TintaSiyasi.id -- Putusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang memvonis bebas terhadap putra anggota DPR RI Edward Tannur, Gregorius Ronald Tannur atas kasus penganiayaan yang mengakibatkan kematian terhadap Dini Sera Afrianti menuai kontroversi.
Pasalnya, PN menilai Ronald Tannur tidak bersalah melakukan tindak pidana, padahal barang bukti berupa rekaman CCTV dan hasil visum korban telah dihadirkan dalam persidangan. Hal serupa juga disampaikan oleh Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Prof Nur Basuki Minarno menyebut putusan vonis hakim PN Surabaya itu tidak berdasar hukum. Fakta-fakta yang ada di dalam persidangan, itu tidak berdasar hukum (jpnn.com, 26/7/2024).
Pihak keluarga korban Dini Sera Afrianti tidak menerima keputusan majelis hakim dan berencana akan melaporkannya ke Badan Pengawasan (Bawas) Mahkamah Agung (MA). Pengacara keluarga korban menyampaikan akan bekerjasama dengan semua pihak yang peduli dengan keputusan ini. Keputusan ini menunjukkan betapa sulitnya mencari keadilan di negeri ini (surabaya post, 24/7/2024).
Kasus serupa Ronald Tannur bukanlah pertama kalinya, kasus bebas vonis seperti ini kerap terjadi. Terutama ketika pelaku kasus hukum melibatkan koneksi yang berpengaruh atau memiliki posisi dalam penegakkan hukum. Sebaliknya, jika pelaku hanya orang biasa dan tidak memiliki koneksi penting maka dengan mudah putusan hukuman diberikan. Inilah istilah hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Kasus ini menjadi pertanyaan besar, apakah Ronald Tannur bebas karena ayahnya orang yang berpengaruh di DPR? Apakah karena dia memiliki koneksi orang dalam dan bebas memperjual belikan hukum? Pada akhirnya, putusan hukum patut dipertanyakan keadilannya karena tidak berpihak kepada kebenaran.
Hal ini menunjukkan potret buram keadilan di negeri ini. Penerapan sistem kapitalisme demokrasi hari ini melahirkan orang-orang yang jauh dari aturan syariat. Aturan yang mereka gunakan adalah aturan manusia dan standarnya adalah manfaat. Akibatnya, banyak sekali hak rakyat yang tidak tertunaikan, bahkan cenderung terzalimi dan terkhianati. Fenomena ini sungguh miris dan memprihatinkan. Di bawah sistem kapitalisme, penguasa menghalalkan kezaliman kepada rakyatnya. Bahkan kezaliman terbesar dan terburuk mereka lakukan, yaitu tidak menerapkan hukum Allah.
Allah SWT berfirman, “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS Al-Maidah [5]: 50).
Selama aturan hukum yang diterapkan adalah hukum buatan manusia, sampai kapan pun rakyat tidak akan memperoleh keadilan. Wajar jika akhirnya keadilan versi kapitalisme demokrasi hanya ilusi karena sumber penetapan hukumnya adalah akal pikiran manusia. Sedangkan manusia adalah makhluk yang lemah, terbatas, dan sering terjebak pada konflik kepentingan.
Miris, kehidupan sudah serba modern, mekanisme pembuktian seseorang dalam melakukan kejahatan saja masih sulit dan berpeluang untuk diubah. Hal ini terjadi karena tidak hanya hukumnya buatan manusia, tetapi mekanisme pembuktiannya juga buatan manusia. Alhasil, segala sesuatu dapat dibuat-buat dan diubah sesuai permintaan dan pesanan.
Sungguh, hanya Islam satu-satunya agama yang sempurna dan menyeluruh. Islam tidak hanya sebuah agama, melainkan seperangkat aturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Kedaulatan hukum Islam berada di tangan syarak maka jelas tidak akan ada jual beli dalam menetapkan hukum. Hal ini karena sistem peradilan Islam berbasis pada ketundukan terhadap hukum Allah sehingga tidak akan ada yang berani mempermainkannya.
Islam telah memberikan aturan bagi segala aktivitas manusia berdasarkan hukum syar’i. Seandainya melanggar hukum-hukum tersebut maka dibutuhkan sanksi bagi tindakan kejahatan sehingga seseorang dapat menjalankan setiap yang diperintahkan Allah dan menjauhi segala hal yang dilarang.
Perihal sanksi (‘uqubat) di dunia, pelaksanaanya dilakukan oleh Khalifah atau orang yang ditunjuk mewakilinya. Islam memandang uqubat (sanksi hukum) tersebut sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (kuratif). Disebut pencegah (preventif) karena dengan diterapkannya sanksi, orang lain dicegah untuk melakukan hal yang sama.
Hal ini sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur’an, “Dan dalam hukuman qisas itu terdapat kehidupan bagi kalian, wahai orang-orang yang mempunyai pikiran agar kalian bertakwa.” (QS Al-Baqarah [2]: 179).
Adapun yang dimaksud dengan kuratif adalah agar orang yang melakukan kejahatan, kemaksiatan, atau pelanggaran tersebut bisa dipaksa untuk menyesali perbuatannya. Dengan begitu, akan terjadi penyesalan selama-lamanya atau tobat nasuhah.
Dengan demikian, pelaksanaan mekanisme pemberian sanksi akan terlaksana sesuai dengan aturan syariat apabila sistem yang diterapkan adalah sistem Islam. Oleh karena itu, sudah seharusnya umat ikut andil dalam memperjuangkan tegaknya hukum Allah dalam sebuah institusi Islam, yakni Daulah Islamiyah.
Wallahu a'lam. []
Oleh: Novriyani, M.Pd.
(Praktisi Pendidikan)