidak pernah menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan negara. Pajak atau _dharibah,_ praktiknya sangat jauh berbeda dengan pajak dalam sistem kapitalisme. Pajak dalam RAPBN ala kapitalisme menjadi sumber dana terbesar. Sumber pajak terbesar berasal dari sumber daya alam yang dikelola swasta atau Asing. Sumber lainnya berasal dari rakyat.
Pembangunan dalam sistem kapitalisme dengan dibiayai pajak dan utang sesungguhnya hanya menambah beban berat rakyat dan generasi mendatang. Pengurangan subsidi akan dilakukan pemerintah untuk menghemat pengeluaran negara. Di sisi lain, pajak yang dipungut dari rakyat makin tinggi. Akibatnya, rakyat akan makin sengsara. Negara seolah telah berlepas tangan akan nasib rakyatnya. Rakyat dibiarkan hidup sendiri bahkan menjadi objek eksploitasi bukan objek ri'ayah yang wajib diurus.
Sedangkan dalam Islam, pajak atau dharibah tidak menjadi tumpuan kas negara, tidak pula dibebankan kepada seluruh warga, melainkan hanya kaum Muslim yang kaya yang dipungut dharibah. Aturan ini bersifat temporer. Artinya, hanya dilakukan jika kas negara kosong dan saat butuh dana yang mendesak saja dan akan berakhir setelah keperluan tersebut selesai (kas negara telah terisi kembali).
Walaupun demikian, negara khilafah sangat jarang mendapati kondisi baitulmal sampai kosong. Hal tersebut dikarenakan kas baitulmal memiliki sumber pemasukan melimpah, yaitu dari fai dan kharaj, kepemilikan umum dan sedekah. Kepemilikan umum, misalnya, haram untuk dikuasai swasta apalagi Asing.
Rasulullah saw. pernah bersabda,
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاء فِى ثَلاَثٍ: فى الْكَلإ وَالْمَاء وَالنَّارِ
"Kaum Muslim itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api" (HR Abu Dawud).
Adapun penerimaan dari sektor harta umum, diantaranya sumber daya alam yang memiliki deposit besar berupa minyak mentah, gas, batubara, nikel emas, tembaga dan aluminium. Hutan juga dikategorikan harta milik umum sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan langsung oleh publik. Meski demikian negara dapat melakukan proteksi pada kawasan tertentu untuk menjamin keberlangsungan pendapatan negara.
Seluruh kekayaan tersebut akan dikelola oleh negara untuk kepentingan publik secara langsung. Bahkan harta milik umum dapat memberikan penerimaan besar jika negara bisa meningkatkan nilai tambah komoditas tersebut secara optimal. Oleh karena itu, jika hari ini saja pajak sumber daya alam menjadi sumber terbesar, maka dengan sistem Islam menerimaan dari sumber daya alam akan jauh lebih besar. Dari sini, pemasukan akan mengalir deras untuk baitulmal.
Oleh karenanya, wahai kaum Muslim, seandainya syariat Islam diterapkan sempurna dalam bingkai Khilafah Islamiah, maka rakyat tidak akan terbebani lagi oleh pajak. Kehidupan rakyat akan sejahtera karena penguasanya menjadikan rakyat sebagai objek ri'ayah yang wajib terpenuhi seluruh kebutuhannya.
Oleh: Nabila Zidane
Jurnalis