Tintasiyasi.ID -- Direktur Pusat Pendidikan Hadis Ajengan Yuana Ryan Tresna, M.E., M.Ag. mengungkapkan bahwa terdapat tiga sudut pandang tentang kekeliruan konseptual gagasan dialog antaragama yang dirilis di akun Telegram Yuana Ryan Tresna Official: Afkar Bahaya Dialog Antar Agama, Jumat (12/07/2024).
"Terdapat beberapa (tiga) sudut pandang tentang kekeliruan konseptual gagasan dialog antaragama: pertama, prinsip persamaan semua agama. Dialog antaragama didasarkan pada persamaan antarkeyakinan, agama, dan peradaban tanpa adanya keyakinan, agama, atau peradaban yang lebih unggul atau lebih baik daripada yang lain," tuturnya.
"Kemudian, diharapkan dapat terwujud suatu peradaban alternatif dengan mencari titik temu antar kedua agama. Karena pada dialog tersebut tidak boleh menyanggah dan membuktikan kesalahan dari agama lain. Pada saat yang sama, peradaban Barat tetap memandang Islam sebagai musuh," tambahnya.
Lalu ia menyitat buku The End of History karya pemikir Amerika Francis Fukuyama, menyatakan ”sistem kapitalisme adalah babak penghabisan yang abadi bagi umat manusia di bumi. Akan tetapi Islam, meskipun dalam kondisi lemah dan tercerai-berai, sesungguhnya tengah mengancam agama baru yang menang ini (yaitu, kapitalisme)”.
"Para pemikir orientalis seperti Bernard Lewis menyatakan pandangannya tentang Islam dan kapitalisme, bahwa keduanya bertentangan satu sama lain. Samuel P. Huntington, profesor ilmu-ilmu politik di Universitas Harvard Amerika, juga mengatakan, ‘Sesungguhnya benturan antarperadaban nanti akan mendominasi politik luar negeri. Batas-batas pemisah antarperadaban di masa depan nantinya akan menjadi batas-batas konfrontasi antarperadaban.’’,” lanjutnya.
"Kedua, klaim tidak ada kebenaran mutlak. Mereka memandang perlunya upaya mencari kebenaran yang harus dipandang relatif (nisbi), sehingga tidak boleh seorang pun mengklaim telah memonopoli kebenaran," jelasnya.
Dengan ungkapan seperti itu, ia katakan, mereka bermaksud membangun pola baru hubungan antar umat beragama, dari yang eksklusif (yang mengakui kebenaran agamanya sendiri) menjadi inklusif atau bahkan pluralis.
"Dengan itulah, kata mereka, maka kerukunan umat beragama dapat diwujudkan. Sebab, tidak ada lagi klaim kebenaran (absolute truth claim) yang bersifat mutlak pada masing-masing pemeluk agama. Bahkan, oleh Charles Kimball, melalui bukunya When Religion Becomes Evil “absolute truth claim adalah ciri pertama dari agama jahat (evil)”. Pandangan itu tidak benar," terangnya
Menurutnya, sebelum kerukunan tercapai, reduksi keyakinan atau keimanan pada masing-masing pemeluk agama sudah terjadi. Ketika itu pula sebenarnya tidak perlu ada dialog antar pemeluk agama lagi, sebab mereka semua sudah melepaskan imannya masing-masing. Teologinya sudah menjadi satu, universal theology of religion.
"Ujung dari penyebaran paham adalah yaitu ketidakyakinan atau keraguan umat beragama terhadap kebenaran agamanya sendiri. Inilah akar dari pemikiran pluralisme agama yang mengakui kebenaran relatif dari semua agama," sebutnya.
"Ketiga, tuduhan agama sebagai sumber konflik. Tuduhan ini mengandung dua motif sekaligus: justifikasi dialog antaragama demi terciptanya perdamaian dan mengaburkan sumber konflik yang sebenarnya," ujarnya.
Namun faktanya, ia katakan, imperialisme negara-negara Baratlah yang telah melahirkan konflik dan kerusakan di dunia Islam. Bahkan konflik tersebut sengaja dipelihara agar umat Islam dalam keadaan lemah. Di pihak lain, Barat tidak jujur dengan propagandanya sendiri, karena sesungguhnya pihak Barat yang menyerukan dialog dengan kaum Muslim dan memimpin berbagai konferensi dialog antaragama itu, memandang Islam dengan pandangan permusuhan.
"Pandangan inilah yang menjadi motif bagi dialog antaragama, yang dijadikan dasar untuk mengontrol dan mengatur kegiatan tersebut. Bagaimana umat Islam harus tunduk pada nilai-nilai Barat seperti HAM dan Demokrasi," tutupnya.[] Lanhy Hafa