TintaSiyasi.id -- Polres Situbondo melakukan penggerebekan di wilayah Kecamatan Arjasa dan Asembagus, Kabupaten Situbondo pada Kamis (11/7/2024) malam. Hasilnya, 348 botol botol minuman keras (miras) jenis arak bali diamankan dari tiga rumah warga (SuaraJatim.id, 12/7/2024). Kepada polisi, salah satu pemilik miras mengaku sudah dua tahun menjual minuman berjenis arak tersebut dan memesan miras jenis arak secara online.
Kapolres Situbondo, AKBP Dwi Sumrahadi Rakhmanto mengatakan, penggerebekan tersebut dilakukan untuk meningkatkan keamanan dan ketertiban di wilayahnya, mengingat dari sejumlah kejadian tindak pidana kriminal itu akibat dari minuman keras.
Sebelumnya, pada bulan yang sama anggota Polres Situbondo melakukan patroli gabungan, Rabu malam (3/7/2024). Hasilnya, 873 botol minuman keras (miras) diamankan dari sejumlah hotel dan toko kelontong di wilayah Kecamatan Banyuglugur (RadarSitubondo.id, 5/7/2024).
Penggerebekan di sejumlah rumah, warung ataupun hotel jauh dari kata cukup. Sebab, tempat-tempat tersebut dianggap sebagai tempat yang tidak mendapatkan izin untuk menjual miras. Sedangkan, di tempat milik pengusaha besar dan legal, seperti bar dan diskotik tidak dilakukan razia. Bukankah sudah pasti ada miras di sana? Bahkan tak hanya miras, biasanya sepaket dengan perjudian, narkoba, dan pelacuran.
Jika pemerintah benar-benar serius ingin memberantas miras, harusnya adalah menutup pabrik mirasnya atau menutup keran impor miras. Apalagi, jika melihat UU Minol yang menyebutkan bahwa miras masih boleh dijual di tempat-tempat tertentu seperti tempat pariwisata, bukankah ini menunjukkan kebijakan yang kian sekuler? Mereka berpendapat bahwa peredaran miras ‘diperbolehkan’ jika bermanfaat, misalnya di area wisata yang menjadi daya tarik para wisatawan mancanegara. Terlebih lagi ‘diperbolehkan’ karena tempat-tempat tersebut menjadi sumber pemasukan yang besar sebab pajak yang dibayarkan.
Telah banyak terjadi, kejahatan dan kriminalitas karena berawal dari barang haram ini. Berawal dari miras, pelakunya tidak sadarkan diri, hilang kendali dan bertindak semaunya. Seperti pemerkosaan, penganiayaan hingga pembunuhan.
Benarkah, pemerintah menginginkan kehidupan masyarakat menjadi aman? Tapi mengapa pelarangan miras seolah tak serius untuk diterapkan? Sebab di sisi lain, pemerintah pun ingin mendapatkan tambahan pemasukan dari penjualan miras melalui pembayaran pajak. Bukankah kebijakan ini menjadi kontraproduktif terhadap pelarangan miras?
Inilah yang terjadi ketika sistem ekonomi kapitalisme menjadi asas dalam pengelolaan negara. Kehidupan sekuler (memisahkan aturan agama dari kehidupan) melahirkan masyarakat yang liberal, yaitu masyarakat yang memiliki pemahaman kebebasan tingkah laku. Tak ingin terikat dengan aturan Tuhan, mengesampingkan halal haram, dan mengutamakan kebahagiaan dunia semata.
Islam menganggap miras adalah induk dari kejahatan sehingga untuk menciptakan kehidupan yang aman, salah satu yang harus ditegakkan adalah pelarangan miras, baik pelarangan produksinya, konsumsinya, hingga distribusinya.
Allah dengan tegas melarang peredaran miras hingga yang terkena dosa bukan hanya peminumnya saja, tetapi juga penjualnya dan orang-orang yang terlibat di dalam peredarannya, seperti sopir pengangkut miras, kuli angkutnya, yang mengoplosnya, orang yang mengambil untung dari penjualan miras, dan lain-lain.
“Allah melaknat khamr (minuman keras), peminumnya, penuangnya, yang mengoplos, yang minta dioploskan, penjualnya, pembelinya, pengangkutnya, yang minta diangkut, serta orang yang memakan keuntungannya.” (HR Ahmad)
Islam mengatur bagaimana menciptakan masyarakat yang bebas dari miras, bukan hanya diberlakukan larangan secara mutlak, tetapi juga harus dibangun pemahaman pada individu-individu umat bahwa miras adalah benda yang haram karena zatnya.
Selain itu, Islam juga menerapkan sistem sanksi, yang akan sangat menjerakan pelaku. Ali ra. berkata,
جَلَّدَ رَسُوْلُ اللهِ أَرْبَعِيْنَ وَأَبُو بَكْر أَرْبَعِيْنَ وَعُمَرَ ثَمَانِيْنَ وَكُلٌ سُنّةٌ وَهَذَا أَحَبُّ إِلَيَّ
“Rasulullah SAW mencambuk peminum khamar sebanyak 40 kali. Abu bakar juga 40 kali. Sedangkan Utsman 80 kali. Kesemuanya adalah sunah. Namun, yang ini (80 kali) lebih aku sukai.” (HR Muslim)
Karut-marut sistem hukum di Indonesia, termasuk sanksi bagi yang memperjualbelikan atau mengonsumsi miras, semestinya memunculkan kesadaran bahwa dominasi sistem sekularisme kapitalisme neoliberal tidak bisa dibiarkan. Jika sistem rusak masih dibiarkan, maka umat akan tetap jauh dari jalan kebenaran dan jalan kebangkitan.
Dengan menerapkan sistem Islam, kesehatan manusia akan lebih terjaga dari kerusakan akibat miras. Keamanan di tengah masyarakat pun akan tercipta dan umat hidup dalam keberkahan dan penuh martabat. []
Nur Syamsiyah, M.E.
Praktisi Pendidikan