TintaSiyasi.id -- Para Filosof Barat ketika membahas konsep kekuasaan dan peralihannya dari gereja kepada rakyat, bertolak dari ide khayalan hipotesis yang tidak memiliki realitas. Mereka berpandangan bahwa sistem yang mengejawantahkan ide ini seperti yang dibayangkan oleh mereka dalam entitas politik untuk menjalankan kedaulatan rakyat, dengan nama sistem demokrasi.
Namun perlu dicatat bahwa demokrasi telah dan masih menjadi obyek kritik dari para pemikir Barat sendiri. Demikianlah yang tertulis dalam buku yang diterjemahkan oleh Yahya Abdurrahman berjudul Kritik Terhadap Pemikiran Barat Kapitalis, terbitan Pustaka Fikrul Islam, Cetakan I, 2022 (halaman 120-124).
Dalam buku tersebut dituliskan bahwa para pemikir Barat mengakui adanya kritik yang telah dan masih akan terus berlanjut terhadap sistem demokrasi. Seperti yang diakui oleh Jacques Rancière dalam bukunya, The Hatred of Democracy, dengan mengatakan bahwa kebencian terhadap demokrasi bukan hal yang baru, melainkan setua demokrasi.
Kritik mendasar yang disampaikan oleh sebagian besar pemikir Barat terhadap teori demokrasi berawal secara mendasar pula, yaitu dari istilah "rakyat", sebagai istilah ambigu yang diperselisihkan dalam pendefinisian maknanya.
Setelah itu, perbedaan pendapat beralih ke pandangan pada aspek prosedural untuk menertibkan konsep pemerintahan rakyat, yang mana aspek prosedural secara praktis membuktikan keimajineran ide itu sendiri dan ketidakrealistisannya.
Apabila melihat makna linguistik demokrasi sebagai pemerintahan rakyat, menurut penjelasan buku tersebut, akan ditemukan ketiadaan maknanya dari kenyataan hingga pada zaman orang Yunani sendiri yang pertama kali membuat ide demokrasi.
Sebab kata “rakyat” menurut mereka merujuk pada sekelompok orang merdeka tertentu, dan dikecualikan wanita, budak, serta bukan keturunan Athena.
Kemudian sebagian pemikir Barat menyadari ketidakrealistisan teori tersebut dari aspek prosedural. Karena berkumpulnya seluruh rakyat untuk memerintah dan mengurus negara merupakah perkara yang mustahil. Maka, mereka mengembangkan bentuknya dan menciptakan apa yang disebut demokrasi representatif atau demokrasi perwakilan.
Lanjut dalam buku yang sama dituliskan, demokrasi dalam konsep global modernnya seperti yang dipasarkan Barat, tidak terlepas dari ide kebebasan. Kebebasan bukanlah konsep baru dan bukan hasil kejeniusan Barat sebagaimana anggapan mereka, melainkan warisan Yunani.
Di dalam buku Politics Aristoteles mengatakan, "Doktrin pemerintahan demokrasi tidak lain adalah kebebasan. Karena kebebasan seperti yang dikatakan, adalah tujuan konstan untuk setiap demokrasi.
Namun konsepsi kebebasan modern berbeda dari konsepsi Yunani. Hal itu merupakan sesuatu yang membedakan Barat dari zaman pencerahan dan munculnya filsafat liberal. Karena itu, demokrasi dalam terminologi modern diekspresikan dengan demokrasi liberal, untuk membedakannya dari demokrasi lainnya, yang lama atau baru, seperti demokrasi sosialis.
Karena demokrasi yang tepat dalam persepsi Barat adalah demokrasi yang terkait erat dengan konsepsi kebebasan yang disetujui oleh akal pikiran Barat pada masa pencerahannya. Karena itu, demokrasi dideskripsikan sebagai seperangkat ide dan doktrin yang terkait erat dengan kebebasan seperti yang mereka bayangkan.
Buku tersebut juga mengungkapkan bahwa sebagian pemikir menganggap demokrasi adalah kritik terhadap Pemikiran Barat Kapitalis sebagai institusionalisasi ide kebebasan (institutionalization of fredom).
Atau dengan kata lain, konsensus telah terjadi pada pendukung demokrasi Barat bahwa demokrasi tidak terlepas dari sejumlah perkara yang dianggap sebagai pilarnya, yaitu: kedaulatan milik rakyat, pembagian kekuasaan, kebebasan, hak asasi manusia, kesetaraan, pluralisme, pemilihan umum yang bebas dan adil, perpindahan kekuasaan yang damai, supremasi hukum, dan pemerintahan mayoritas seraya menjaga hak minoritas.
Orang yang menelusuri gerakan intelektual Barat, menurut buku tersebut niscaya mencatat adanya tren yang telah mengkristal selama beberapa dekade pada sejumlah pemikir ke arah mengadopsi kriteria yang realistis untuk pemerintahan dan menolak konsep demokrasi teoritis setelah menjadi jelas bagi mereka bahwa demokrasi tidak realistis.
Tren itu dipimpin oleh sekelompok pemikir Barat, antara lain: V. Pareto, Mosca, Robert Michels, C. Wright Mills dan lain-lain. Mereka mengadopsi Teori Elite (Elite Theory), yang didasarkan pada ide akuisisi minoritas dari rakyat terhadap kekuatan di dalam masyarakat.
Pemikir Barat Mosca, merangkum fakta ini dalam bukunya The Ruling Class dengan mengatakan bahwa di dalam semua masyarakat yang terstruktur, yang disebut pemerintah, kelas yang berkuasa, atau lebih tepatnya mereka yang menjalankan kekuasaan publik, selalu merupakan minoritas, ditemukan banyak kelas individu yang tidak berpartisipasi di dalam pemerintahan dalam arti partisipasi yang sebenarnya. Tetapi hanya tunduk pada kelompok minoritas yang berkuasa dengan sebutan kelas yang diperintah.
Begitu juga dengan ilmuwan politik dan hukum Prancis, Maurice Duverger (M. Duverger), menuliskan dalam bukunya berjudul, Political Parties (Partai Politik), mengusulkan untuk mengubah rumusan "pemerintahan rakyat oleh rakyata” dengan rumusan lain yang mengungkapkan hakikat realitas pemerintahan, yaitu: "pemerintahan rakyat oleh kelas elit dari rakyat".
Selain itu, terdapat beberapa poin kritik paling penting terhadap demokrasi oleh para Pemikir Barat selama ini yang dituliskan dalam buku tersebut.
Poin pertama, demokrasi adalah tirani mayoritas dan terlantarnya hak minoritas. Kedua, terdapat bahaya meluasnya kekuatan opini publik. Sebab pemilihan dan keputusan tunduk pada opini publik, yang dikendalikan oleh kekuatan tertentu dari para pemilik kepentingan dan kelompok penekan.
Selanjutnya poin ketiga, muncul hukum besi oligarki (oligarchy) yang menetapkan monopoli kekuasaan dan pengorganisasian politik di tangan sekelompok kecil kapitalis. Dan keempat, seiring waktu berubah menjadi lebih birokrastis. Sebab seiring berjalannya waktu menjadi lebih kompleks sehingga kekuasaan hanya ada di tangan para spesialis saja.
Inilah beberapa kritik yang dilontarkan para pemikir Barat sendiri terhadap demokrasi. Namun sayangnya, kebanyakan dari mereka tidak menawarkan alternatif penggantinya, malainkan tetap berpijak padanya, seperti kaedah yang baku. Mereka tidak mampu membayangkan cara lainnya dalam pemerintahan. [] M. Siregar