TintaSiyasi.id -- Ibnu Athaillah al-Sakandari, seorang sufi terkenal, menguraikan beberapa tanda-tanda hati yang mati dalam karyanya yang terkenal, "al-Hikam". Tanda-tanda tersebut mencerminkan kondisi spiritual seseorang yang jauh dari Allah dan mengalami kekosongan rohani. Berikut adalah beberapa tanda-tanda hati yang mati menurut Ibnu Athaillah:
1. Ketidakpekaan Terhadap Dosa: Hati yang mati tidak lagi merasa bersalah atau menyesal ketika melakukan dosa. Seseorang yang hatinya mati akan merasa biasa saja ketika melanggar perintah Allah dan tidak merasa perlu untuk bertaubat.
2. Cinta Pada Dunia: Ketika hati terlalu mencintai dunia dan segala isinya, termasuk kekayaan, status, dan kenikmatan duniawi, maka hatinya menjadi mati. Seseorang yang hatinya mati akan mengutamakan urusan dunia dibandingkan dengan urusan akhirat.
3. Tidak Ada Keinginan Untuk Beribadah: Hati yang mati tidak merasa tertarik untuk beribadah atau mendekatkan diri kepada Allah. Seseorang akan merasa malas atau bahkan tidak berminat untuk melaksanakan shalat, berzikir, membaca Al-Qur'an, dan amalan-amalan ibadah lainnya.
4. Kekerasan Hati: Sifat keras hati dan tidak mau menerima nasihat atau kebenaran merupakan tanda lain dari hati yang mati. Orang dengan hati yang mati cenderung bersikap sombong, keras kepala, dan tidak mau mengakui kesalahan.
5. Kebencian Terhadap Kebenaran: Hati yang mati akan membenci kebenaran dan lebih suka hidup dalam kebatilan. Mereka merasa terganggu ketika diingatkan tentang kebenaran dan lebih memilih untuk tetap dalam kesesatan.
6. Keputusasaan Dari Rahmat Allah: Seseorang yang hatinya mati akan merasa putus asa dari rahmat Allah. Mereka tidak lagi memiliki harapan untuk mendapatkan ampunan dan rahmat dari-Nya.
7. Tidak Merasa Tenang Dengan Iman: Hati yang mati tidak merasakan ketenangan dan kedamaian yang seharusnya hadir dalam hati orang yang beriman. Mereka selalu gelisah, cemas, dan tidak memiliki ketenteraman batin.
Ibnu Athaillah menekankan pentingnya menjaga hati agar tetap hidup dengan terus mendekatkan diri kepada Allah, bertaubat dari dosa-dosa, dan meningkatkan kualitas ibadah. Dengan demikian, seseorang dapat terhindar dari tanda-tanda hati yang mati dan mencapai kebahagiaan spiritual yang sejati.
Di antara tanda-tanda matinya hati adalah tidak sedih atas ketaatan yang luput dilakukan dan tidak bersedia menghadapi kesalahan-kesalahan yang dikerjakan. Demikian kata Ibnu Athaillah.
Benar, salah satu tanda matinya hati menurut Ibnu Athaillah adalah tidak merasa sedih ketika kehilangan kesempatan untuk melakukan ketaatan dan tidak merasa bersalah atau berusaha memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan. Berikut adalah penjelasan lebih rinci tentang dua tanda tersebut:
1. Tidak Sedih Atas Ketaatan yang Luput Dilakukan:
o Penjelasan: Seseorang yang hatinya mati tidak akan merasa sedih atau menyesal ketika melewatkan ibadah atau ketaatan kepada Allah. Misalnya, jika mereka melewatkan shalat, tidak membaca Al-Qur'an, atau tidak berbuat baik, mereka tidak merasa kehilangan sesuatu yang berharga.
o Implikasi: Ketidakpedulian ini menunjukkan bahwa hati mereka tidak terhubung dengan cinta kepada Allah dan kurangnya kesadaran akan pentingnya ibadah dalam kehidupan mereka.
2. Tidak Bersedia Menghadapi Kesalahan-kesalahan yang Dikerjakan:
o Penjelasan: Hati yang mati tidak merasa perlu untuk menyesali atau memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan. Mereka tidak merasa bersalah atas dosa-dosa mereka dan tidak berusaha untuk bertaubat atau meminta ampun kepada Allah.
o Implikasi: Sikap ini mencerminkan kurangnya kesadaran akan konsekuensi dosa dan pentingnya taubat dalam Islam. Hal ini juga menunjukkan ketidakpedulian terhadap hubungan mereka dengan Allah.
Ibnu Athaillah mengajarkan bahwa kesedihan atas ketaatan yang terlewat dan keinginan untuk memperbaiki kesalahan adalah tanda-tanda hati yang hidup dan sadar. Hati yang hidup akan selalu merindukan ketaatan kepada Allah dan merasa bersalah atas dosa-dosa yang dilakukan, sehingga terus berusaha untuk bertaubat dan mendekatkan diri kepada-Nya.
Oleh karena itu, menjaga kepekaan hati dan terus berusaha dalam ketaatan adalah langkah-langkah penting untuk menghindari matinya hati. Dengan demikian, seseorang dapat mencapai ketenangan batin dan kebahagiaan spiritual yang sejati.
Bagaimana agar hati kita bercahaya dan mudah menerima cahaya Allah?
Agar hati kita bercahaya dan mudah menerima cahaya Allah, beberapa langkah dan amalan yang dapat dilakukan mencakup berbagai aspek spiritual dan praktis dalam kehidupan sehari-hari.
Berikut adalah beberapa cara yang diajarkan dalam Islam untuk mencapai hati yang bercahaya:
1. Meningkatkan Kualitas Ibadah:
o Shalat yang Khusyuk: Menjalankan shalat dengan khusyuk, penuh kesadaran, dan keikhlasan. Shalat merupakan tiang agama dan cara utama untuk berkomunikasi dengan Allah.
o Membaca Al-Qur'an: Membaca, memahami, dan merenungkan ayat-ayat Al-Qur'an secara rutin. Al-Qur'an adalah cahaya yang dapat menerangi hati yang gelap.
o Dzikir dan Doa: Selalu berzikir dan berdoa kepada Allah, memohon hidayah dan rahmat-Nya. Dzikir mengingatkan kita akan kehadiran Allah dalam setiap aspek kehidupan.
2. Memperbanyak Taubat:
o Istighfar: Memperbanyak istighfar dan bertaubat dari dosa-dosa yang telah dilakukan. Taubat yang tulus akan membersihkan hati dari kotoran dosa.
o Menjauhi Maksiat: Berusaha menjauhi perbuatan maksiat dan dosa, serta menjaga diri dari hal-hal yang dapat mengotori hati.
3. Menjaga Niat yang Ikhlas:
o Niat yang Murni: Menjaga niat yang ikhlas dalam setiap amal perbuatan, baik dalam ibadah maupun dalam kehidupan sehari-hari. Niat yang ikhlas karena Allah akan mendatangkan keberkahan dan cahaya dalam hati.
4. Meningkatkan Akhlak Mulia:
o Berbuat Baik Kepada Sesama: Senantiasa berbuat baik kepada sesama, menunjukkan akhlak yang mulia, dan membantu orang lain. Akhlak yang baik akan membawa cahaya ke dalam hati.
o Menghindari Rasa Dengki dan Dendam: Menjauhi sifat-sifat buruk seperti dengki, iri hati, dan dendam. Sifat-sifat ini dapat menggelapkan hati.
5. Bersahabat dengan Orang Shalih:
o Berkumpul dengan Orang yang Shalih: Mencari lingkungan yang baik dan bersahabat dengan orang-orang yang shalih. Lingkungan yang baik akan mempengaruhi kita untuk menjadi lebih baik dan mendekatkan diri kepada Allah.
o Mengikuti Majlis Ilmu: Rutin mengikuti majlis ilmu dan mendengarkan nasehat dari ulama atau guru spiritual yang dapat membimbing kita menuju jalan yang benar.
6. Merenungkan Kebesaran Allah:
o Tafakkur dan Tadzakkur: Meluangkan waktu untuk merenungkan ciptaan Allah dan mengambil pelajaran dari alam semesta. Tafakkur dan tadzakkur akan membuka hati dan pikiran kita untuk memahami kebesaran Allah.
7. Menjaga Hati dari Penyakit Hati:
o Ikhlas dan Sabar: Melatih diri untuk selalu ikhlas dan sabar dalam menghadapi ujian hidup. Ikhlas dan sabar adalah kunci untuk mendapatkan hati yang tenang dan bercahaya.
o Menghindari Kesombongan dan Riya': Menjauhkan diri dari sifat sombong dan riya' (beramal untuk dilihat orang). Kesombongan dan riya' dapat mengotori hati dan menjauhkan kita dari cahaya Allah.
Dengan menjalankan langkah-langkah tersebut secara konsisten, insya Allah hati kita akan menjadi lebih bercahaya dan mudah menerima cahaya dari Allah. Hal ini akan membawa kita kepada kebahagiaan dan ketenangan batin yang sejati serta mendekatkan kita kepada Allah.
Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo