Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Makna Kerinduan Menurut Al-Ghazali

Minggu, 23 Juni 2024 | 11:38 WIB Last Updated 2024-06-23T04:38:36Z

TintaSiyasi.id -- Menurut Al-Ghazali, kerinduan (syauq) memiliki makna yang mendalam dan sangat terkait dengan dimensi spiritual dan cinta kepada Allah SWT. Al-Ghazali, sebagai seorang ulama dan filsuf besar dalam Islam, memberikan penjelasan yang mendalam tentang berbagai emosi manusia dan bagaimana mereka dapat diarahkan menuju tujuan yang lebih tinggi, yaitu mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah. Berikut adalah beberapa poin penting tentang makna kerinduan menurut Al-Ghazali:

1. Kerinduan sebagai Ekspresi Cinta kepada Allah
• Syauq (Kerinduan): Al-Ghazali melihat kerinduan sebagai perasaan yang lahir dari cinta yang mendalam. Kerinduan kepada Allah adalah manifestasi dari cinta sejati seorang hamba kepada Penciptanya. Ini adalah kerinduan untuk berjumpa, mengenal, dan dekat dengan Allah.
• Cinta Ilahiyah: Menurut Al-Ghazali, cinta kepada Allah adalah cinta yang paling murni dan utama. Kerinduan adalah salah satu bentuk ekspresi dari cinta ini. Seorang hamba yang mencintai Allah dengan sepenuh hati akan selalu merindukan kedekatan dengan-Nya.

2. Kerinduan sebagai Dorongan untuk Mendekat kepada Allah
• Motivasi untuk Beribadah: Kerinduan kepada Allah mendorong seorang hamba untuk terus beribadah dan melakukan amal kebaikan. Kerinduan ini membuat ibadah tidak hanya menjadi kewajiban, tetapi juga menjadi kebutuhan dan sumber kebahagiaan.
• Perbaikan Diri: Kerinduan kepada Allah juga mendorong seseorang untuk memperbaiki diri, menjauhi dosa, dan berusaha menjalani hidup yang sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini dilakukan agar dapat lebih dekat dan lebih diridhai oleh Allah.

3. Kerinduan dan Pengalaman Spiritual
• Maqam (Tingkatan Spiritual): Al-Ghazali menjelaskan bahwa kerinduan adalah salah satu maqam (tingkatan) dalam perjalanan spiritual seorang hamba. Ini adalah tanda bahwa seseorang telah mencapai tingkat kesadaran spiritual yang lebih tinggi, di mana hatinya selalu terpaut kepada Allah.
• Kontemplasi dan Dzikir: Rasa rindu kepada Allah sering kali tercermin dalam kontemplasi dan dzikir yang dilakukan oleh seorang hamba. Mengingat Allah secara terus-menerus adalah salah satu cara untuk memenuhi kerinduan ini.

4. Kerinduan sebagai Jalan Menuju Ma’rifatullah (Mengenal Allah)
• Ma’rifatullah: Al-Ghazali menyatakan bahwa tujuan akhir dari kerinduan adalah mencapai ma’rifatullah, yaitu pengetahuan dan pengenalan yang mendalam tentang Allah. Kerinduan ini menuntun seorang hamba untuk terus mencari ilmu dan hikmah agar dapat mengenal Allah dengan lebih baik.
• Pengalaman Mistis: Kerinduan yang mendalam juga bisa membawa seseorang kepada pengalaman mistis, di mana ia merasakan kehadiran Allah dalam hidupnya dengan cara yang sangat pribadi dan mendalam.

5. Kerinduan dan Akhirat
• Kerinduan untuk Berjumpa dengan Allah: Dalam pandangan Al-Ghazali, kerinduan kepada Allah tidak hanya terbatas pada kehidupan dunia, tetapi juga merujuk kepada kerinduan untuk bertemu dengan-Nya di akhirat. Ini adalah puncak dari segala kerinduan dan harapan seorang mukmin.
• Ridha Allah: Kerinduan yang mendalam juga mencerminkan keinginan seorang hamba untuk mendapatkan ridha Allah dan berada di surga-Nya. Ini memberikan kekuatan dan keteguhan dalam menjalani ujian dan cobaan di dunia.

6. Kerinduan sebagai Penyejuk Hati
• Ketenangan dan Kebahagiaan: Kerinduan kepada Allah memberikan ketenangan dan kebahagiaan batin yang sejati. Meski dunia penuh dengan kesulitan dan cobaan, hati yang merindukan Allah akan selalu menemukan kedamaian dalam ingatan dan cinta kepada-Nya.
• Hubungan dengan Akal dan Hati: Al-Ghazali menekankan bahwa kerinduan ini bukan hanya sekedar perasaan emosional, tetapi juga melibatkan akal dan hati yang memahami kebesaran dan keagungan Allah.

Kesimpulan

Menurut Al-Ghazali, kerinduan adalah perasaan mulia yang mengarahkan hati seorang hamba kepada Penciptanya. Ini adalah dorongan spiritual yang mendorong seseorang untuk terus mendekat kepada Allah melalui ibadah, ilmu, dan amal kebaikan. Kerinduan ini juga menjadi jalan untuk mencapai pengenalan yang mendalam tentang Allah dan meraih kebahagiaan sejati, baik di dunia maupun di akhirat.

Allah SWT Berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا عَسَىٰ رَبُّكُمْ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُۖ نُورُهُمْ يَسْعَىٰ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَاۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ  

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu". (QS. At-Tahrim (66): 8)

Sobat. Seruan pada ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang percaya kepada Allah dan para rasul-Nya. Mereka diperintahkan bertobat kepada Allah dari dosa-dosa mereka dengan tobat yang sebenar-benarnya (tobat nasuha), yaitu tobat yang memenuhi tiga syarat. Pertama, berhenti dari maksiat yang dilakukannya. Kedua, menyesali perbuatannya, dan ketiga, berketetapan hati tidak akan mengulangi perberbuatan maksiat tersebut. 

Bila syarat-syarat itu terpenuhi, Allah menghapuskan semua kesalahan dan kejahatan yang telah lalu dan memasukkan mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Pada saat itu, Allah tidak mengecewakan dan menghinakan Nabi saw dan orang-orang yang beriman bersamanya. 

Bahkan pada hari itu, kebahagiaan mereka ditonjolkan, cahaya mereka memancar menerangi mereka waktu berjalan menuju Mahsyar tempat diadakan perhitungan dan pertanggungjawaban. Mereka itu meminta kepada Allah agar cahaya mereka disempurnakan, tetap memancar dan tidak akan padam sampai mereka itu melewati sirathal Mustaqim, tempat orang-orang munafik baik laki-laki maupun perempuan memohon dengan sangat agar dapat ditunggu untuk dapat ikut memanfaatkan cahaya mereka. 

Mereka juga memohon agar dosa-dosa mereka dihapus dan diampuni. Dengan demikian, mereka tidak merasa malu dan kecewa pada waktu diadakan hisab dan pertanggungjawaban. Tidak ada yang patut dimintai untuk menyempurnakan cahaya dan mengampuni dosa kecuali Allah, karena Dialah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu, berbuat sesuai dengan kodrat dan iradat-Nya.

Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Filsafat Ilmu Pascasarjana UIT  Lirboyo 

Opini

×
Berita Terbaru Update