Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Kisruh Putusan MK, UIY: Inilah Demokrasi yang Sebenarnya

Selasa, 27 Agustus 2024 | 17:07 WIB Last Updated 2024-08-27T10:08:00Z
TintaSiyasi.id -- Menanggapi kehebohan soal langkah kilat Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menggelar rapat kerja dengan pemerintah sehari setelah Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian gugatan perkara nomor 60/PUU-XXII/2024 yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora terhadap Revisi Undang-undang (UU) Pilkada, Cendekiawan Muslim Ustaz Ismail Yusanto (UIY) mengatakan itulah demokrasi yang sebenarnya.

"Ini cacat demokrasi. Jadi, demokrasi yang sebenarnya, ya, yang kayak begini ini," katanya di UIY Official: Kisruh MK, Mencederai Demokrasi atau Cacat Demokrasi?, Jumat, 23 Agustus 2024.

Langkah DPR yang diduga menjegal putusan MK demi meloloskan Kaesang, putra Presiden Jokowi menjadi calon gubernur itu, meski pada akhirnya rencana rapat paripurna pengesahan RUU Pilkada tersebut batal, dinilai UIY merupakan wujud nyata perubahan negara hukum (hukum mengatur kekuasaan) menjadi negara kekuasaan (kekuasaan mengatur hukum).

"Negara kekuasaan, kekuasaan yang mengatur hukum. Nah, ini hari, kekuasaan itu begitu rupa memainkan terus instrumen kekuasaannya, baik itu di eksekutifnya sendiri, juga di legislatif oleh karena ketua umum dari partai-partai politik yang dalam teori itu semestinya dia duduk di legislatif juga ada di eksekutif, dan ternyata juga dia melakukan intervensi sampai ke yudikatif untuk kepentingan kekuasaan," ungkapnya.

Lebih lanjut ia menerangkan, pada kondisi yang dikenal dengan istilah begal konstitusi ini, penguasa melakukan usaha perubahan peraturan perundang-undangan melalui prosedur, tetapi dengan substansi yang justru bertentangan dengan peraturan perundang-undangan itu sendiri sehingga tampak konstitusional tetapi sebenarnya inkonstitusional. Ketika terjadi perubahan ambang batas usia wakil presiden, misalnya, lanjutnya, meski memang diputuskan oleh MK tetapi mengetahui bahwa di balik keputusan tersebut ada cawe-cawe kekuasaan, terbukti kemudian Ketua MK dinyatakan melanggar etika berat hingga dicopot dari kedudukannya.

"Justru di situ letak masalahnya demokrasi," tegasnya. 

Kondisi ini menurutnya adalah fakta ketika hukum diserahkan kepada pihak yang berkepentingan, maka pasti hukum menjadi area permainan mereka yang berkepentingan. Kontradiksi pernyataan presiden terhadap keputusan MK menurut UIY adalah contohnya. Terhadap putusan MK sebelumnya soal ambang batas usia presiden dan wakil presiden, Jokowi menyatakan harus dihormati, final dan mengikat, tetapi di saat ada keputusan menyangkut pilkada, dia mengatakan itu perbedaan biasa. 

"Itu menunjukkan bahwa ini problem yang besar. Akhirnya kemudian kita bisa melihat bahwa hukum tidak pernah bisa stady. Padahal, masyarakat itu akan menjadi teratur bisa hukum itu stady, hukum itu stabil, ada kepastian. Ketika terjadi ketidakpastian, maka itu sebenarnya sama seperti tidak ada hukum. Nah ini sebenarnya yang berbahaya dalam demokrasi," terangnya.

Pembegalan konstitusi, selain karena kepentingan, menurut UIY juga terjadi karena adanya alat kekuasaan dan transaksi finansial. Akhirnya, mereka yang punya kekuasaan dan memiliki kemampuan finansial itulah yang bisa mengubah-hukum hingga kesamaan di muka hukum tidak terjadi. 

"Jargon di bidang hukum mengatakan equality before the law (kesamaan di muka hukum). Hal ini tidak terjadi. Karena apa? Mereka yang punya kekuasaan dengan modal besar itulah yang kemudian bisa membajak hukum atau memperlakukan hukum demi kepentingan dia," ujarnya.

Hal inilah menurutnya merupakan kecacatan, wujud demokrasi sebenarnya. "Jadi, demokrasi yang sebenarnya ya yang kayak begini ini. Jadi kalau orang ingin melihat, kenapa sih kok orang menolak demokrasi? Sekarang, inilah bukti sangat nyata bahwa demokrasi itu dalam teorinya kedaulatan di tangan rakyat, tetapi pada faktanya kedaulatan di tangan pemilik modal. Pemilik kekuasaan yang di belakangnya itu adalah para pemilik modal," tegasnya.

Di samping itu, lanjutnya, demokrasi cacat karena nir-nilai-nilai spiritual, tidak mengenal pahala/dosa, halal/haram, ataupun menyeru untuk takut kepada Sang Khalik, tetapi yang diperbincangkan hanyalah kepentingan. 

"Jadi semuanya sudah bicara soal kepentingan-kepentingan dia. Paling jauh itu adalah hormatilah kedaulatan rakyat. Jadi, sebenarnya ketika menggunakan sistem itu (demokrasi), kita ini sebenarnya sudah secara langsung meninggalkan arena Di mana Di situ kita secara sadar meninggalkan Tuhan," pungkasnya.[] Saptaningtyas

Opini

×
Berita Terbaru Update