TintaSiyasi.id -- Ibnu Qayyim Al-Jauziah, seorang ulama besar dalam dunia Islam, memberikan banyak penjelasan mendalam tentang konsep mahabbah (cinta) kepada Allah. Mahabbah adalah salah satu elemen penting dalam kehidupan spiritual seorang Muslim, mencakup cinta kepada Allah, Rasul-Nya, dan jalan hidup yang ditentukan oleh-Nya. Berikut adalah beberapa penjelasan dan konsep mahabbah menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziah:
Konsep Mahabah Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziah
1. Mahabbah sebagai Puncak Keimanan:
o Menurut Ibnu Qayyim, cinta kepada Allah adalah puncak dari keimanan. Cinta ini menggerakkan seluruh aspek kehidupan seorang Muslim, menjadikan segala tindakannya terfokus pada keridhaan Allah.
2. Manifestasi Mahabbah:
o Cinta kepada Allah harus tercermin dalam tindakan nyata. Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa cinta kepada Allah tidak hanya berupa perasaan hati tetapi juga dalam bentuk ketaatan, ibadah, dan menjauhi segala larangan-Nya.
3. Tahapan Mahabbah:
o Ibnu Qayyim membagi cinta kepada Allah dalam beberapa tahapan:
1. Al-Irâdah: Kemauan atau keinginan untuk mencintai Allah.
2. Ash-Shawâb: Kejujuran dalam cinta.
3. Al-Ikhlâsh: Ketulusan dalam mencintai Allah.
4. Al-Intiyâr: Ketaatan dalam mengikuti perintah Allah.
5. At-Tafwîd: Pasrah dan penyerahan diri kepada Allah.
6. Al-Inqiyâd: Mengikuti dan tunduk sepenuhnya pada kehendak Allah.
7. At-Ta’dhîm: Mengagungkan Allah dalam hati dan perbuatan.
4. Ciri-ciri Orang yang Mencintai Allah:
o Mengutamakan Allah di atas segala sesuatu: Orang yang mencintai Allah akan menempatkan cinta kepada-Nya di atas cinta kepada makhluk lain.
o Menjaga hubungan dengan Allah: Mereka akan menjaga shalat, dzikir, dan amal-amal kebaikan sebagai bentuk pengabdian dan cinta.
o Merasa rindu bertemu dengan Allah: Orang yang memiliki mahabbah kepada Allah akan merasa rindu bertemu dengan-Nya dan selalu mempersiapkan diri untuk hari pertemuan tersebut.
Faktor-Faktor yang Menguatkan Mahabah
1. Mengenal Allah (Ma’rifatullah):
o Mengenal Allah melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya akan memperkuat cinta seorang hamba kepada-Nya. Pengetahuan ini membuat hamba lebih menghargai dan memahami kebesaran Allah.
2. Mengikuti Sunnah Rasulullah SAW:
o Mengikuti ajaran dan teladan Rasulullah SAW adalah cara untuk menunjukkan cinta kepada Allah. Rasulullah adalah teladan terbaik dalam mencintai Allah dan menunjukkan jalan yang benar.
3. Berkumpul dengan Orang-orang yang Mencintai Allah:
o Berkumpul dengan orang-orang yang saleh dan mencintai Allah akan meningkatkan keimanan dan cinta kita kepada Allah. Lingkungan yang baik sangat mempengaruhi kualitas spiritual seseorang.
4. Merenungi Ayat-ayat Allah:
o Merenungi ayat-ayat Allah baik dalam Al-Qur'an maupun tanda-tanda kebesaran-Nya di alam semesta dapat menumbuhkan dan menguatkan cinta kepada Allah.
Dampak Mahabah dalam Kehidupan
1. Ketenangan dan Kedamaian Hati:
o Cinta kepada Allah membawa ketenangan dan kedamaian dalam hati. Hamba yang mencintai Allah akan merasa tenang dan damai dalam segala keadaan karena selalu merasa dekat dengan-Nya.
2. Ketaatan yang Konsisten:
o Mahabbah membuat seseorang lebih konsisten dalam ketaatan dan menjauhi maksiat. Cinta ini menggerakkan hati untuk selalu berada dalam jalan yang diridhai Allah.
3. Kehidupan yang Penuh Berkah:
o Hidup yang dipenuhi dengan cinta kepada Allah akan dilimpahi berkah dan rahmat. Allah akan memberikan kemudahan dan pertolongan dalam setiap aspek kehidupan hamba-Nya yang mencintai-Nya.
Ibnu Qayyim Al-Jauziah menjelaskan bahwa mahabbah kepada Allah adalah inti dari kehidupan spiritual seorang Muslim. Mahabbah tidak hanya berupa perasaan tetapi juga tindakan nyata yang mencerminkan cinta kepada Allah. Dengan mengenal Allah, mengikuti sunnah Rasulullah, dan merenungi ayat-ayat-Nya, cinta kita kepada Allah akan semakin kuat. Mahabbah ini membawa ketenangan, ketaatan, dan berkah dalam kehidupan, menjadikan kita hamba yang lebih dekat dengan Allah SWT.
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادٗا يُحِبُّونَهُمۡ كَحُبِّ ٱللَّهِۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَشَدُّ حُبّٗا لِّلَّهِۗ وَلَوۡ يَرَى ٱلَّذِينَ ظَلَمُوٓاْ إِذۡ يَرَوۡنَ ٱلۡعَذَابَ أَنَّ ٱلۡقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعٗا وَأَنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعَذَابِ
165. Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal). (QS. Al-Baqarah (2): 165)
Sobat. Di antara manusia, baik zaman dahulu maupun zaman sekarang, ada yang menganggap bahwa di samping Allah ada lagi sesembahan yang diagungkan dan dicintai sama dengan mengagungkan dan mencintai Allah, seperti: berhala, pemimpin-pemimpin, arwah nenek moyang dan lain-lain sebagainya.
Apabila mereka mendapat nikmat dan kebaikan, mereka panjatkan syukur dan pujian kepada sesembahan tersebut, dan apabila mereka ditimpa kesusahan atau malapetaka mereka meminta dan berdoa kepada Allah dengan harapan mereka akan dapat ditolong dan dilepaskan dari cengkeraman bahaya yang mereka hadapi.
Tindakan seperti ini adalah tindakan orang musyrik, bukan tindakan orang mukmin.
Seorang mukmin tidak akan melakukan perbuatan seperti itu karena ia percaya dan yakin dengan sepenuh hatinya bahwa yang harus disembah adalah Allah dan yang harus dicintai dan dipanjatkan doa kepadanya hanyalah Allah. Di akhirat nanti orang yang mempersekutukan Allah dengan menyembah berhala, pemimpin dan arwah itu akan kekal di neraka dan akan menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa Allah sajalah yang Mahakuasa dan Dia sajalah yang berhak menyiksa dan siksa-Nya amat berat.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَن يَرۡتَدَّ مِنكُمۡ عَن دِينِهِۦ فَسَوۡفَ يَأۡتِي ٱللَّهُ بِقَوۡمٖ يُحِبُّهُمۡ وَيُحِبُّونَهُۥٓ أَذِلَّةٍ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى ٱلۡكَٰفِرِينَ يُجَٰهِدُونَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوۡمَةَ لَآئِمٖۚ ذَٰلِكَ فَضۡلُ ٱللَّهِ يُؤۡتِيهِ مَن يَشَآءُۚ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ
54. Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Maidah: 54)
Sobat. Dalam ayat ini terkandung berita tantangan yang akan terjadi, yaitu akan murtadnya sebagian orang mukmin. Mereka akan keluar dari Islam dengan terang-terangan. Keluarnya mereka dari Islam, tidaklah akan membahayakan orang mukmin, tetapi sebaliknya yang akan terjadi, yaitu Allah akan menggantinya dengan orang-orang yang lebih kuat imannya dan Iebih baik amal perbuatannya, sebagai pengganti mereka yang murtad itu.
