Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Hijrah Membangun Negara Adi Daya Baru: Khilafah Islamiah

Selasa, 09 Juli 2024 | 18:32 WIB Last Updated 2024-07-09T15:38:19Z

TintaSiyasi.id -- Hijrah; Tinjauan Bahasa dan Istilah

Secara literal, kata al-hijrah merupakan isim (kata benda) dari fi'il (kata kerja) hajara, yang bermakna dlidd al-washl (lawan dari tetap atau sama). Bila dinyatakan "al-muhajirah min ardl ila ardl" (berhijrah dari satu negeri ke negeri lain); maknanya adalah "tark al-ula li al-tsaniyyah" (meninggalkan negeri pertama menuju ke negeri yang kedua). [Imam al-Raziy, Mukhtar al-Shihah, hal. 690; Imam Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy, juz 3, hal.48].

Masih menurut bahasa, al-hijrah bermakna al-intiqâl (berpindah) dari satu tempat atau keadaan ke tempat atau keadaan lain, dan tujuannya adalah meninggalkan yang pertama menuju yang kedua. M. Ali bin Nayif Asy Syahud dalam Al-Mufashshol fi Ahkam al-Hijrah menyatakan:

الهجرة لغة الإنتقال و الخروج من أرض إلى أرض

Hijrah secara bahasa artinya adalah berpindah atau keluar dari satu tempat menuju adalah tempat lain. (M. Ali bin Nayif Asy-Syahud, Al-Mufashshol fi Ahkam al-Hijrah, hal. 14)
Hijrah adalah istilah syar’i. Para ulama telah merumuskan definisinya. Imam ash-Shon’ani, Imam Asy-Syaukani dan Imam Nawawi dengan merujuk ta’rif yang dirumuskan Ibnu al-‘Arabi menyatakan: 

الْهِجْرَةُ هِيَ الْخُرُوجُ مِنْ دَارِ الْحَرْبِ إلَى دَارِ الْإِسْلَامِ (سبل السلام ج.6 ص.128. نيل الأوطار ج.12 ص. 270. المجموع ج. 19 ص. 264)

Hijrah adalah meninggalkan dar al-harb (harb bermakna perang, istilah lain dari dar al-kufur), lalu berpindah menuju dar al-Islam (Subul As-Salam 6/128, Nail al-Authar 12/270, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab 19/264). 

Definisi yang persis sama, hanya beda istilah dinyatakan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, beliau nyatakan:

الهجرة هي الخروج من دار الكفر إلى دار الإسلام

Hijrah adalah meninggalkan dar al-Kufr (negara kufur) menuju dar al-Islam (negara Islam) (Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, II/276].

Darul Islam dalam definisi ini adalah suatu wilayah (negara) yang menerapkan syariat Islam dan keamanannya berada dalam kendali kaum Muslim. Sebaliknya, darul kufur adalah negara yang tidak menerapkan syariat Islam atau keamanannya bukan di tangan kaum Muslim, sekalipun mayoritas penduduknya beragama Islam. (Muqaddimah Dustur pasal 2 juz 1 hal. 10-16). Definisi hijrah semacam ini diambil dari fakta Hijrah Nabi SAW sendiri dari Makkah (yang saat itu merupakan darul kufur) ke Madinah (yang kemudian menjadi darul Islam). Peristiwa Hijrah, paling tidak, memberikan makna sebagai berikut:

Pertama, pemisah antara kebenaran dan kebatilan; antara Islam dan kekufuran; serta antara darul Islam dan darul kufur. Menurut Umar bin al-Khaththab ra ketika beliau menyatakan: Hijrah itu memisahkan antara kebenaran dan kebatilan. 
Kedua, tonggak berdirinya Daulah Islamiyah untuk pertama kalinya. Dalam hal ini, para ulama dan sejarawan Islam telah sepakat bahwa Madinah setelah Hijrah Nabi SAW telah berubah dari sekadar sebuah kota menjadi sebuah negara Islam; bahkan dengan struktur yang menurut cendekiawan Barat, Robert N. Bellah terlalu modern untuk ukuran zamannya. Saat itu, Muhammad Rasulullah SAW sendiri yang menjabat sebagai kepala negaranya. 


