Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Rapor Merah Indeks Demokrasi Sepuluh Tahun Pemerintahan Jokowi: Inikah Bukti Demokrasi Gagasan Utopis yang Tidak Mungkin Diterapkan?

Minggu, 29 September 2024 | 16:23 WIB Last Updated 2024-09-29T09:23:19Z
TintaSiyasi.id--Jelang akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tepatnya 20 Oktober 2024, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menyampaikan hasil kajian terkait 10 tahun pemerintahan Jokowi selama 2014-2024. Hasilnya, LSI Denny JA menyebutkan 10 tahun pemerintahan Jokowi mendapat 7 rapor, yaitu 3 rapor biru, 1 rapor merah, dan 3 rapor netral. Mereka menyatakan pemerintahan Jokowi selama 10 tahun berhasil.

Tiga rapor biru yang diraih Jokowi yaitu dari produk domestik bruto (PDB) dan PDB per kapita; indeks kebebasan ekonomi; dan indeks kemajuan sosial. Sedangkan tiga rapor netral yang diraih Jokowi yaitu diambil dari data indeks persepsi korupsi, indeks kemerdekaan pers, dan indeks kebahagiaan. Kemudian, satu rapor merah Jokowi dari indeks demokrasi yang diukur dari lembaga Economist Intelligence Unit. 

Saat survei dirilis dan kepemimpinan Jokowi dinyatakan berhasil oleh LSI, hal tersebut dipertanyakan netizen. Karena faktanya jauh panggang dari api. Badai PHK menghantam, pajak naik, utang naik, banyak undang-undang pro oligarki dan kapitalis diteken, kondisi hukum yang makin represif, dan sebagainya adalah dampak penerapan sistem demokrasi kapitalistik. Akibatnya kerusakan multidimensi terjadi di berbagai aspek kehidupan.

Seharusnya jika rapor merah diberikan terhadap indeks demokrasi, hal tersebut akan berpengaruh terhadap aspek lain, baik itu ekonomi, politik, hukum, dan sosial. Namun, tidak demikian, hanya 1 rapor merah saja soal indeks demokrasi; indeks lainnya biru dan netral. Inilah yang patut dipertanyakan. Karena indeks yang dicanangkan seolah berdiri sendiri.

Menyoal Kepemimpinan Demokrasi Kapitalistik Cenderung Menciptakan Kerusakan Multidimensi

Demokrasi memiliki jargon populer dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang memberikan kekuasaan kepada rakyat untuk mengambil keputusan, baik secara langsung maupun melalui perwakilan. Namun, demokrasi memunculkan beberapa kecacatan ketika dipraktikkan. 

Pertama, kekuasaan di tangan rakyat dalam jargon demokrasi hanya kamuflase, sejatinya kekuasaan di tangan segelintir orang yang memiliki kekuatan dalam pemerintahan demokrasi. Tidak mungkin demokrasi berkuasa mengakomodasi seluruh kepentingan seluruh rakyat, tetapi hanya sebagian kecil rakyat saja. Itu pun rakyat yang terpilih masuk ke lingkaran lembaga legislatif dalam sistem demokrasi. 

Kedua, kedaulatan di tangan rakyat. Pada faktanya, banyak undang-undang atau kebijakan disodorkan para kapitalis atau oligarki kepada DPR untuk disahkan. Bahkan, banyak undang-undang yang ditentang rakyat dengan berbagai aksi berkepanjangan tetap saja disahkan demi para kapitalis atau korporat. Misalnya, Undang-undang Omnibus law atau lebih khusus UU Cipta Kerja yang sangat menguntungkan kapitalis daripada pekerja. 

Ketiga, demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan telah menciptakan kemaksiatan dan kemungkaran di luar nalar dan merusak tatanan sosial. Mereka yang melanggar syariat Islam mendapatkan angin segar dengan embel-embel jaminan kebebasan. Parahnya, perilaku serba bebas ini menciptakan kerusakan struktural dalam komponen yang membangun masyarakat.

Keempat, demokrasi telah mengizinkan sektor publik dikuasai swasta atau pihak kapitalis untuk dieksploitasi sesuai kepentingan mereka. Ketika sektor publik dikapitalisasi dan ketika rakyat ingin mendapatkan fasilitas publik atau kepentingan sektor publik, diibaratkan bagaikan pembeli. Siapa yang punya uang dan mampu membayar akan mendapatkan fasilitas tersebut, tetapi jika tidak silaka gigit jari. 