Menurut riwayat Ibnu Jarir dari Qatadah, diceritakan bahwa setelah ayat ini diturunkan, beberapa kelompok manusia akan murtad, keluar dari agama Islam. Peristiwa itu kemudian benar-benar terjadi, ketika Nabi Muhammad saw. berpulang ke rahmatullah, murtadlah sebagian orang Islam, terkecuali dari tiga tempat, yaitu penduduk Medinah, penduduk Mekah dan penduduk Bahrain. Di antara tanda-tanda murtad mereka ialah bahwa mereka tidak mau lagi mengeluarkan zakat. Mereka mengatakan: "Kami akan tetap salat, tetapi kami tidak mau mengeluarkan zakat. Demi Allah, harta kami tidak boleh dirampas." Maka Khalifah Abu Bakar ketika itu terpaksa mengambil tindakan keras. Orang-orang yang murtad itu diperangi, sehingga di antara mereka ada yang mati, ada yang terbakar dan ada pula yang ditangkap, dan akhirnya mereka kembali bersedia membayar zakat.
Peristiwa terjadinya kemurtadan ini banyak sekali. Di dalam sejarah disebutkan bahwa pada masa Nabi Muhammad saw. masih hidup telah terjadi tiga kali peristiwa murtad, yaitu:
1. Golongan Bani Madzhij yang dipelopori oleh Zulkhimar, yaitu al-Aswad al-Ansi seorang tukang tenung. Dia mengaku sebagai nabi di Yaman, dia dibunuh oleh salah seorang dari Muslimin.
2. Golongan Bani Hanifah, yaitu Musailimah al-Kadzdzab, Musailimah mengaku dirinya sebagai nabi. Dia pernah berkirim surat kepada Nabi Muhammad saw. mengajak beliau untuk membagi dua kekuasaan di negeri Arab. Dia memerintah separuh negeri dan Nabi Muhammad saw. memerintah sisanya. Nabi Muhammad saw. membalas suratnya dengan mengatakan bahwa bumi ini adalah kepunyaan Allah dan Allah akan mempusakakan bumi ini kepada siapa yang dikehendaki di antara hamba-Nya dan bahwa kemenangan terakhir akan berada pada orang yang bertakwa kepada-Nya. Akhirnya Musailimah diperangi oleh Khalifah Abu Bakar dan ia mati dibunuh oleh Wahsyi yang dulu pernah membunuh Hamzah, paman Nabi dalam Perang Uhud.
3. Golongan Bani Asad, pemimpinnya bernama thulaihah bin Khuwailid, dia juga mengaku dirinya menjadi nabi, maka Abu Bakar memeranginya dengan memerintahkan Khalid bin Walid untuk membunuhnya. Dia mundur dan lari ke negeri Syam dan akhirnya dia kembali menjadi seorang Muslim yang baik.
Sesudah Nabi Muhammad saw meninggal, pada masa Khalifah Abu Bakar, banyak terjadi golongan-golongan yang murtad terdiri dari 7 golongan, yaitu: (1) Gatafan, (2) Khuza'ah, (3) Bani Sulaim, (4) Bani Yarbu', (5) sebagian Bani Tamim, (6) Kindah, dan (7) Bani Bakr.
Orang-orang yang menggantikan orang-orang murtad itu selalu mengatakan kebenaran dan membantu perjuangan Islam, ditandai oleh Allah dengan enam sifat yang penting, yaitu:
1. Allah mencintai mereka, karena keimanan dan keyakinan mereka dalam berjuang.
2. Mereka cinta kepada Allah, karena perintah Allah lebih diutamakan dari urusan-urusan yang lain,
3. Mereka bersikap lemah lembut terhadap orang mukmin,
4. Mereka bersikap keras dan tegas terhadap orang kafir.
5. Berjihad fi sabilillah, yaitu bersungguh-sungguh dalam menegakkan agama Allah, mau berkorban dengan harta dan dirinya dan tidak takut berperang menghadapi musuh agama,
6. Mereka tidak takut terhadap cacian dan celaan, tidak takut kepada gertakan dan ancaman. Sebab mereka senantiasa dalam beramal, berjuang, bukan mencari pujian dan sanjungan manusia, bukan juga mencari pangkat dan kedudukan dan bukan pula mencari nama dan pengaruh. Yang mereka cari hanyalah keridaan Allah semata.
Sifat-sifat yang tersebut di atas adalah karunia Allah kepada hamba-Nya yang dikehendaki. Dengan sifat-sifat itulah derajat seseorang menjadi tinggi dan mulia di hadapan manusia, dan lebih-lebih di hadapan Allah yang mempunyai karunia yang besar. Semuanya itu akan dapat diperoleh dengan jalan mendekatkan diri kepada Allah serta memperbanyak ibadah dan bersyukur.
Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo