Sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia memiliki kekayaan sumber air yang melimpah. Tak hanya terbatas pada laut dan danau saja, kita juga memiliki potensi air tanah yang besar dan jika dikelola dengan baik, tentu akan mampu mencukupi kebutuhan air bersih rakyat sehari-hari.
Namun pada kenyataannya, produksi air bersih di Indonesia masih sangat rendah dan akses masyarakat pun terbilang cukup sulit. Bagaimana bisa kita dilanda krisis di tengah kelimpahan potensi air yang kita punya?
Hal ini menuntut kita untuk merefleksi kembali soal tata kelola air yang diberlakukan Indonesia. Secara infrastruktur, layanan perpipaan air Indonesia hanya berkisar 21,69%. Sangat berbanding jauh dengan Singapura yang sudah mencapai 100% dan Malaysia 78% (Kompas, 7/2/2023). Dana APBN hanya mampu mengcover sebesar 37% kebutuhan infrastruktur air. Sisanya? Privatisasi.
Negara dengan sepenuh hati membuka pintu investasi bagi swasta dan asing. Belum lagi soal tingginya angka pencemaran terhadap lingkungan dan sumber air, pembukaan lahan secara besar-besaran, berkurangnya luas tutupan hutan, serta eksploitasi air tanah turut mempertanyakan sudah sejauh mana negeri kita berproses dalam penyejahteraan rakyat.
Lagi-lagi Komersialisasi
Dari berbagai solusi yang negara tawarkan, mayoritas regulasinya tidak jauh-jauh dari privatisasi dan pembukaan investasi asing. Kedua hal tersebut dianggap dapat meningkatkan keuntungan dan menaikkan pamor Indonesia di mata dunia. Bahkan di sistem kapitalisme hari ini berbagai negara, khusunya negara berkembang, berlomba-lomba menarik perhatian para pemilik modal untuk bersedia menanamkan hartanya di tanah mereka.
Pada praktiknya, privatisasi sumber daya air justru mengakibatkan kerugian yang fatal bagi rakyat. Potensi alam yang seharusnya dapat diakses dengan mudah, malah dikomersialisasi oleh para pemilik modal. Rakyat diharuskan membayar demi mendapatkan air bersih.
Sangat ironis, di tengah kegagalan mengayomi rakyat, negara masih saja sempat mencari celah demi cuan. Selain itu, bergantung pada asing dengan membuka pintu investasi juga merupakan hal yang berbahaya. Alih-alih mempererat hubungan bilateral, suatu saat investasi asing dapat menjerumuskan kita ke dalam kehancuran.
Negara pemodal mendominasi lahan, mulai dari tenaga kerja, kontrol, dan hasil keuntungan. Hal ini sama saja seperti membiarkan musuh mencengkeram kita, menancapkan kekuasaan mereka di negeri kita sendiri.
Dari sini jelas dapat kita simpulkan bahwa negara belum bisa memenuhi kebutuhan rakyat dengan semestinya. Negara yang seharusnya mengayomi, mempermudah akses kebutuhan hidup, dan menyejahterakan rakyatnya malah memandang segala sesuatu sebagai ladang bisnis semata. Di mana ada lahan, di siltulah bisnis digadang.
Forum internasional seperti WWF tentu amat kental dengan berbagai kepentingan ekonomi di dalamnya. Ada tujua-tujuan tertentu yang ingin mereka capai. Selama dominasi kepempinan dunia disetir oleh sistem kapitalisme, jangan harap rakyat dapat hidup tenang dan makmur.
Konservasi Air dalam Perspektif Islam
Dalam Islam, air merupakan kebutuhan pokok yang sifatnya komunal. Air dibutuhkan oleh setiap individu dalam kehidupan sehari-hari, dan pemanfaatannya pun dilakukan secara bersama-sama.
Rasulullah SAW bersabda,
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ
“Kaum muslim berserikat dalam tiga hal ; padang rumput, air, dan api”
Dengan demikian, air termasuk kepemilikan umum yang tidak diperbolehkan untuk dikuasai secara individu. Individu di sini dapat kita artikan sebagai swasta maupun asing. Maknanya, pengelolaan air sebagai kebutuhan rakyat haruslah dilakukan oleh negara secara mandiri.
Islam memiliki perspektif yang mulia terkait hubungan antara pemimpin dan rakyat. Dalam sebuah hadits dikatakan, seorang pemimpin adalah rain (pengurus dan penanggung jawab). Melalui kekuasaan yang dimilikinya, negara berkewajiban menyediakan, menjamin, dan memastikan seluruh warganya mendapatkan hak dengan layak.
Dalam konservasi air, negara harus mengaturnya secara independen mulai dari modal, tenaga kerja, dan distribusi, dengan anggaran diambil dari Baitul Mal. Negara sebisa mungkin memberi kemudahan akses air secara gratis, kalaupun harus membayar maka cukup biaya operasional saja, bukan biaya ‘air’ nya. Allah melarang negara memanfaatkan harta rakyatnya untuk keuntungan pribadi.
Saatnya Kembali kepada Kejayaan
Sejarah telah menunjukkan kepada kita bagaimana penerapan kekuasaan yang sebenarnya. Pada masa kejayaannya, khilafah amat sangat mampu menyediakan air bersih untuk umatnya. Bahkan dikisahkan seorang Khalifah bernama Fannakhusru bin Hasan (324—372 H/936—983 M) sampai digelari ‘Khalifah Pembangun Bendungan’ karena banyaknya bendungan yang beliau bangun untuk menjamin kebutuhan hidup masyarakat.
Begitulah Islam mengajarkan umatnya untuk patuh terhadap aturan Sang Khaliq, Zat yang Maha Mengetahui seluk beluk dan kekurangan manusia. Dengan menaati aturan tersebut, kesejahteraan tidak akan mustahil tercapai. Justru kemenangan dan kejayaan-lah yang akan kita dapatkan, sebab Islam berjalan sesuai fitrah makhluk hidup. Hal tersebut hanya dapat kita capai jika kita kembali kepada aturan-Nya, yakni dengan menerapkan sistem Islam secara menyeluruh.
Satu-satunya cara adalah dengan mendirikan kembali wadah sekaligus tameng kuat yang dulu sempat berjaya, Daulah Islamiah ‘ala Minhajin Nubuwwah, sebagaimana yang dulu Rasulullah lakukan saat tiba di Madinah.
Wallahu a’lam bisshawwab
Oleh: Zahira Farasya
Aktivis Muslimah