TintaSiyasi.com -- Merespons tuduhan bahwa fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang haramkan salam lintas agama mengancam Pancasila, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI Pusat Kiyai Muhyidin Junaidi menilai, ada pihak yang berusaha menghidupkan kembali budaya sinkretisme.
"Yang terjadi saat ini adalah ada kelompok tertentu yang berusaha untuk menghidupkan kembali budaya sinkretisme," tuturnya dalam Fokus: Salam Lintas Agama Ancam Pancasila? di kanal YouTube UIY Official, Ahad (23/6/2024).
Menurutnya, saat ini ada upaya untuk menyatukan kaidah-kaidah agama dengan budaya. Sinkretisme di dalam bahasa arabnya dikenal taufiqiyyah atau attaufiqu bainal muqoddati wal adyani huwa ats-tsaqofat. "Jadi upaya untuk menyatukan antara kaidah-kaidah agama, budaya, dan pemikiran. Ya, itu ingin disatukan," ungkapnya.
Ia menerangkan, upaya tersebut bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga pada level internasional. Misalnya Uni Arab Emirat, negara Arab yang sudah melakukan normalisasi hubungan dengan Israel itu sekarang menghabiskan miliaran dolar Amerika untuk membangun begitu banyak rumah-rumah ibadah hinduism, budism, konghucuism, ataupun zoroasterism.
"Masalah taufiqiyyah (sinkretisme) ini sedang ramai lagi dibahas bukan tidak hanya di tataran nasional atau Asia, bahkan di negara Arab sekarang ikut-ikutan," ujarnya.
"Itu hinduism itu, mereka diberikan fasilitas dan lahan, dibangunkan sebuah rumah ibadah yang sangat mewah sekali di dunia negara Uni Emirat Arab. Mungkin ratusan US Dolar itu. Karena Emirat ingin negaranya disebut sebagai negara yang moderat. Ya, negara yang menjunjung tinggi toleransi beragama, negara yang demokratis," imbuhnya.
Hal itu menurutnya memberikan pengaruh ke dunia luar hingga muncul anggapan bahwa di daerah asal ajaran Islam, Timur Tengah pun sudah membolehkan sinkretisme.
Salam adalah Ibadah
Berkenaan dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan pengucapan salam lintas agama, Kiyai Muhyidin mengatakan, hal itu dilakukan mengingat dalam Islam, mengucapkan salam adalah bagian dari ibadah yang sudah jelas tuntunannya.
"Nah, mengapa itu menjadi arahan? Karena bagi umat Islam, yang namanya assalam, juz'un minal ibadah (bagian dari ibadah). Ibadah itu namanya al ibadah tauqifiy. Jadi tauqifiy itu sudah ada aturan mainnya. Sudah ada juklak, dan juknisnya. Tidak boleh kita menambah dan juga tidak boleh kita mengurangi," terangnya.
Karena merupakan bagian dari ibadah tersebut, ia mengingatkan agar tidak dicampuradukkan dengan lainnya. "Jangan sampai dicampuradukkan dengan yang lainnya, ya. Itu namanya sinkretism. Ya, kita tidak boleh menyebarluaskan budaya sinkretism, semua yang baik-baik dikumpulkan dijadikan sebuah mu'taqadatu diin, kepercayaan yang baru. Enggak usah lagi kita bahas masalah Pancasila. Kita punya greeting umat Islam itu Assalamualaikum. Itu sudah sangat komprehensif," tegasnya.
Dia pun menjelaskan, ketika seorang muslim hendak mengucapkan salam dalam forum yang tidak ada umat Islam-nya, dapat mengucapkan, Assalamu ala manittabaal huda. "Karena tidak ada umat Islam-nya, ya, kita bisa aja ucapkan assalamu ala manittabaal huda. Selamat bagi orang yang mendapatkan hidayah. Tapi assalamu ala manittabaal huda ini tidak boleh diucapkan kepada orang yang muslim," terangnya.
Sementara itu, bila objek orang yang mendengarkan ada yang beragama Islam meski sebagian kecil, maka seorang muslim tetap wajib mengucapkan Assalamualaikum.
"Apabila jamaah atau objek orang yang mendengarkan ucapan kita itu ada muslimnya walaupun 50-60 dari 2000 orang maka kita punya kewajiban untuk mengucapkan salam kepada mereka, khususnya kepada umat Islam. Kita doakan kedamaian bagi semua orang yang belum mendapatkan hidayah Islam itu akan menikmati ya akan dinikmati juga oleh mereka yang bukan orang Islam," pungkasnya.[] Saptaningtyas