Kelima, demokrasi telah mengizinkan manusia yang terbatas menciptakan aturan untuk mengatur diri mereka sendiri. Walhasil aturan yang ada hanya menguntungkan segelintir orang tanpa memikirkan hajat hidup orang banyak. Pangkal dari kerusakan dalam sistem demokrasi adalah manusia mengambil peran Allah taala sebagai pembuat aturan. Aturan dan hukum yang ada disiasati demi memuluskan kepentingan segelintir orang saja, sehingga menyebabkan kezaliman atau ketidakadilan yang dialami masyarakat dalam sekup yang lebih luas lagi.

Sampai kapan pun, ketika negeri ini menerapkan sistem pemerintahan demokrasi, siapa pun pemimpinnya akan memproduksi kerusakan multidimensi. Sebaik apa pun hasil survei yang dikeluarkan untuk memuji demokrasi tidak akan mempan mengkhianati kesengsaraan struktural yang dihadirkan demokrasi. Inilah yang seharusnya jadi catatan umat hari ini, bukan malah berpikir bahwa demokrasi yang diterapkan belum sempurna. Sesempurna apa pun menerapkan demokrasi, korupsi tidak akan bisa ditumpas, dinasti politik akan tetap ada, dan yang sejahtera hanyalah oligarki semata. 

Tidak mungkin demokrasi menciptakan aturan yang memihak rakyat, hampir di seluruh negara yang menerapkan demokrasi telah melahirkan oligarki, elit politik, dan politik dinasti. Sehingga, pernyataan penerapan demokrasi belum sempurna hanyalah tong kosong nyaring bunyinya, dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat hanyalah jargon omong kosong demokrasi yang tidak akan mungkin diterapkan di negara mana pun. Yang ada dari oligarki untuk oligarki dan oleh oligarki, rakyat hanyalah tumbal memuaskan keserakahan oligarki.

Dampak Kepemimpinan Demokrasi Kapitalistik terhadap Aspek Politik, Ekonomi, Hukum, dan Sosial

Diketahui tiga rapor biru yang diraih sepuluh tahun pemerintahan Jokowi yang dikutip dari hasil survei LSI yang dimuat Viva.co.id, yakni, dari aspek produk domestik bruto (PDB) perkapita, indeks kebebasan ekonomi, dan indeks kemajuan sosial. 

Pertama, pada produk domestik bruto (PDB) dan PDB per kapita, lembaga pengukur yakni World Bank. Terdapat kenaikan PDB sekitar USD509 miliar dengan rentang waktu 2014—2023. Kedua, indeks kebebasan ekonomi diukur melalui lembaga The Heritage Foundation. Skornya pada 2023 sejumlah 63,5 dengan rangking 53. Sedangkan pada 2014 skor kebebasan ekonomi 58,5 dengan rangking 100.

Ketiga, indeks kemajuan sosial. Data itu diukur melalui Social Progress Imperative. Skornya pada 2014 sejumlah 61,65 dengan rangking 92. Sedangkan pada 2023 skor kemajuan sosial 67,22 dengan rangking 80.

Tiga rapor netral lainnya, yakni, indeks persepsi korupsi, indeks kemerdekaan pers, dan indeks kebahagiaan. Rapor netral juga diukur dari indikator penilaian yang mendapat skor baik tetapi secara rangking turun, begitu juga sebaliknya. Keempat, Indeks persepsi korupsi didapat dari lembaga Transparency International. Indeks persepsi korupsi yang diukur dari United Nations Sustainable Development Solutions Network (SDSN) dan Gallup Poll, mendapat skor yang sama pada 2014 dan 2023, yaitu 34. Sementara, rangking pada 2014 mendapat angka 107 dan 2023 mendapat 115. Skor naik, rangking turun, kaya LSI. 

Kelima, indeks kemerdekaan pers yang diukur dari Reporters Without Borders, mendapat skor 61,85 pada 2014 dan 51,15 pada 2023. Sementara, rangking pada 2014 mendapat angka 132 dan 2023 mendapat 111. Skor turun, rangking naik.

Keenam, indeks kebahagiaan mendapat skor 5,138 pada 2014 dan 5,568 pada 2023. Sementara, rangking pada 2013 mendapat angka 76 dan 2024 mendapat 80. Ketujuh, satu rapor merah Jokowi diukur dari lembaga Economist Intelligence Unit yang menunjukkan skor 6,95 pada 2014 dan 6,53 pada 2023. Sementara, rangking pada 2013 mendapat angka 49 dan 2024 mendapat 56.

Jika diperhatikan dengan seksama, semua survei tersebut bersandar dari lembaga survei di luar negeri, contohnya Amerika Serikat. Tolok ukur yang dijadikan acuan adalah tolok ukur Barat dengan pertimbangan dasar ideologi kapitalisme. Selain itu, yang dijadikan acuan hanya berdasarkan naik turunnya rangking. LSI hanya melihat peringkat yang didapat ketika di awal pemerintah dan akhir pemerintah. 

Seharusnya yang dijadikan acuan adalah kondisi politik, ekonomi, sosial, dan hukum selama sepuluh tahun pemerintahan Jokowi. Apa saja kebijakan yang dikeluarkan, bagaimana dampaknya terhadap kondisi negeri ini dilihat dari keempat aspek tersebut? Selain itu preseden buruk atau tragedi apa saja yang marak terjadi selama sepuluh taken terakhir. Sebagai contoh. Pertama, dampak politik, selama sepuluh tahun terakhir kondisi demokrasi di negeri ini telah tampak lahirnya politik dinasti, baik level nasional maupun daerah. Gurita kekuasaan yang ditegakkan demi terwujudnya kepemimpinan dinasti yang turun temurun dipertahankan tampak. Lahirnya politik dinasti ini pun sah di mata demokrasi karena menggunakan segala perangkatnya untuk mengesahkan.

Sebagai contoh, awalnya usia Gibran Rakabuming Raka belum bisa lolos maju menjadi calon wakil presiden. Hanya saja karena Mahkamah Konstitusi (MK) merevisi undang-undang, Gibran lolos karena sudah pernah menjadi wali kota Solo. Dalam putusannya, MK menyatakan seseorang yang di bawah usia 40 tahun bisa menjadi capres maupun cawapres asalkan sedang atau pernah menduduki jabatan negara yang dipilih melalui pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah.

Sebenarnya lolosnya Gibran Rakabuming menjadi cawapres dan akhirnya terpilih menunjukkan wajah asli demokrasi. Inilah demokrasi yang telah menciptakan politik dinasti dengan berbagai perangkatnya. Asalkan punya kekuatan dan dekengan, apa pun bisa dilakukan termasuk harus merevisi undang-undang.

Siapa yang dirugikan dalam hal ini? Tentunya adalah rakyat. Mereka membuat aturan, ketika tidak sesuai dengan kepentingannya diedit atau, scoffdirevisi dan seluruh rakyat Indonesia disuruh patuh, sekalipun akan melaksanakan aksi berjilid-jilid tidak digubris.

Kedua, dampak ekonomi, berapa kali hantaman badai PHK melanda negeri ini. Kalau PHK terjadi karena virus corona itu adalah bagian dari musibah di seluruh dunia, tetapi hantaman badai PHK senantiasa terjadi karena penerapan ekonomi kapitalisme yang menyerahkan rekrutmen pekerja berdasarkan keinginan korporasi. Negara hanya menjadi legitimasi kepentingan korporasi dalam memperdaya kaum Buruh dengan berbagai perangkat kebijakan yang memihaknya. 

Dari segi pajak yang dijadikan tulang punggung dan utang luar negeri yang dijadikan tumpuan dalam membangun perekonomian bangsa adalah kejahatan sistem ekonomi kapitalisme. Karena utang riba kepada luar negeri akan membebani negara dan beban itu akan diwujudkan dengan menaikkan pajak atau memajaki aspen lain yang belum tersentuh pajak. Belum lagi aspek lain, seperti kenaikan beras, minyak goreng atau kebutuhan pokok lainnya cenderung menguntungkan pihak kartel yang diduga berspekulasi akan kenaikan pangan. 

Ketiga, dampak aspek hukum. Secara faktual, penerapan hukum dalam sistem demokrasi kapitalisme tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Tajam kepada rakyat kecil dan tumpul kepada orang kaya yang memiliki kekuasaan. Kasus-kasus yang melibatkan mafia kelas kakap sulit ditumpas dan mereka terus bermunculan dalam sistem demokrasi karena asas sekuler yang mendasari hukum. 

Belum lagi kasus kriminalitas yang sulit diberantas dan terus bermunculan adalah bukti lemahnya demokrasi dalam menindak tegas pelaku kejahatan. Pembunuhan, kekerasan, penculikan, perampokan, peredaran barang haram seperti narkoba dan sebagainya marak dan sulit ditumpas. Hukuman-hukuman yang diberikan tidak pernah menjadikan efek jera karena hukum dibuat berdasarkan HAM dan mengabaikan syariat Islam. 

Keempat, dampak aspek sosial adalah rusaknya tatanan kehidupan akibat kebebasan berperilaku yang sudah melanggar hukum dan syariat Islam. Dampak gaya hidup serba bebas merusak individu, keluarga, dan masyarakat. Perzinaan yang dibiarkan atas dasar persetujuan menyebabkan rusaknya hancurnya rumah tangga. Perceraian marak, perzinaan dinormalisasi, penyimpangan seksual tidak ada sanksi tegas, bahkan dibiarkan atas nama HAM. 

Andai berbicara indeks kebahagiaan, justru sistem sekuler liberal demokrasi yang mengagung-agungkan kebebasan telah menciptakan kerusakan multidimensi. Banyak manusia depresi, stres, dan mereka terlibat kasus kekerasan hingga pembunuhan. Baik membunuh orang lain ataupun bunuh diri. Membunuh orang lain seolah-olah menjadi kabar yang datang setiap hari dan pelakunya hanya dipenjara tanpa mendapatkan sanksi qisas yang adil berdasarkan kejahatan yang ia lakukan. 

Oleh karena itu, seharusnya hal tersebut menyadarkan semua akan pentingnya menerapkan sistem yang sesuai dengan fitrah manusia, menentramkan jiwa, dan memuaskan akal, yakni sistem syariat Islam. Sistem yang diciptakan oleh Allah Ta'ala yang menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan.

Strategi Islam dalam Mewujudkan Kesejahteraan dan Menangkal Merusakan secara Sistem

Islam tidak hanya sekadar keyakinan, tetapi keyakinan yang mampu memancarkan aturan yang bisa diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan. Islam tidak sekadar agama ritual tetapi juga sebagai ideologi. Islam sebagai ideologi yang banyak belum dipahami publik, karena asas sekuler mereka, menganggap Islam hanya mampu mengatur aspek ibadah semata. Padahal Islam mampu mengatur individu, keluarga, masyarakat, dan negara.

Islam memiliki sistem aturan yang mengatur, pemerintahan, negara, ekonomi, politik, hukum, pergaulan atau interkasi sosial, keuangan, militer, dan sebagainya yang bisa ditegakkan tidak hanya level individu tetapi juga negara. Keunggulan sistem Islam adalah sistem ini diturunkan langsung oleh Yang Maha Pencipta Allah Taala untuk mengatur dan menyejahterakan umat manusia dan menjadikan rahmat bagi seluruh alam. Sehingga penerapannya akan membawa kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.

Dalam mewujudkan kesejahteraan, tidak ada cara lain kecuali dengan menerapkan aturan Islam secara keseluruhan dalam bingkai institusi Khilafah Islamiah. Karena jika keluar atau melenceng dari penerapan syariat Islam yang terjadi adalah kehancuran yang merusak berbagai aspek kehidupan. 

Kerusakan multidimensi yang tercipta secara struktural akibat penerapan sistem demokrasi sekuler kapitalisme adalah dampak nyata pengabaian penerapan syariat Islam secara paripurna. Sehingga tidak ada cara lain kecuali kembali kepada Islam. Penolakan terhadap sistem Islam sejatinya adalah upaya menghalangi kebangkitan Islam dan melanggengkan kezaliman yang diproduksi sistem demokrasi sekuler kapitalisme. 

Keunggulan sistem Islam adalah sebagai berikut. Pertama. Dalam aspek politik, sistem Islam memiliki prinsip segala problematik kehidupan atau dalam mengurusi umat harus bersandar terhadap syariat Islam. Tidak boleh memandang berbagai permasalahan dengan pengabaian hukum Islam. Kedua, dalam aspek ekonomi. Islam mengatur kepemilikan, baik kepemilikan individu, umum, atau negara. Sehingga memutus rantai kapitalis atau swasta untuk memenuhi keserakahannya dalam menguasai hajat hidup orang banyak. 
 
Ketiga, penerapan hukum Islam berfungsi sebagai zawajir (mendapatkan sanksi yang akan mencegah publik untuk mengikuti jejak kejahatannya) dan jawabir (penebus dosa). Sehingga hukum Islam yang mampu menjaga jiwa dan akal akan benar-benar terwujud. Keempat, dalam sistem pergaulan, Islam mengatur interaksi laki-laki dengan perempuan baik yang bukan mahramnya atau yang telah menjadi mahramnya. Pengaturan Islam memuliakan manusia baik sebagai laki-laki maupun perempuan. Penjagaan kehormatan didukung dengan sanksi dan hukuman yang diterapkan secara komprehensif.

Korelasi penerapan sistem Islam dalam bingkai negara akan sampai di akhirat, karena jika hukum, sanksi, dan uqubat dapat dilaksanakan di dunia, tentunya ketika di akhirat hisabnya lebih ringan. Karena negara telah menegakkan keadilan di muka bumi. Setiap kezaliman akan ada hisabnya, jika hisab itu tuntas di dunia, pasti tidak akan menjadi beban di pengadilan akhirat. Di sinilah pentingnya penerapan sistem Islam secara kaffah dalam bingkai khilafah, karena korelasinya sampai ke akhirat. 

Kecuali Khilafah Islamiah, tidak ada sistem pemerintahan yang mampu menerapkan sistem Islam secara kaffah. Seharusnya sistem ini posisinya disejajarkan dengan sistem pemerintahan lain, yang harus dikaji, dipelajari, dan dijadikan solusi atas problematika kehidupan. Hanya saja mereka yang membenci Islam dan tidak ingin Islam menguasai dunia, pasti akan berada di garis terdepan untuk menghalanginya. Namun, mau dihalangi dan dihalau sekuat apa pun, ketika kemenangan Islam itu diturunkan, tidak akan yang mampu menghalangi sekalipun mereka kumpulkan seluruh bala bantuannya.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.

Pertama. Tidak mungkin demokrasi menciptakan aturan yang memihak rakyat, hampir di seluruh negara yang menerapkan demokrasi telah melahirkan oligarki, elit politik, dan politik dinasti. Sehingga, pernyataan penerapan demokrasi belum sempurna hanyalah tong kosong nyaring bunyinya, dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat hanyalah jargon omong kosong demokrasi yang tidak akan mungkin diterapkan di negara mana pun. Yang ada dari oligarki untuk oligarki dan oleh oligarki, rakyat hanyalah tumbal memuaskan keserakahan oligarki.

Kedua. Sistem sekuler liberal demokrasi yang mengagung-agungkan kebebasan telah menciptakan kerusakan multidimensi. Banyak manusia depresi, stres, dan mereka terlibat kasus kekerasan hingga pembunuhan. Baik membunuh orang lain ataupun bunuh diri. Membunuh orang lain seolah-olah menjadi kabar yang datang setiap hari dan pelakunya hanya dipenjara tanpa mendapatkan sanksi qisas yang adil berdasarkan kejahatan yang ia lakukan. 

Ketiga. Islam tidak hanya sekadar keyakinan, tetapi keyakinan yang mampu memancarkan aturan yang bisa diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan. Islam tidak sekadar agama ritual tetapi juga sebagai ideologi. Islam sebagai ideologi yang banyak belum dipahami publik, karena asas sekuler mereka, menganggap Islam hanya mampu mengatur aspek ibadah semata. Padahal Islam mampu mengatur individu, keluarga, masyarakat, dan negara.


Oleh. Ika Mawarningtyas
Direktur Mutiara Umat Institute 

MATERI KULIAH ONLINE UNIOL 4.0 DIPONOROGO. Rabu, 25 September 2024. Di bawah asuhan Prof. Dr. Suteki, S.H., M. Hum. #Lamrad #LiveOpperessedOrRiseAgainst


Opini

×
Berita Terbaru Update