TintaSiyasi.id -- Musim kemarau terus berlangsung dibeberapa wilayah. Kekeringan pun tidak dapat dielakkan dan krisis air bersih mendera rakyat. Tak ayal kondisi ini membuat harga air bersih dibeberapa wilayah menjadi mahal. Air bersih satu tanki di Wonogiri sebanyak 6.000 liter harganya mencapai Rp 150 ribu rupiah. Biasanya air ini hanya cukup untuk dua pekan untuk kebutuhan satu keluarga. Itu berarti dalam satu bulan setiap kepala keluarga harus mengeluarkan dana Rp 300 ribu untuk biaya air bersih saja. Sungguh ini nilai yang sangat besar belum lagi untuk kebutuhan lainnya yang serba mahal.
Di sisi lain Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) tetap eksis di negeri ini. Perusahaan yang mengelola AMDK meski musim kemarau, produksi tetap jalan. Perusahaan-perusahaan ini memiliki hak istimewa terhadap pemilikan air hingga mereka mampu menjadikannya ladang bisnis yang menjanjikan. Diantara perusahaan yang memproduksi AMDK adalah : CV Abadi Tiga Mandiri di Maluku, PT Adikari di Jakarta, PT Aditya Tirta Abadi Utama di Jawa Barat, Area food Indonesia di Jawa Timur, CV Aidrat Sunan Drajat di Jawa Timur, PT Air Mineral Wahana di Jawa Tengah, PT Air Minum Club di Kalimantan Timur, dan CV Anugrah Tirta Persada di Kalimantan Tengah.
Bisnis AMDK memamg menggiurkan. Bahkan para konglomerat yang masuk daftar orang kaya di negeri ini ternyata memiliki perusahaan AMDK. Sebut saja : Tirto Utomo pemilik Aqua, Hermanto Tanoki bos Cleo, Mogen Susanto pemilik Equil, dan Anthoni Salim pemilik Club.
AMDK memang praktis dan efisien. Berbeda dengan air yang harus direbus dulu yang butuh bahan bakar dan butuh waktu. Ini menjadikan ketergantungan rakyat pada AMDK makin kuat. Saking besarnya kebutuhan rakyat terhadap AMDK menjadikan kelas menengah di Indonesia turun kasta sejak masa krisis Pandemi Covid-19, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS). Pada 2019 jumlah kelas menengah di Indonesia 57,33 juta orang atau setara 21,45% dari total penduduk. Lalu, pada 2024 hanya tersisa 47,85 juta orang atau setara 17,13%. Menurut ekonom senior mantan Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro salah satu penyebab miskinnya kelas menengah Indonesia adalah besarnya pengeluaran terhadap air minum.
Sungguh sebuah ironi di negeri maritim dan kaya air ternyata mayoritas rakyatnya harus bayar mahal demi air. Bahkan kekeringan merebak luas seolah tanpa solusi. Padahal air adalah kebutuhan paling dasar. Sebab tanpa air maka semua mahluk hidup pasti mati. Tata kelola air dengan aturan sekuler telah menjadi air ladang basah bagi para pemilik modal sekaligus menjadi barang bahal bagi rakyat biasa. Ini ketidakadilan yang harus segera dipecahkan dengan aturan yang sahih.
Islam telah menetapkan bahwa air adalah kepemilikan umum. Rasulullah bersabda: "Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal : dalam air, padang rumput (gembalaan), dan api.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah).
Dalam hadits ini jelas bahwas umat manusia memiliki hak yang sama terhadap air. Negara sebagai pemimpin umat harus hadir untuk mengelola sumber air hingga semua rakyat bisa mendapatkan haknya. Sebab amanah kepemimpinan adalah amanah untuk melayani dan mengurus rakyat.
Hanya saja apa yang kita lihat hari ini, para penguasa dan pejabat negara setali tiga uang dalam menyerahkan kepemilikan umum kepada para swasta. Tentu ini adalah dosa dan kezaliman yang tidak boleh didiamkan. Akan tetapi dengan tegaknya aturan sekuler dibawah naungan ideologi kapitalisme telah menjadikan semua kepemilikan umum diserahkan pada swasta seolah legal atas nama undang-undang. Padahal hakikatnya itu adalah perampasan harta rakyat oleh para pemodal.
Pengelolaan air seharusnya kembali pada aturan Allah. Sebab Allah yang menciptakan manusia telah menurun aturan terbaik untuk ciptaanNya. Negara harus hadir dengan semua perangkatnya untuk mengelola sumber air dan membuat berbagai inovasi dan terobosan hingga air itu bisa tersalurkan pada semua rakyat dengan murah bahkan gratis. Inilah hakikat keberadaan pemimpin sehingga pemimpin wajib diangkat yaitu untuk menerapkan syariat dan melayani rakyat.
Oleh: Nurjannah Sitanggang
Aktivis Muslimah