TintaSiyasi.id -- Anggaran pendidikan dalam APBN direncanakan akan ditafsir ulang atau reformulasi mandatory spending. Wacana ini mencuat setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengusulkan perubahan basis 20% mandatory spending dari belanja negara menjadi pendapatan negara. Usulan ini pun tentunya berpotensi mengurangi anggaran yang dialokasikan untuk sekolah. Jika perubahan ini diterapkan, anggaran pendidikan yang sebelumnya Rp665 triliun (mengacu pada belanja negara) dapat turun menjadi sekitar Rp560,4 triliun (mengacu pada penerimaan negara).
Wacana ini dinilai tidak tepat oleh para ekonom. Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), menilai jika sudah ditetapkan 20% dari belanja untuk pendidikan, itu tidak boleh diutak-atik. Meskipun anggaran pendidikan sering dievaluasi karena dianggap tidak tepat sasaran dan bahkan ada indikasi korupsi, itu tidak berarti anggaran tersebut harus dikurangi. Menurutnya, yang perlu dilakukan adalah memperbaiki efektivitas program, bukan mengurangi anggaran secara keseluruhan. (Bisnis.com, 6/9/2024)
Tentu saja wacana tersebut menimbulkan penolakan di tengah masyarakat. Pasalnya, banyaknya problem layanan pendidikan saat ini adalah bukti lepas tangannya negara dalam memenuhi hak rakyat untuk mendapatkan jaminan pendidikan terbaik dan terjangkau. Jika dengan skema anggaran 20% saja masih belum cukup memenuhi kebutuhan jaminan layanan pendidikan yang gratis atau murah, adil dan merata apalagi jika anggaran nya dikurangi. Jika dinilai tidak tepat sasaran atau bahkan berpotensi dikorupsi, tentu harus ada penyelesaian khusus pada problem ini. Bukan malah mengurangi anggaran nya.
Ini lah paradigma kepemimpinan dalam sistem sekular kapitalisme yang jauh dari paradigma mengayomi dan menjadi perisai bagi rakyat, melainkan seperti penjual dan pembeli. Padahal pendidikan merupakan unsur penting sebuah bangsa, namun mirisnya pendanannya tidak maksimal bahkan terkesan hitung-hitungan. Bagaimana bisa mewujudkan generasi yang berilmu jika kondisi pendidikan dinegeri kita hari ini sangat memprihatinkan. Layanan dan kualitasnya masih terbilang buruk. Kurikulum berganti-ganti namun belum juga mewujudkan tujuan pendidikan yang baik. Pendidikan justru diserahkan kepada pihak swasta untuk dikapitalisasi. Walhasil, jika ingin mendapatkan pendidikan yang berkualitas harus mengeluarkan uang yang banyak.
Di dalam kapitalisme, untung rugi selalu menjadi pertimbangan. Pendidikan yang seharusnya menjadi kewajiban negara dalam penyelenggaraannya, namun diperjualbelikan demi mendapatkan keuntungan. Begitu banyak masyarakat yang tidak mampu melanjutkan kejenjang perguruan tinggi karena biaya yang mahal. Inilah bentuk lepas tangan pemerintah dalam pendidikan di sistem kapitalisme ini.
Berbeda dengan Islam, Islam memandang pendidikan adalah salah satu hak setiap rakyat yang wajib dipenuhi oleh penguasa dengan layanan dan kualitas terbaik. Semua itu bisa diwujudkan dengan politik anggaran yang berkaitan dengan sistem ekonomi Islam dan didukung oleh sistem-sistem lainnya sehingga tujuan pendidikan dapat terwujud. Semua itu hanya akan terwujud jika kita menerapkan sistem Islam kaffah dalam naungan khilafah.
Khilafah akan menerapkan sistem ekonomi Islam. Pembiayaan pendidikan akan diambil dari salah satu pos pemasukan Baitul Mal. Rakyat tidak akan dipungut biaya untuk mengenyam pendidikan meskipun sampai pendidikan tinggi. Semua merupakan kewajiban negara. Penyelenggaraan pendidikan Islam juga tidak akan diserahkan kepada pihak swasta sebab ini menjadi tanggungjawab negara. Penguasa dalam Islam adalah ra'in dan junnah, pemelihara dan perisai. Penguasa dalam Islam tidak akan hitung-hitungan dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat sebab harta yang alokasikan adalah harta rakyat, bukan harta penguasa.
Sejarah Islam telah membuktikan keberhasilan di dunia pendidikan dalam penerapan khilafah Islam. Banyak mencetak para ulama, ilmuwan yang semua nya itu lahir dari rahim peradaban Islam kaffah. Maka, kesejahteraan dalam seluruh aspek kehidupan hanya bisa kita rasakan jika negeri ini menjadikan syariat Islam sebagai pedoman hidup.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Pipit Ayu
Aktivis Muslimah