Hijrah Hakiki: Hijrah Penerapan Sistem Islam Kaffah (Totalitas)

Saat para sahabat Nabi berdiskusi mengenai kapan dimulainya penanggalan Islam. Sayyiduna Umar bin Khattab selaku khalifah mengusulkan hijrah sebagai awal tahun dalam Islam. Beliau mengutarakan argumennya:

الْهِجْرَة فَرَّقَتْ بَيْن الْحَقّ وَالْبَاطِل فَأَرِّخُوا بِهَا

Hijrah itu memisahkan antara kebenaran dan kebatilan, maka jadikanlah hijrah sebagai tonggak sejarah penanggalan Islam. (Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fathul Bâriy Syarh Shahih Bukhari 11/264). 

Hijrah di masa Nabi adalah perubahan sistemik dalam seluruh bidang. Praktik ibadah yang sebelumnya dilakukan secara sembunyi-sembunyi setelah hijrah dapat dilakukan secara terang-terangan di Madinah. Secara sosial, praktik mengubur bayi hidup-hidup, praktik perkawinan yang tidak sesuai syariat setelah hijrah tidak lagi terjadi. Secara ekonomi, praktik riba, curang dalam timbangan dan takaran diganti dengan system ekonomi Islam. Sistem hukum yang timpang diganti dengan sistem hukum dan sistem sanksi Islami yang diantara prinsifnya adalah kesetaraan di depan hukum (equality before the law). Sejak hijrah, dakwah diemban langsung oleh negara (Daulah). Negara baru yang dibangun oleh Rasulullah ini menegakkan hukum-hukum syariat di dalam negeri. Menerapkan politik luar negeri yang asasnya adalah penyebaran Islam dengan metode dakwah dan jihad. Puncaknya pada tahun ke-8 hijrah. Makkah yang sebelumnya berstatus darul kufur/darul harb berubah status menjadi darul Islam. Bukan darul Islam yang terpisah dengan Madinah, namun menjadi salah satu wilayah (provinsi) dari Daulah Islam yang berpusat di Madinah. Sejak saat itu tak ada lagi hijrah secara istilah syar’I dari Makkah ke Madinah. Karena Makkah telah update status menjadi dâr al-Islam. Dalam konteks inilah Nabi kita menyatakan:

لَا هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ

Tidak ada hijrah setelah dibebaskan (Makkah), tetapi jihad dan niat tetap akan ada (HR. Bukhari dan Muslim)

Sejak fathu Makkah, entitas penjaga kemusyrikan telah tumbang. Saat penghalang fisik ini telah tumbang, lenyap pula rasa takut dari suku-suku Arab. Jadilah tahun ke-9 hijrah sebagai ‘amul wufud. Tahun kunjungan suku-suku arab ke pusat negara Islam di Madinah untuk menyatakan keislaman mereka. Mereka masuk Islam bukan orang per orang, tapi berbondong-bondong.

Jika kita refleksikan hijrah Nabi pada masa kita saat ini, jelas sekali diperlukan hijrah sistem. Ibarat rumah. Rumah peradaban kapitalisme-demokrasi adalah rumah yang bobrok. Rumah yang miring dan hendak rubuh. Tak cukup renovasi di titik-titik tertentu, bangunan peradaban yang ringkih ini mesti dibongkar dari pondasinya, lalu dibangun rumah peradaban yang baru. Kapitalisme-sekuler yang asasnya menihilkan peran Allah pada ranah publik dan bernegara mesti diubah dengan Aqidah Islam yang menghadirkan peran Allah dalam semua sektor kehidupan. Sistem ekonomi kapitalisme yang hanya menguntungkan pada kapitalis yang berselingkuh dengan penguasa, mesti hijrah pada sistem Islam yang menjamin kesejahteraan dan pemerataan ekonomi. Sistem demokrasi yang merampas otoritas Allah ta’ala sebagai al-hâkim (pembuat hukum) dan menjadikan manusia sebagai tuhan-tuhan tandingan selain Allah mesti dihijrahkan menjadi sistem politik yang mengembalikan as-siyâdah (kedaulatan) pada Allah semata. Sistem sosial-budaya yang hedonis (serba boleh) mesti dihijrahkan menjadi sistem sosial yang berstandar halal-haram dengan tujuan menggapai ridho Allah. Ringkasnya, hijrah hakiki adalah hijrah secara total dengan menerapkan sistem Islam secara kaffah (totalitas) dan berpaling dari seluruh langkah-langkah syaitan (sistem selain Islam). Allah berfirman: 

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara kaffah (keseluruhan), dan janganlah kalian turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu (QS. Al-Baqarah: 208).

Menurut ‘Ikrimah, ayat ini turun berkaitan dengan masuk Islamnya orang-orang Yahudi seperti Abdullah bin Salam. Mereka masuk Islam, namun meminta dispensasi pada Rasulullah untuk menerapkan sebagian aturan Taurat. Allah langsung yang menolak permintaan mereka dengan menurunkan firman-Nya. Berkaitan dengan ayat ini Imam Ibnu Katsir menyatakan:

والصحيح الأول، وهو أنَّهم أمروا [كلهم] أن يعملوا بجميع شعب الإيمان وشرائع الإسلام

Yang benar adalah pendapat pertama, yaitu bahwa mereka diperintahkan (semuanya, tanpa kecuali) untuk mengamalkan semua cabang-cabang iman dan syari’at Islam (Tafsir al-Quran al-‘Azhim 1/566).

Berdasarkan uraian di atas. Bagi seorang muslim tidak ada pilihan lain baginya kecuali hijrah kaffah, hijrah total pada sistem Islam dan mencampakkan sistem syaithan (sistem selain Islam).


Hijrah Kaffah dengan Tegaknya Khilafah

Ditinjau dari subjek pelaksana syariat Islam, maka ada tiga subjek: individu, kelompok dan negara. Ketiga subjek ini adalah tiga serangkai yang saling menguatkan satu sama lain. Negara yang kuat perlu rakyat yang bertakwa. Perangkat negara dalam menjalankan sistem Islam perlu kontrol dari individu dan kelompok/jama’ah yang melakukan aktivitas politik dengan mengoreksi penguasa. Begitu pula, untuk mewujudkan Masyarakat bertakwa pernu negara yang menerapkan sistem Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Rasulullah berjuang dan berdoa untuk terwujudnya kekuasaan yang menolong agama (sulthanan nashآra). (QS. Al-Isra:80). Lantas, siapa diri kita yang mengklaim bahwa Islam tidak perlu negara. Lebih parah lagi dengan mengkampanyekan pemisahan agama (Islam) dengan politik dan kekuasaan. Termasuk dengan menyatakan khilafah islamiyyah tertolak. Dan sejumlah kampanye hitam lain terhadap khilafah.

Islam jelas perlu kekuasaan. Tausiyah, tarhib wa targhib, bahkan istighasah kubra hanya akan berjalan secara optimal jika didukung oleh kekuasaaan. Hukuman bagi orang yang malas shalat perlu kekuasaan. Hukuman bagi orang yang sengaja berbuka tanda ‘udzur di bulan Ramadhan perlu kekuasaan. Hudud bagi murtadin, pencuri, peminum khamr dan pelanggaran lainnya perlu kekuasaan. Hukum jinayat pada kasus pembunuhan perlu kekuasaan. Ta’zir bagi pelaku riba perlu kekuasaan. Pengelolaan SDA sesuai syariat perlu kekuasaan. Menyerukan jihad untuk membela muslim Palestina jelas perlu kekuasaan. Mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia jelas perlu kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksud adalah al-khilafah. Khilafah adalah mahkota kefardhuan (tâj al-furudh). Banyak kefardhuan yang bergantung pada mahkota ini. Jika mahkotanya hilang, hilang pula banyak kefardhuan. 

Di sisi lain, khilafah itu sendiri adalah kefardhuan. Ia bagian dari ajaran Islam, tanpa bisa diingkari. Imam empat mazhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal) sepakat akan wajibnya khilafah/Imamah. 

اتفق الأئمة رحمهم الله تعالى على أن الإمامة فرض و انه لا بد للمسلمين من إمام يقيم شعائر الدين و ينصف المظلومين من الظا لمين

“Para imam (Imam Abu Hanifah, Malik, Syafii, dan Ahmad) rahimahumullah telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu fardhu dan bahwa harus ada bagi kaum muslim seorang imam (khalifah) yang menegakkan syiar-siar agama dan menolong orang yang teraniaya dari orang yang berbuat aniaya ” (Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah)

Tidak hanya imam empat madzhab, menurut Imam Ibnu Hazm al Andalusi, seluruh firqah (kecuali sedikit kelompok) telah sepakat akan wajibnya Imamah/Khilafah. Beliau menyatakan:

اتفق جميع أهل السنة وجميع المرجئة وجميع الشيعة وجميع الخوارج على وجوب الإمامة، وأن الأمة واجب عليها الانقياد لإمام عادل يقيم فيهم أحكام الله ، ويسوسهم بأحكام الشريعة التي جاء بها رسول الله صلّى الله عليه وسلم، حاشا النجدات، فإنهم قالوا:لا يلزم الناس فرض الإمامة 

“Telah sepakat semua Ahlus Sunnah, semua Murji`ah, semua Syiah, dan semua Khawarij akan wajibnya Imamah. Wajib bagi umat untuk tunduk pada imam yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah pada mereka. Imam (khalifah) tersebut mengurus umat dengan hukum-hukum syari’ah yang Rasulullah Saw datang dengan membawa syariah tersebut. Kecuali kelompok an Najadat. Mereka menyatakan: Masyarakat tidak wajib terikat dengan kefardhuan Imamah ” (Abi Muhammad Ali bin Ahmad bin Hazm , Al-Fashlu fi Al Milal wal Ahwa` wan Nihal, (Beirut: Darul Ma’rifah, 1395 H), juz, hal. 4/78)

Khilafah juga adalah janji Allah dan kabar gembira (bisyarah) dari Rasulullah. Setelah sistem diktator saat ini (fase keempat) akan kembali tegak khilafah yang mengikuti manhaj kenabian (HR. Ahmad). Wahai kaum muslimin, tidakkah kalian lihat. Genosida yang dilakukan zionis Israhell yang didukung oleh Amerika dan negara Barat penjajah serta negara-negara Arab pengekor adalah bukti paling gamblang bahwa mereka semua adalah penguasa diktator yang bengis. Semakin mereka menampakkan sikap demikian, menjadi tanda bahwa tak lama lagi akan lahir dari rahim peradaban ini sebuah negara adidaya yang akan melenyapkan entitas Yahudi dan pendukungnya. Negara baru itu adalah khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Bukankah semakin gelap malam, pertanda bahwa fajar subuh akan segera terbit.

أَلَيْسَ الصُّبْحُ بِقَرِيبٍ

Bukankah waktu subuh itu sudah semakin dekat (QS. Hud: 81)

Yaa Allah, izinkan kami menyaksikan terbitnya fajar kemenangan Islam. Kami memohon pada-Mu tegaknya khilafah rasyidah dan jadikan kami para pejuangnya. Aamiin yâ mujibas sâilîn. []


Oleh: Guru Wahyudi Ibnu Yusuf
Pimpinan Pondok Pesantren Darul Ma'arif Kalsel 

Opini

×
Berita Terbaru Update